BAB 4

111 38 1
                                    

BAYANGAN MAMI

"SAMPAI KAPAN PUN GRACE NGGAK AKAN BERHENTI, MI! BIARIN SAJA GRACE MATI DI SANA!"

Langkah Carolus terhenti. Teriakan Grace menarik perhatiannya.

Apa yang terjadi di dalam sana? Mi? Maksudnya Mami? Gue kira dia tinggal sendirian, ternyata dia tinggal bersama orang tuanya. Tapi...

Grace menggeser kasar pintu kayu berwarna kuning telor itu. Melepaskan jaket kulit hitam kebesaran itu, membuangnya ke lantai. Memperlihatkan lengan putih yang sedikit berotot itu, lembab kebiruan menempel di sana. Sudut bibirnya menempel darah yang sudah mengering. Pipi juga terlihat bonyok. Mata kanan bagai mata panda, hanya saja warna merah gelap.

Nafas memburu, lelah campur kesal.

Kekesalannya bertambah, menyadari seseorang melihat tabiat yang tak layak dipertontonkan.

Tapi, buat apa Grace peduli? Bukankah dia sudah lama masa bodoh dengan apa yang orang pikirkan dan katakan tentangnya?

"Tadi kamu ngomong sama siapa?" sebuah suara lembut menyapanya.

"Anak kost baru. Grace nggak suka sama dia. Kepo banget. Yang bikin Grace tambah kesel lagi, dia ngalangin Grace masuk. Pengen tahu urusan Grace. Kenapa sih, ada orang yang pengen tahu urusan orang? Emang kalau mereka nggak tanya, mereka mati gitu?" Grace menumpahkan semua yang ada di pikirannya pada wanita yang ada di belakangnya.

"Laki-laki itu peduli sama kamu, Sayang. Lihat badan kamu, penuh luka. Coba buka jaket kamu. Mami tahu, tubuh kamu itu pasti penuh lembab." raut wajah wanita itu makin khawatir. Sorot matanya tajam, berusaha untuk menahan marah.

Mami menghelakan nafas, "Mami minta kamu berhenti. Mami nggak suka anak kesayangan Mami pulang tengah malam, babak belur. Belum lagi kamu mengeluarkan uang banyak. Cuman buat digebukin. Lebih baik kamu ikut audisi nyanyi,"

Grace menggeleng.

Grace punya impian menjadi penyanyi terkenal. Itu dulu.

Pernah gadis itu mengikuti salah satu ajang pencarian bakat sampai mendapatkan tiket emas. Namun tiba-tiba, Grace mengundurkan diri ketika hampir masuk dua belas besar, bukan tanpa alasan. Grace mendapatkan kabar jika Mami masuk rumah sakit, Grace lebih memilih berlari ke rumah sakit daripada naik panggung untuk menduduki dua belas besar dan melenggang ke panggung yang lebih besar.

Bagi Grace, Mami adalah prioritasnya.

Membutuhkan biaya yang besar untuk mengobati kanker payudara Mami, Grace memilih untuk mencari uang dengan cara ilegal, meskipun beresiko masuk kurungan selama bertahun-tahun. Grace nekat mengikuti pertarungan jalanan. Grace. Dalam satu malam, Grace dapat menghasilkan jutaan rupiah. Sangat membantu Grace menebus obat-obat Mami yang mencapai puluhan juta.

"Berhenti pergi ke sana, Grace! Mami mohon, Grace! Apa kamu nggak kasihan sama badan kamu...."

"SAMPAI KAPAN PUN GRACE NGGAK AKAN BERHENTI, MI!" teriak Grace sekencang mungkin. Berbalik, menatap nyalang Mami.

Dada Grace naik turun sangat cepat. Menatap bayangan Mami yang perlahan memudar dan hilang. Bahu Grace berguncang hebat, menyadari jika dari tadi dia berbicara dengan sosok hasil produksi imajinasinya. Membayangkan seandainya wanita yang melahirkannya masih hidup, menyambut dan mengomelinya atas tindakannya yang dapat menyeret ke penjara atau mati di sana.

Grace melakukan ini untuk menghibur diri yang dilanda sepi dan menyamarkan sakit hati yang terus menderanya. Bagi Grace, lebih memilih sekujur tubuh sakit, daripada sakit di bagian dada. Walaupun hari ini, kedua rasa sakit itu menempel di dada.

"Kenapa sih, Mi? Mami harus tinggalin Grace di sini sendirian? Kenapa Grace harus ditinggal sendirian untuk menghadapi dunia yang nggak pernah kasih keadilan? Kenapa Mami tega banget tinggalin Grace sendiri? Apa Mami lelah punya putri kayak Grace? Apa Mami menyesal lahirin Grace?" rancu Grace yang masih belum bisa terima atas meninggalnya Mami.

"MAMI SAMA JAHAT SAMA KAYAK PRIA ITU!" bayangan laki-laki yang hampir menginjak usia setengah abad, memakai baju koki terbayang benaknya. Dada makin panas. Nafasnya memburu makin cepat dari sebelumnya.

"Kenapa harus Grace yang harus kehilangan Mami? Kenapa nggak pelakor itu yang mati, bareng anak sekalian? Kenapa Mami harus menyerah sama penyakit Mami? Kenapa nggak wanita itu aja yang kena kanker payudara? Ini nggak adil."

Grace merosotkan tubuh ke lantai yang dingin, menempelkan wajah babak belur di atas lutut. Menghambur-hamburkan air matanya.

Puas menumpahkan semua air matanya, Grace bangkit berdiri. Melangkah masuk ke dalam kamar. Menghempaskan tubuh di ranjang yang mampu menampung dua sampai tiga orang yang memiliki ukuran tubuh sepertinya,

Mata terpejam.

Mami tahu? Grace nggak pernah nangis kalau jatuh. Tapi, Grace selalu nangis saat dada Grace sulit bernafas karena tak bisa mengatasi marah. Marah kerena orang yang harus ada untuk Grace dan Mami direbut.

Grace juga marah sama diri Grace sendiri. Grace harusnya nggak menolong anak pelakor itu. Musuh Grace sejak dia dilahirkan, gadis itu harusnya nggak ada di dunia ini.

"Halo!" sapa seorang gadis berambut panjang sepunggung, memiliki tiga warna pink, ungu, dan abu – abu berdiri di hadapan Carolus.

Merentangkan tangan kanannya tepat di dada pemuda itu. Sekilas gadis itu mengingatkannya pada sang ratu pemiliki kostan ini. Mungkin karena rambutnya yang berwarna-warni. Kulit yang putih dan memiliki mata kecil dan sipit khas gadis oriental.

"Lie Sunny Trace," gadis itu selalu bangga menyebutkan nama lengkapnya. Senyumnya membuat semua orang terpikat. Menutupi kesedihan dengan senyuman ceria seperti namanya.

Carolus tanpa ragu menjabat tangan putih mulus itu, tersenyum, "Carolus Bernardus Tjakra,"

"Lo penghuni baru nomor enam?" Sunny menoleh ke kamar nomor enam.

Carolus mengangguk.

"Kok, lo berani sih tidur di kamar bekas orang bunuh diri?" tanya Sunny langsung ke intinya. Tatapan heran dan ingin tahu.

Sebagai seorang sahabat, Sunny tahu Grace pasti akan memberitahu sejarah kamar nomor enam kepada calon penyewa. Sunny sudah menyarankan untuk Grace tutup mulut saja. Grace menolak, dia harus jujur walaupun hasilnya tidak sesuai harapan. Grace menunjung sebuah kebenaran, dia benci kebohongan, dan tak ingin menjadi pembohong.

"Why Not?"

Sunny mengangkat jempol. Memasang mimik kagum. Juga ada tanda terima kasih. Dengan Carolus menyewa kamar itu, uang sahabat bertambah. Sunny pun dapat menikmatinya juga.

"Lo orang yang logis dan nggak percaya sama hal - hal yang berbau mistik. Keren. Nggak ada hal yang aneh kan?"

Kening Carolus mengerut, "Hal yang aneh? Maksud lo?"

"Ya kayak barang - barang di kamar lo bergerak sendiri atau mendengar suara tangisan, begitu?"

Carolus menggeleng, "Gue yakin orang yang meninggal, entah apapun penyebabnya, dia sudah bersama Tuhan. Memang lo sering mendengar atau menemukan sesuatu yang menganjal di kamar lo?"

Kali ini Sunny yang menggeleng.

"Gue boleh tanya sesuatu ke lo?"

"Apa?" Sunny seakan bersedia menjawab pertanyaan Carolus.

"Nona Grace sudah punya pacar?" Carolus memasang mimik polos ditambah penuh pengharapan. 

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang