.
.
.Tak pernah terlintas dibenak jika waktu akan berlalu dengan cepat. Rasanya siang berganti malam hanya dengan sekali kedipan mata. Meskipun begitu, tidak ada yang dapat menghentikannya walau hanya sejenak.
Ghea ingat malam itu sepulangnya Dion dari rumah, Ardian masuk ke dalam kamar dalam balutan pakaian tidur dan tubuhnya pun menguarkan aroma yang menyegarkan. Laki-laki itu berbaring tepat di samping sang puan di kamar lantai dasar, bukan di kamar mereka seperti biasanya. Ia membelakangi sang istri yang saat itu pura-pura terlelap, mencoba menghindari pembicaraan sebisa mungkin. Benar saja, Ardian yang melihat hawa itu telah memejam pun memutuskan untuk memadamkan lampu kamar, memberikan satu kecupan di kening istrinya, dan menarik selimut untuk menutupi sepasang insan tersebut.
Pagi ini, Ghea mendapati sang suami tengah masuk ke dalam kamar seraya membawa nampan makanan. Ia meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidur lalu ia duduk di tepi ranjang. Tangan kirinya mengusap kening Ghea secara perlahan membuat sang hawa menggeliat seolah-olah ia baru saja terbangun, padahal Ghea telah terjaga sekitar tiga puluh menit yang lalu. Puan itu lantas mendudukkan diri dengan tubuh bagian bawah tertutupi oleh selimut.
"Sarapan dulu ya, Ma?" acap Ardian, "Papa udah buatin bubur."
Saat Ardian bergerak untuk mengambil nampan, Ghea pun mengangkat kepala menuju suaminya. Sontak saja ia tertegun ketika melihat wajah Ardian yang lebam-lebam. Puan itu seketika menghentikan gerak lengan sang adam membuat Ardian menoleh cepat.
"Kenapa, Sayang?" Ardian kembali pada posisi semula, tidak jadi mengambil makanan tersebut.
Ghea lantas bergegas mengamati Ardian dari kepala hingga punggung tangan. Ternyata benar, tak hanya wajahnya saja yang luka, tetapi buku-buku jari pria tersebut juga memiliki goresan kecil dan berwarna biru kehitaman.
"Papa ... Papa kenapa?" tangan Ghea bergerak menyentuh wajah Ardian lembut, "kenapa jadi begini?
Laki-laki yang menggunakan kaus putih polos dan celana pendek itu pun menarik sudut bibir ke atas, nampak teduh nan menenangkan. Akan tetapi, Ghea tidak mampu untuk merasakan hal tersebut mengingat ini pertama kalinya ia melihat Ardian dalam keadaan terluka.
"Papa kemarin abis ketemu Valdy ...."
Mendengar itu, Ghea akhirnya paham mengapa tubuh Ardian menjadi seperti ini dan ke mana arah pembicaraan tersebut. Lantas, ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut karena puan itu tak ingin kepala suaminya menjadi panas ketika harus mengingat pembicaraannya dengan Valdy kemarin.
"Papa minta maaf, Ma. Papa salah karena nggak mau denger semua penjelasan dari Mama ... justru malah denger semuanya dari orang lain dan pergi begitu aja ninggalin Mama, ninggalin anak-anak.
"Papa sadar kesalahan itu dan Papa terus belajar untuk jadi lebih baik. Maaf ya, Ma, untuk semuanya," ungkap Ardian dengan nada penuh penyesalan.
Ghea bergeming sejenak sebelum akhirnya ia mengulas senyum simpul. Kedua tangannya meraih tangan Ardian dan mengelus lembut jemari yang bengkak itu. "Mama maafin Papa asal nggak diulangi lagi. Kalo misalnya kita memang ada masalah, ada baiknya nggak kabur dan dengerin satu sama lain. Jangan dibiarin berlarut-larut. Maafin Mama juga yang udah ngomong kasar ke Papa malam itu. Mama kebawa emosi—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Irreplaceable You [✓]
Fiksi Penggemar[COMPLETED] "Setelah semua ini berakhir, aku nggak peduli kalo kamu mau ambil semuanya, termasuk anak-anak dan suamiku. Tapi, aku mohon. Untuk sekali ini saja, tolong aku! Cuma kamu yang bisa ngelakuin itu semua." Pernyataan mendadak dari Ghea memb...