HARI 45

26 6 2
                                    


BELAJAR MENJADIKAN DIRI SENDIRI SEBAGAI SAHABAT


"Grace!" panggil Mahesa yang bosan dengan keheningan di dalam mobil ini.

"Ya," Grace menoleh, menatap lekat-lekat Mahesa. Debaran jantung mengila.

"Aku cinta kamu yang ke berapa, Grace?" tanya Mahesa dengan nada ragu. Wajah yang memerah.

Debaran dalam jantung Grace makin mengila. Tanpa diminta bayangan Carolus hadir dalam benak Grace. "Aku pernah jatuh cinta ke seseorang. Dia kakak kelasku waktu SMA. Kami sangat dekat. Cinta aku ke dia buat aku nggak bisa tidur. Hanya membayangkan wajahnya, jantungku bisa berdebar sangat hebat. Bahkan, sempat melupakan dendam aku ke Papi dan A Yi.

Tapi... ada kejadian membuat aku dan dia terpisah. Saat itu juga aku merasa nggak pantas untuknya. Meyakini jika hubungan kami nggak akan berjalan lancar karena aku berasal dari keluarga yang sudah hancur. Aku keluar dari SMA dan kami putus kontak. Sekarang saat kami bertemu lagi, kami seperti sepasang manusia asing. Dia seperti tidak mengenalku. Dan perasaan yang dulu aku rasakan kepadanya, kini aku rasakan ke kamu," tangan Grace terulur ke Mahesa, mengelus pipi pria itu dengan penuh kasih sayang.

Mahesa tersenyum ke Grace, merahi jari-jari wajah menjelajah wajah tampannya, "Sentuhan kamu selalu buat aku merasa hangat dan bahagia, Grace. Terima kasih, Grace," Mahesa mengecup punggung tangan Grace.

"Mahesa..." air mata Grace kembali mengucur, terharu dengan kasih sayang yang Mahesa tumpahkan. Rasa bahagia sesaat hadir, lalu berganti dengan rasa takut. Takut bila hubungan ini akan berakhir, seperti hubungannya dengan kakak kelasnya.

"Kamu bisa saja menemaniku sedih dan terpuruk. Tapi, siapa yang nanti menemaniku bila nanti aku kehilangan kamu, Mahesa?" lirih Grace. Mengenang kejadian saat mereka ada di ruang laundry.

"Aku juga nggak ingin kamu kehilangan aku. Tapi, jika itu harus terjadi, aku tahu siapa yang akan membalut luka itu bila itu terjadi,"

Kening Grace mengerut, "Siapa?"

"Diri kamu sendiri, Grace. Sayangi diri kamu, belajar untuk menjadikan dirimu yang terpenting di hidup kamu. Jadikan kebahagian kamu sebagai prioritas utamamu,"

Grace tersenyum geli, "Menyayangi diri sendiri. Kamu aneh, Mahesa,"

"Udah saat kamu berdamai sama dengan diri kamu sendiri, Grace," ucap Mahesa menatap lekat-lekat mata Grace di saat mobil terhenti.

Grace tertegun. Kata mencintai diri sendiri terdengar asing untuknya. Tapi, itu membuatnya tertarik.

"Mencintai diri sendiri berbeda dengan mengasihani diri sendiri. Selama ini sadar tidak sadar kamu mengasihani dirimu. Tanpa sadar juga kamu menjadi musuh untuk dirimu sendiri. Kamu membiarkan dirimu terluka, bahkan kamu menambah luka. Kamu nggak mengizinkan dirimu bahagia. Berpikir kamu tidak layak bahagia."

"Bagaimana cara aku menjadikan diriku sendiri sahabat?"

"Terima apa yang udah terjadi, Grace. Kamu boleh menangis saat merindukan Mami. Kamu boleh marah atas apa yang sudah papi kamu lakukan. Tapi mau sampai kapan? Kamu harus menentukan batas waktunya, nggak bisa terus-menerus. Kamu harus melangkah ke depan, belajar ikhlas tentang apa yang sudah terjadi. Sebanyak apa pun air matamu mengalir dan teriak amarahmu keluar, nggak akan mengubah yang sudah terjadi. Kamu layak untuk bahagia, layak untuk tertawa, dan untuk mendapatkan cinta yang baru. Kamu layak bernyanyi dan bermain piano dengan lagu gembira,"

"Sulit, Mahesa,"

"Sulit bukan berarti tidak bisa. Kita akan belajar pelan-pelan."

"Bagaimana cara kamu mencintai diri kamu, Mahesa?"

"Menerima jika aku tidak sesempurna yang orang lihat. Menerima jika aku punya kekurangan. Berusaha keras untuk mencari cara mengatasinya. Sarung tangan ini contoh, kamu sudah menemukan jawaban kenapa aku memakai sarung tangan?"

"Katamu itu kutukan?" tanya Grace polos.

Sebenarnya Grace sudah tahu jawabnya lewat tingkah laku Mahesa yang terlihat aneh. Seperti tingkah Mahesa yang berulang-ulang mengecek pintu mobil atau gerbang. Sering mengomel saat Grace sembarang menaruh barang. Berdecak kesal saat ada yang kotor atau berantakan.

"Aku mengidap OCD, Grace. Aku ketakutan dan menimbulkan pikiran aneh saat aku memegang sesuatu tanpa sarung tangan. Takut bila benda itu akan menularkan penyakit yang mengerikan. Setiap kali aku memegang benda tanpa sarung tangan, entah berapa kali aku harus bercuci tangan hingga terluja. Bagimu ini aneh bukan?"

"Lucu. Aku dan orang banyak tidak memakai sarung tangan dan semuanya baik-baik saja. Tapi, aku tahu setiap orang punya pikiran yang unik dan kompleks. Kadang absurd yang tidak bisa orang mengerti, bahkan dirinya sendiri. Apa sarung tangan itu yang buat kamu nyaman?"

Mahesa mengangguk, "Jika tidak ada sarung tangan ini kita tak akan bertemu aku tetap berada di dalam pengawasan keluargaku."

"Tapi kenapa saat kamu membekai rambutku aku merasa kamu melepaskan sarung tangan?" Grace ingat sebelum Mahesa membelai rambutnya, pria itu melepaskan sarung tangannya.

Mahesa tersenyum lembut, mengelus rambut Grace dengan kasih sayang, "Karena aku percaya, kamu tidak membawa sesuatu yang berbahaya dalam tubuhku. Kamu berharga untukku. Aku akan berusaha keras selalu ada untuk kamu."

Kata-kata Mahesa sungguh menghangatkan hati Grace.

**

Dengan bahu berguncang, tangan yang bergetar Grace meletakan sebuket mawar merah, bunga matahari, dan kue ulang tahun di pusaran wanita yan telah bertaruh banyak untuknya.

Air nata Grace mengalir deras. Mengingat kembali satu tahun lalu, begitu berat dan tersiksa menyaksikan detik-detik peti putih itu turun ke liang kubur dan terendam tanah. Grace teringat betapa histerisnya dirinya menyadari bahwa dia harus mengucapkan salam selamat tinggal ke Mami. Kepergian Mami membuat setengah jiwa pergi dan terkubur bersama peti putih.

Mahesa hanya berdiri di belakang. Mengusap punggung Grace penuh sayang.

"Selamat Ulang tahun, Mami!" bisik Grace. Memasakan bibir yang bergetar membentuk senyuman.

Berusaha tegar, menghapus air mata yang tidak pernah berhenti mengucur ketika semua kenangan bersama Mami terlintas dalam benaknya.

"Selamat Ulang tahun, Tante Maria," Mahesa ikut mengucapkan. Walaupun terkesan aneh baginya. Apalagi, tanggal ini bukan hari ulang tahun Maria, tapi hari kematian Maria.

Mahesa tahu sosok ibu dari gadis yang dia cintai itu tidak ada di sini. Bahkan Mahesa tahu rohnya sekali pun juga tak hadir.

Grace menoleh ke Mahesa, "Mami ingat, Mahesa? Grace dan Mahesa sekarang sedang dekat," Grace sering memberitahu siapa pun yang sedang dekat dengannya. Semasa Mami hidup siapapun yang Grace temui, Grace suka, Grace benci, selalu gadis itu ceritakan ke maminya.

Mahesa membungkuk dan mengelus rambut Grace, "Grace, aku beri waktu lima belas menit untuk kalian, aku mau jalan sebentar!" Mahesa pamit, mengecup puncak kepala Grace.

Grace mengangguk.

Grace mengangkat buket bunga mawar dan bunga matahari, seakan ingin menunjukan hasil bercocok tanamnya selama setahun ke ibunya. Mata Grace yang masih basah menatap lekat photo Maria yang tertempat di nisan granit hitam itu. Dalam photo, Maria tersenyum bahagia, tubuh rampingnya terbalut dress merah selutut.

"Cantikkan, Mi? Grace dan Sunny menanam mereka di halaman rumah kita. Kita belajar menanam dari internet juga bertanya sama tukang tanaman. Mereka mekar tepat pada waktu. Seakan mereka tahu, mereka akan diberikan untuk Mami,"

Mata Grace berpindah ke kotak kue, "Oh ya... tadi sebelum ke sini, Grace dan Mahesa mampir dulu ke toko kue langganan kita. Mami suka kan red velvet cake? Kita akan potong kue saat Mahesa datang ya, Mi. tadi Mahesa yang bayar kuenya. Kita anggap ini hadiah ulang tahun dari Mahesa untuk Mami," mata Grace tertuju pada punggumh Mahesa yang menjauh, kembali turun ke arah mobilnya.

"Sebenarnya Grace mau datang sendirian ke sini. Mahesa nggak mengizinkannya. Tapi, Grace senang bisa semobil bareng Mahesa. Tatapan Mahesa saat itu mengingatkan tatapan Mami kalau lagi khawatir sama Grace." Grace mengembang, kali ini begitu ringan. Bersamaan dengan debaran jantung yang bergerak lebih cepat. Mendesaknya untuk bercerita hari-hari yang kini diwarnai oleh keberadaan Mahesa.

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang