BAB 13

56 27 0
                                    


ADA YANG BERUBAH DI DADA INI


"Kamu cantik meski tanpa bedak. Rasakan ini senang di dadaku memilikimu. Peluk aku. Merdu kudengar debar jantungmu. Oh, tenang sayang semua kan baik-baik saja ♪" suara merdu dan serak-serak basah keluar dari mulut Mahesa.

Iris mata cokelat gelap itu menatap Grace lekat-lekat lembut dan hangat. Sudah ratusan kali mereka berpapasan dan terlibat dialog singkat, Grace tidak pernah merasakan getaran seperti ini. Grace tak peduli seberapa tampan paras Mahesa. Sekarang, bisa-bisanya disela amarah dan benci, Grace masih bisa menilai ketampanan Mahesa. Belum lagi suara Mahesa yang merdu dan unik. Grace tak pernah menyangka Mahesa memiliki suara yang sangat enak di dengar. Grace yakin jika Mahesa ikut ausi audisi pencarian bakat, Mahesa pasti masuk dua belas besar.

Kedua saling menatap, saling mengagumi. Menikmati paras di hadapan mereka.

Perlahan wajah Mahesa mendekati. Mata Grace tanpa sengaja menatap bibir Mahesa. Menelan saliva yang menganjal di tenggorokan. Degupan jantung terasa lebih cepat. Perlahan mata Grace terpejam, membiarkan Mahesa mengambil kuasa penuh.

"Selamat sore Nona Grace dan Tuan Mahesa!" sapa lembut seseorang di belakang Mahesa.

Grace membuka mata. Mahesa memudurkan wajah dari wajah ayu Grace. Wajah mereka merona bak kepiting dikeluarkan dari panci penuh air mendidih.

Grace dan Mahesa memasang wajah beku. Kedua menoleh ke sumber suara. Menatap tajam dan tak suka. Seakan Carolus sudah merusak suasana yang berbanding terbalik dengan beberapa menit yang lalu.

Mata Grace terbelalak ketika menatap wajah Carolus tanpa topi bisbol. Carlos... kenapa gue nggak sadar jika yang menyewa kamar nomor enam? Tapi, dia juga seperti nggak kenal gue. Seakan kami baru pertama kali bertemu.

"Ingin kembali bertarung dan merebut gelar sang ratu?" tanya Mahesa.

Mata Grace kembali berahli ke Mahesa, yang sudah melangkah menjauhnya, menuju gerbang kuning.

"Satu minggu lagi, datanglah ke Lorong Bawah Tanah," Grace berbalik.

"Apa taruhannya jika Nona kalah? Saya tidak mau bertaruh uang."

"Apa yang Anda mau, Tuan Muda Sanjaya?"

"Jika Nona kalah, Nona harus patuh pada saya. Ingat baik-baik, Nona Grace Tifanie Rus..."

"JANGAN SEBUT NAMA RUSLIE!" berang Grace.

Meremas kedua tangannya, bayangan Peter terlintas tanpa dia minta. Grace paling benci nama belakangnya. Sayangnya, tidak bisa dicoret dari akte lahirnya. Nama yang membuatnya masih terikat oleh sang ayah.

Mahesa tidak menyahuti, melangkah ke gerbang ke dua, mengeluarkan kuncinya sambil bersenandung lagu Satu Hari di Bulan Juni milik Tulus.

Mata Grace menatap punggung lebar berotot itu menjauh darinya. Bagai mata elang yang sedang mengintai mangsa. Hingga akhirnya menghilang di balik pintu gerbang kuningitu.

"Nona Grace tidak apa-apa?" Carlous mencemaskan ibu kostnya.

Laki - laki itu melangkah mendekati Grace. Menatap gadis itu dengan tatapan prihatin melihat wajah jelita yang tak karu-karuan selain amarah yang membeku.

Sudut bibir gadis itu robek, pelipisnya berdarah. Beberapa kali telinga Carolus menangkap ringisan sakit dari Grace. Mengunggah cowok itu untuk mengobati luka dan ingin tahu apa hubungan gadis itu dengan Sang Tuan Muda Sanjaya selain ibu kost dan anak kost.

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang