BAB 10

64 29 0
                                    

KENANGAN DI SALAH SATU LORONG RAK BUKU TOKO BUKU

"♪ Matamu melemahkanku. Saat pertama kali kulihatmu. Dan jujur, ku tak pernah merasa. Ku tak pernah merasa begini... ♪"

Suara merdu penyanyi tampan asal Brunai Darussalam mengalun dari tape mobil.

Sunny yang berada di kursi penumpang ikut bernyanyi, sambil menatap pria yang duduk di kursi pengemudi.

Mata Radit tertutup kacamata hitam itu terfokus ke jalan padat merayap. Memasuki sebuah jalan yang berbeda dengan jalan pada umumnya di kota Bandung.

Braga. Bagai memasuki kotak mesin waktu, mereka dikelilingi oleh bangunan tua khas zaman Hindia Belanda dilengkapi lampu-lampu jalan antik, trotoar yang luas dan jalan dengan material batu alam yang memberikan kesan artistik.

Sesekali Radit menoleh dan melemparkan senyum pada kekasihnya, mengagumi kecantikan dan suara Sunny merdu, ceria, dan mengisyaratkan kebahagiannya bisa menghabiskan waktu bersama sang kekasih.

"Oh, mungkin inikah cinta pandangan yang pertama? Kar'na apa yang kurasa ini tak biasa. Jika benar ini cinta, mulai dari mana? Dari mana? Oh, dari mana? "

Bait-bait dalam lagu itu membawa memori Radit kembali ke lorong-lorong rak buku yang berbaris rapi di dalam Gramedia Paris van Java, setengah tahun lalu.

Kala itu Radit sedang mencari novel action fantasi yang sedang hits dibicarakan oleh booktuber dan bookstagram dalam negeri.

Novel NONA MUDA SANJAYA: APPARENT DEATH membuat pria awal tiga puluh tahun itu jatuh hati ketika menyimak penjelasan dari para ahli resensi buku tentang isi, kekurangan, dan kelebihan novel itu. Bagai jatuh cinta dengan seorang gadis hanya dengan mendengar temannya mendeskripsikan ciri gadis itu dengan sangat terperinci.

Novel itu tinggal satu - satu di rak buku. Ketika tangan Radit hendak mengambil buku incaranya, sebuah tangan putih mulus, berkutek orange terang ikut mengambilnya.

Terjadi rebut-rebutan antara mereka, Radit tak mau mengalah.

Sudah dua - tiga toko buku di pelosok kota bunga ini dia telusuri demi mendapatkan novel incarannya yang sampat membuat tidak bisa tidur. Saking ingin segera membaca.

Gadis berkutek orange terang itu mengalah, membuat Radit tidak enak hati. Anggapnya gadis itu juga bernasib dengannya. Dengan agar ragu dan berat hati, Radit memberikan novel ini untuk sang gadis itu.

Gadis menggeleng. "Tidak perlu. Buat Om Ganteng aja, kayaknya Om lebih butuh novel itu," Gadis itu tersenyum manis. Matanya memancarkan kebahagian dan keceriaan.

"Om?" Radit tersinggung dipanggil Om oleh gadis itu. Tapi karena ada embel-embel 'ganteng', kali ini dia akan memaafkan. Ditambah perempuan muda itu sudah mengalah.

"Kenapa? Ceritanya menarik banget, lho. Sayang tidak dibaca. Nanti nggak bisa tidur karena penasaran. Kisah keren banget, lho,"

Senyum gadis itu melebar, membukukan setengah badan, dan memegang dada. "Terima kasih pujiannya,"

Radit mengerutkan keningnya. Dia sedang memuji isi buku ini, bukan gadis berlesung pipit itu. Tak bisa dipungkiri, Radit sangat suka senyum di wajah cantik itu, ditambah lagi lesung pipit di pipi putih kemerahan itu. Jantung Radit mulai berdegup kencang.

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang