BAB 15

48 27 0
                                    


MENUMPAHKAN SEGALA RASA



"Grace tenang, lo bikin gue takut," mulut Sunny bergetar, cairan bening mulai muncul di pelupuk matanya.

Hening. Grace mencoba menuruti. Mengatur nafasnya agar lebih tenang. Dia juga tak mau, sahabatnya mulai menganggapnya sebagai seorang yang pantas dijauhi.

"Kami kembali bertarung di luar. Lagi-lagi gue kalah. Yang bikin gue makin marah, dia hampir cium gue. CIUM BIBIR GUE!" amarah Grace kembali menggelora. Bagai api yang disiram bensin.

"APA!" pekik Sunny terkejut.

Berarti Mahesa juga suka sama Grace. Sunny mengira, hanya Mahesa satu-satu cowok yang tak terpesona dengan kecantikan Grace. Sunny tak terlalu terkejut. Sedikit lega, karena berita di luar sana ada yang mengatakan Mahesa itu suka sesama jenis itu tidak benar. Mahesa tak pernah terlihat bersama seorang gadis. Wanita yang pernah berfoto dengan Mahesa dan dipamerkan di akun instagramnya, ibu, adik perempuan, dan mendiang kakak perempuan Mahesa.

Grace bangkit berdiri, menatap ke luar jendela yang sudah gelap. Lampu-lampu penyerang jalan menyalah secara otomatis. "Satu orang lagi yang bikin gue makin marah. Anak kost baru itu. Ternyata..." Grace meremas kedua tangannya sekuat tenaga. "Bisa-bisanya, gue nggak tahu siapa dia. ARGGGHHH!"

Kerutan kening Sunny makin mendalam, "Maksud lo?" bingung Sunny.

Curahan Grace penuh emosi itu sulit dipahami oleh Sunny. Membingungkan dan membuat penasaran.

"Gara-gara dia... gue gagal merasakan ciuman pertama gue dari Mahesa. Dasar nggak tah situasi. Atau... ARGGGHH! GUE BENCI TUH COWOK! BENCI!" Teriak Grace.

"Hah?" Sunny makin tak mampu mencerna perkataan Grace yang terdengar kontradiktif. Grace tadi kesal, Mahesa hampir mencium, tapi sekarang dia marah ke Carolus yang mengagalkan Mahesa untuk merebut first kiss Grace.

"Mahesa mau nantang gue bertarung satu minggu lagi," ucap Grace. "Kali ini gue nggak boleh kalah, San! Gue harus menang lawan Tuan Muda Sanjaya itu,"

Nafas Grace kembali naik-turun, makin lama makin tak beraturan ketika membayangan pertarungannya dengan Mahesa di luar sana. Remasan tangan Grace makin kuat.

"Kenapa harus dia yang menang? Kenapa bukan gue? Kenapa dia harus datang ke Lorong Bawah Tanah dan merebut gelar ratu gue. KENAPA!" rasa tak mau kalah kembali terbit di dada.

Jantung Sunny kembali berdegup kencang. Bagai menaiki wahana roller coaster, Grace membawa emosi Sunny naik-turun dengan kebingungan yang sulit menemukan benang merah dari kalimat-kalimat Grace yang tidak beraturan. Ditambah kalimat ambigu yang tidak bisa menemukan benang merahnya. Tak paham dengan logika yang Grace bangun.

Sunny tak mengerti dengan jalan pikiran Grace. Di satu sisi Grace marah dia kalah bertarung melawan Mahesa, tapi di satu sisi dia marah ada orang yang menggagalkan ciumannya dengan Mahesa.

Apakah Sunny bisa bertahan di kost ini, melihat sahabatnya yang memiliki emosi yang makin mengerikan? Sunny juga tak tahu cara untuk menenangkan badai yang bergemuruh di dada Grace?

Suatu yang tidak Sunny inginkan terjadi, Grace mulai mengangkat kepalan tangannya ke atas dan mulai memukul ubun-ubun kepala.

"KENAPA DIA NGGAK BUNUH GUE AJA. GUE MAU MATI. GUE MAU KETEMU MAMI!" teriak Grace makin histeris.

Sunny menggeleng sekuat tenaga, "Grace, jangan ngomong begitu!" lirih Sunny memohon, air mata turun.

"GRACE, PLEASE STOP! JANGAN NGOMONG KAYAK GITU!" teriak Sunny sekuat tenaga.

Sunny sudah jengah dengan kalimat-kalimat Grace yang mengharapkan kematiannya sendiri. Air mata Sunny tumpah lebih deras dari sebelumnya. Untuk pertama kali selama mereka bersahabat, Sunny berteriak penuh emosional seperti ini pada Grace.

Mata kedua sahabat itu beradu, marah campur putus asa.

"Kalau lo mati, gue sama siapa, Grace?"

"Nggak cuman lo aja yang pengen mati. Lo kira gue nggak? Tiap hari, gue juga pengen mati, ketemu Mama dan Papa. Tapi, gue tepis semua pikiran itu, karena ada lo. Alasan utama gue nggak coba untuk melakukan percobaan bunuh diri itu lo. Karena gue pengen bareng-bareng sama lo sampai tua nanti. Tapi..." Sunny berhenti berbicara. Tangisannya makin deras. Tubuh bergetar hebat, takut campur marah. Sapa tahu Grace tidak menyukai kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Sunny.

"Lo nggak tahu seberapa sayangnya gue ke lo. Bagi gue, lo itu saudara gue. Banyak orang yang bilang gue sama lo kayak anak kembar. Bahkan tadi, Radit bilang, gue anggap lo tuh kayak bagian tubuh gue. Lo bisa ngerti kan seberapa penting lo di hati gue? Atau emang itu keharusan, karena lo selalu melindungi gue sejak kecil, sebagai balas budi gue ke lo. Dan lo..." Sunny kembali menghentikan ucapannya. Nafas memburu, memaksakan berbicara panjang lebar di kala dada terasa sesak, bahkan mulai kesulitan mencari oksigen.

"Gue nggak mau menebak-nebak seberapa penting gue di hati lo. Apa lo sadar gue sayang lo? Apa lo tahu banyak orang yang sayang sama lo? Sadar kalau banyak cowok dengan mudahnya jatuh cinta sama lo. Banyak Grace orang peduli sama lo. Sampai gue iri. Tiap jalan pasti ada orang tanyain kabar lo. Gue iri saat ada cowok yang tanya apa lo sudah punya pacar. Bahkan, orang yang lo panggil pelakor, tiap hari pasti tanya kabar lo ke gue?"

Sunny mengangkat kantong plastik beraroma bakar yang harum, menusuk indra penciuman. "Nasi Bakar kesukaan lo. Gue pulang cepet demi bisa makan malam sama lo. Tapi..." Sunny memandang sekelilingnya. Menggeleng sedih. Dengan tangan bergetar di meletakkan kantong berisi dua bungkus nasi bakar di meja makan.

"Sekarang terserah lo, mau tetap hidup atau mati. Toh, gue nggak ada artinya untuk lo. Lo sudah hidup di dunia lo sendiri tanpa tarik gue ke dalamnya," Sunny tersenyum sinis ditunjukan untuk dirinya. "Miris banget hidup gue, sayang sama manusia kulkas kayak lo. Gue..." Sunny menggantungkan kalimatnya. Enggan mengutarakan kalimat selanjutnya.

Sunny berjalan meninggalkan rumah mungil itu.

Grace mematung mencerna apa yang Sunny katakan. Bahunya bergetar, air mata turun. Raut wajah dipenuhi sesal.

"San, gue juga sayang banget sama lo. Sayang gue ke lo melebihi sayang gue ke badan gue. Gue nggak suka lo terluka, gue lebih baik lihat tubuh gue terluka, daripada lihat lo terluka," ucap Grace.

Mata tertuju pada nasi bakar yang tergeletak di meja makan bulan itu. Mendadak perut terasa kosong, tapi tidak berselera untuk memakannya, bahkan menyentuhnya. Apa dia layak makan nasi itu, di saat dia telah membuat sahabatnya menanggis? Padahal sejak kecil, Grace akan marah, siap menghajar orang yang membuat Sunny menangis.

Untuk pertama kalinya, Sunny harus mengeluarkan air matanya karena tingkah Grace dan emosi Grace yang tak terkontrol. Melupa, jika ada satu orang yang menyayanginya. Lupa bahwa tingkah akan membuat orang terdekat takut.

Grace menurunkan tubuhnya, meringkuk di lantai. Memeluk lututnya dengan erat. Air mata terus membasahai pipi.

"Mi, Grace udah jahat, ya, sama Sunny? Grace nggak bermaksud bikin Sunny nangis. Grace nggak tahu kalau Sunny akan marah waktu Grace bilang mau mati dan menyusul Mami."

"Andai Grace bisa mengendalikan emosi. Andai saja waktu Sunny masuk, Grace bisa meredahkan emosi. Menyambut Sunny kayak Mami, menyambut Grace pulang. Grace bukan sahabat baik untuk Sunny," suara Grace bagai anak kecil yang sedang bertengkar dengan teman bermainnya.

Grace membayangkan Mami berjongkok di sampingnya, membelai rambut warna-warninya dengan penuh kasih sayang.

"Mi, gimana kalo Sunny ninggalin Grace?" tanya Grace.

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang