[COMPLETED]
"Setelah semua ini berakhir, aku nggak peduli kalo kamu mau ambil semuanya, termasuk anak-anak dan suamiku. Tapi, aku mohon. Untuk sekali ini saja, tolong aku! Cuma kamu yang bisa ngelakuin itu semua."
Pernyataan mendadak dari Ghea memb...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . .
Kedua netra berhasil terbuka saat sinar matahari berhasil membelai hangat permukaan kulit, Ghea pun menyingkap selimut lebar itu dengan sekali gerakan, lalu memandang datar sekujur tubuh polosnya yang bermandikan jejak kemerahan. Ia seketika menoleh pada sisi kanan yang kosong, posisi di mana Ardian terlelap sebelumnya. Ghea sudah dapat menduga jika Ardian telah berangkat ke kantor pagi itu. Tentu saja, sebab waktu telah menunjukkan pukul 7.30 dan sesuai jadwal pria tersebut masuk kantor 30 menit sebelumnya.
Ghea mendengkus seraya memejam ketika bayangan aktivitas penuh gairah bersama Ardian semalam terlintas di benak. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaan bersalah itu muncul, hingga Ghea tanpa sadar menitikkan air mata dan terduduk sambil memeluk kedua kakinya erat. Perempuan itu membenamkan wajah di sana, agar perasaannya sedikit reda, meskipun itu tak mungkin benar-benar membuatnya lega.
"Gue semalam ngapain?" ucapnya lemah. Tak percaya dengan apa yang terjadi semalam.
Tok... Tok... Tok...
"Ibu sudah bangun?" tanya Bi Sum dari luar kamar. Sontak, Ghea mengangkat wajah dan kembali menarik selimut untuk menutupi tubuh tanpa sehelai benang itu. "Sarapan dulu, Bu."
"Iya, Bi. Bentar lagi saya keluar!" balas Ghea cepat.
Tanpa berpikir lama, perempuan tersebut menghapus jejak-jejak air mata di pipi, lalu memakai kaus dan celana pendek yang entah bagaimana telah berada di sofa dalam keadaan rapi. Jika boleh jujur, Ghea sempat mengalami kesulitan ketika bangkit dari tempat tidur, karena area bagian bawah sedikit terasa perih. Meskipun begitu, Ghea tak ingin bermanja-manja di atas tempat tidur dan bergegas menuju ruang makan untuk mengisi perutnya.
Potongan demi potongan roti pun akhirnya masuk ke mulut, walaupun Ghea menyantapnya dengan sedikit malas. Tapi, jika ia tak makan, maka tubuhnya akan lemah nantinya.
"Ibu?" tegur Bi Sum seraya meletakkan secangkir teh hangat, "kok mukanya sedih gitu? Lagi mikiran apa, Bu?"
Mendengar teguran sang asisten rumah tangga, Ghea tersentak. "Eh, nggak papa. Oh iya, adek sama kakak mana?"
"Lah, kakak kan pergi ke sekolah, Bu. Kalo adek masih tidur di kamarnya," jelas Bi Sum dengan senyum tipisnya. Ghea tak menjawab dan hanya mengangguk pelan sebagai responsnya.
Entah dari mana datangnya keinginan tersebut, hingga Ghea merasa harus menyelesaikan dan memastikan sesuatu yang pada akhirnya membuat ia terburu-buru menghabiskan sarapan. Sontak saja, Bi Sum mengernyit menatap sang majikan. "Bi, tolong jaga adek dulu ya. Pagi ini saya mau pergi."
"Eh, Ibu mau ke mana? Emang Ibu tahu tujuan Ibu? Jalannya?" Bi Sum memberondong pertanyaan. Ghea tahu jika Bi Sum khawatir terhadapnya dan itu membuat sang puan merasa tak enak hati.
Ghea menatap Bi Sum lekat, lalu terkekeh pelan. "Kalo pun saya memang nggak ingat, setidaknya supir taksi nggak mungkin bikin saya nyasar, kan?"
"Iya juga, sih, Bu," Bi Sum meragu, "tapi, Ibu nggak mau nunggu Bapak aja? Siapa tau Bapak mau anterin? Mau saya telponin, Bu?"