34. Pengakuan

513 64 16
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Ghea berselonjor seraya menyandarkan kepala di headboard tempat tidur dan melekatkan pandangan pada ponsel dari semalam. Ya, perempuan itu tak dapat terlelap ketika ia menerima pesan bahwa sang suami akan menginap di kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Puan itu merasa aneh karena Ardian tak pernah menginap di tempat kerja, bahkan laki-laki itu terkadang menyuruh pegawai lain untuk menuntaskan tugasnya dibandingkan harus bermalam di sana.

Lantas, mengapa sekarang Ardian harus repot? Apakah Ardian mulai menaruh curiga pada Ghea setelah melihat barang-barang yang berhamburan dan pewarna bibir yang berantakan kemarin siang?

Rasanya aneh jika laki-laki itu tak berpikir demikian. Yang pasti, Ghea benar-benar percaya bahwa Ardian telah memikirkan hal ganjil tentang dirinya sejak kemarin.

Karena hal ini, Ghea memutuskan untuk bergegas mempersiapkan diri, lalu akan mendatangi kantor Ardian dan membawakan laki-laki itu bekal makan siang, serta pakaian ganti.

Rasa lelah memang menggerogoti tubuh, hati, dan pikiran. Kendati demikian, Ghea tetap tidak peduli dan lebih memilih untuk tetap menyambangi sang suami dengan kotak-kotak makanan yang telah disusun rapi dalam goodie bag hijau. Tak lupa pula ia menyiapkan tas kecil untuk menyimpan keperluan Ardian yang lain.

Setibanya ia di kantor, Ghea berjalan seraya menyapa balik beberapa karyawan dengan ramah. Tak perlu menunggu lama berdiri dan mengetuk-ngetuk jari di depan pintu utama, sebab ia langsung diperkenankan untuk masuk ke dalam ruangan sang suami oleh sekretaris.

Sayup-sayup Ardian terdengar menyuruh beberapa pegawai untuk mengerjakan laporan yang berkaitan dengan perusahaan --Ghea sendiri tak paham. Ketika akhirnya tungkai itu berhenti di ambang pintu yang menghubungkan ruangan pertemuan dan ruangan pribadi, Ardian menyadari kehadiran istrinya dan menyuruh para pegawai untuk keluar.

Ghea bersama dengan Ardian bergerak menuju meja yang selalu mereka tempati ketika menikmati hidangan yang dibawakan oleh Ghea, sebuah sofa kulit panjang berwarna hitam dan meja kaca di depannya.

"Mama bawain Papa apaan?" tanya Ardian yang memperlihatkan senyum lemah dan tatapan kuyu ketika ia membuka goodie bag, mengintip ke dalam sana.

Puan itu kemudian meraih perlahan goodie bag dari tangan Ardian dan membuka satu per satu kotak makanan.

"Biar Mama yang suapin ya?" tawar Ghea dengan kedua sudut bibir yang ditarik sempurna ke atas.

Ardian menggeleng pelan. "Papa bisa makan sendiri, kok, Ma."

"Papa nggak pernah, lho, nolak kalo Mama pengen suapin."

"Papa, kan, punya dua tangan yang nggak lagi ngapa-ngapain. Ya makan sendiri aja lah," jawab Ardian dengan sunggingan senyum tipis.

Bukan, bukan senyum itu yang menjadi atensi Ghea. Akan tetapi, penolakan yang ia terima secara langsung. Entah mengapa rasanya begitu menusuk hati, meskipun mungkin saja Ardian tidak bermaksud demikian. Ya, Ghea merasa bahwa ia terlalu sensitif akan reaksi-reaksi yang diberikan padanya untuk saat ini.

Irreplaceable You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang