.
.
.Nyatanya gelita menyelimuti awang-awang dan sang bayu membelai lembut pemalut tubuh tak mampu menghentikan tungkai puan, berjalan mengikuti garizah tak berujung. Setiap langkah yang ia jejakkan di atas bumi, semakin terasa pula denyutan hebat di dada. Riasan untuk mempersolek wajah yang hanya ingin ia tujukan pada sang adam kini hancur oleh air bah dari netra gelap.
Tidakkah laki-laki itu tahu perihnya?
Ghea memeluk tubuh seraya mengelus kedua bahu tanpa henti selama ia berjalan. Mungkin memang air mata memiliki batas hingga tanpa sadar ratapannya terhenti lantas berganti dengan tatapan kosong. Tubuh melemah akibat dinginnya angin malam yang menerpa, kepala mulai terasa berat karena tangisan hebat, dan tenggorokannya sakit setelah pekikan bergaung ketika bertemu sang suami. Ia ingin berhenti untuk melangkah. Akan tetapi, kaki jenjang itu nampak tak ingin bekerja sama dengan otak.
Hingga akhirnya perempuan itu memberi jeda pada laju kaki di depan sebuah bangunan besar, gedung yang sangat ia kenali.
Ghea tak sadar jika ia sudah berjalan lebih dari sepuluh kilometer dari restoran menuju rumah sakit ini tanpa interval sama sekali. Sudah seharusnya kaki itu tak memiliki kemampuan lagi untuk menapak. Akan tetapi, Ghea nyatanya tak merasa apapun.
Yang membuat bingung adalah sepertinya tak ada satu pun orang yang melihat atau menegurnya malam itu. Padahal perempuan tersebut tahu bahwa netranya menangkap beberapa kendaraan dan orang yang berlalu-lalang, meskipun tak seramai jikalau langit terang benderang.
Sebelum memasuki gerbang gedung, Ghea sempat menoleh ke belakang. Ia tak terkejut ketika menemukan Hazel telah berdiri sekitar lima langkah di belakangnya dengan kedua tangan yang ia masukkan dalam kantung celana.
"Lo ... lo yang lakuin ini semua?" tanya Ghea lemah.
Hazel mengernyit. "Maksudnya?"
Ghea tak menjawab langsung. Puan itu menunduk seraya mengedarkan pandangan. Lirikannya kemudian jatuh pada pantulan cahaya lampu jalan. Seketika Ghea tersenyum hambar saat bayangannya bersama Hazel tak terbentuk di bawah sana.
Melihat itu, Ghea kembali mengangkat wajah pada Hazel dengan pandangan penuh ketenangan. "Lo buat gue nggak keliatan, 'kan?"
Sontak saja Hazel mengangguk cepat sembari memperlihatkan tarikan dua sudut bibir ke atas. "Iya, soalnya lo udah jelek banget. Kasian kalo lo dihujat sama orang-orang yang ngeliat penampilan lo hancur kayak gini."
"Sialan!" Ghea terkekeh kecil. "Tapi ... makasih ya, Zel—"
"Nggak usah bilang makasih. Gue nggak lakuin apa-apa, kok."
"Nggak, lo udah lakuin banyak hal yang bikin gue lega selega leganya."
Hazel terdiam sesaat lantas bergerak menuju Ghea dan berhenti tepat di depan perempuan itu membuat Ghea harus sedikit melenggakkan kepala karena perbedaan postur tubuh. Kepala sang hawa refleks miring sedikit ke arah kiri ketika mengamati senyum manis Hazel dengan matanya yang sembap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Irreplaceable You [✓]
Fanfiction[COMPLETED] "Setelah semua ini berakhir, aku nggak peduli kalo kamu mau ambil semuanya, termasuk anak-anak dan suamiku. Tapi, aku mohon. Untuk sekali ini saja, tolong aku! Cuma kamu yang bisa ngelakuin itu semua." Pernyataan mendadak dari Ghea memb...