42. Cara Terakhir Hazel

360 71 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

"Besok semua laporannya sudah harus ada di meja saya!" titah Ardian pada empat karyawan yang berdiri di belakang.

"Baik, Pak." Empat pegawai itu menjawab dengan kompak.

Setelah mendengar perkataan sang pemimpin, para pegawai pun memutar tubuh menjauhi Ardian yang kini sedang berdiri di ambang pintu utama kantor. Sedetik kemudian laki-laki tersebut menghadapkan badannya pada mobil hitam di depan sana, terparkir sempurna dengan satu pintu terbuka dan bersiap menerima sang empunya.

Baru saja memijaki satu anak tangga, ponsel Ardian tiba-tiba bergetar yang membuatnya mau tak mau menghentikan langkah. Ditatapnya nama penelpon dengan kernyitan sempurna.

"Iya, halo Bi Sum?"

"Halo, Pak."

"Iya, kenapa?"

"Maaf, Pak. Ini Bapak pulang jam berapa ya?"

Ardian sontak menjulurkan tangan kanan sehingga lengan jasnya tertarik ke belakang lantas ia membawanya ke depan dada untuk melihat jam tangan. Benda berwarna silver itu menunjukkan pukul 17.43, satu setengah jam lebih lambat dari jadwal akhir kantor yang sebenarnya.

"Ini saya udah mau pulang, kok, Bi. Kenapa ya?"

Nyatanya, Bi Sum tidak langsung menjawab pertanyaan Ardian membuat laki-laki itu menautkan kedua alisnya sekali lagi. Gurat-gurat kebingungan tercetak jelas di wajah. Ardian tidak ingin berpikiran macam-macam, tetapi ia tak bisa. Entah mengapa perasaannya diliputi gundah saat itu juga.

"Ini, Pak ... apa ya, ini Ibu Ghea—"

"Ibu kenapa?" tanya Ardian cepat, menyela perkataan Bi Sum.

"Ibu belum keluar kamar sampe sore ini, Pak. Dari kemarin siang sepulangnya dari jalan. Makanan yang saya bawa juga nggak ada satu pun yang disentuh."

"Bi Sum udah coba nyuapin?"

"Sudah saya coba, Pak. Jangankan duduk sambil makan, buka mata aja kayaknya susah banget, Pak. Saya kira ibu cuma tidur siang seperti biasanya, tapi masa dari kemarin nggak bangun-bangun, Pak? Saya jadi khawatir sama ibu."

Mendengar itu, Ardian sontak mendengkus pelan seraya memejam sebentar. Tak salah jika ia tiba-tiba saja merasakan hal yang membuatnya gelisah. Laki-laki itu tidak menyangka akan mendengar informasi ini dari Bi Sum, meskipun sudah ada firasat sebelumnya.

"Tolong telpon Dokter Dion, Bi. Suruh ke rumah! Ini saya udah mau jalan pulang."

"Apa nggak sebaiknya dibawa ke rumah sakit aja, Pak?"

"Iya, sebenarnya memang harusnya gitu. Tapi, biar nanti saya yang bawa ibu ke rumah sakit, soalnya saya juga udah mau pulang ini."

"Oh iya, Pak."

Irreplaceable You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang