HARI 29

42 7 0
                                    


PETAK UMPET


Sekitar satu setengah jam, menghabiskan dua pop mie dengan rasa yang berbeda. Kari Ayam dan Ayam bawang. Satu lagi kopi instan bergambar luwak. Duduk berhadapan dengan gadis yang menjadi kekasih dan dunianya.

Mengamati cara dia menulis dengan memakai tangan yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Mengamati gadis itu melihat sekeliling mereka untuk mencari ilham. Tersenyum manis saat mendapat ide baru untuk tumpahkan ke dalam notebook spiral.

"Selesai," Sunny menghentikan pensil mekanik ungu itu menari di atas note book baru. Hadiah dari cowok yang sedari tadi memperhatikannya, tanpa menoleh sedikit pun ke tempat lain.

"Aku tak sabar untuk membacanya, Nona Penulis," tangan kanan Radit terulur ke arah Sunny.

Sunny menggeleng. Mendekap buku tulisan. Seakan melindungi buku itu dari Radit.

"Kenapa?" kening Radit mengerut.

Bukannya Sunny dengan suka rela akan memberikan hasil imajinasi ke Radit? Bahkan kadang memaksa Radit untuk membaca, mengoreksi, dan memuji hasil imajinasinya.

"Aku mau bermain petak umpet,"

Tiba-tiba ketika sedang menjabarkan imajinasinya, Sunny mendapat ide. Sebuah permainan yang sering dimainkan oleh versi Sunny dan Grace kecil. Itu juga yang menginspirasi adegan yang dia tulis selama sembilan puluh menit.

Ajakan itu membuat dua alis Radit hendak menyatu. "Petak umpet?" satu hal yang Radit sukai, bersama Sunny, banyak kejutan yang tak pernah bisa dia prediksi. Tak pernah dia berencana jika dia akan menghabiskan dua pop mie sambil memperhatikan Sunny bekerja. Sekarang tiba-tiba mengajak bermain petak umpet.

Sunny mengangguk. "Ingin bermain?"

"Aku baca dulu tulisan kamu!" Radit kembali mengulurkan tangannya ke Sunny, meminta buku tulis dalam dekapan gadis itu.

"Oke. Berarti, kamu yang jaga. Kamu harus baca cerita ini sampai selesai. Sedangkan aku bersembunyi. Lewat tulisanku, kamu akan menemukan di mana aku berada. Aku akan menunggu kamu di tempat bersembunyianku. Gimana?"

Radit tidak langsung menjawab. Mata berkelilingi sekitar mereka. Raut wajah terlihat cemas melihat pohon-pohon besar dan jalanan setapak yang jarang lalui. Mereka terlalu pagi datang ke sini. Keadaan masih sepi dan sunyi.

"Aku nggak akan hilang," Sunny tahu apa yang Radit pikirkan.

Sunny tahu Radit tak akan membiarkan Sunny pergi jauh terlalu jauh darinya. Jika Sunny lenyap dari pandangan Radit, atau mengambil jarak lebih dari lima meter, Radit akan uring-uringan. Selama mereka jalan bareng, tangan Sunny tak boleh lepas dari genggaman tangan Radit.

"Kamu itu cantik, gimana jika ada pangeran kesasar yang tiba - tiba lihat dan culik kamu," Radit belum bisa sepakat.

"Lebai! Ayo, bermain!" bujuk Sunny dengan raut wajah merajuk.

Radit menggeleng. "Ini hutan, Little Rabbit!" Radit betul - betul khawatir.

"Aku sering banget ke sini bareng Grace. Kita sering banget berpisah. Tapi, nanti ketemu lagi. Bilang aja kamu nggak pinter main petak umpet," Sunny menjulurkan lidahnya.

"Aku kan udah pernah bilang, kita nggak boleh pisah," tegas Radit.

"Kamu harusnya yakin, di mana pun aku berada, kamu pasti akan menemukankanku," Sunny memasang raut wajah bete.

Idenya terancam batal. Kadang memiliki pacar yang terlalu overprotection tidaklah selalu menyenangkan. Membuat Radit begitu menyebalkan.

"My Little Rabbit, ayolah mengerti! Kita bisa main petak umpet di kost atau rumahku," bujuk Radit.

Kenapa Radit memanggil Sunny dengan My Little Rabbit? Sebutan itu, karena gigi kelinci yang Sunny memiliki membuat gadis itu manis dan imut. Itu juga menginsprirasi Sunny untuk memakai panggilan sayang untuk tokoh utama dari tunangannya.

"Kita pulang aja!" ngambek Sunny. Memasukan buku tulisan ke ransel orange.

"Oke. Oke. Untuk kali ini aja. Janji?" Radit mengulurkan jari kelingking di wajah Sunny.

Raut wajah bete itu seketika lenyap dari wajah jelita Sunny. Segera kelingking munggil menyatu dengan kelingking besar itu.

"Kenapa kamu memukul dirimu sendiri? Menghukum diri atas kesalahan mereka yang melukai hati Nona," Mahesa mengelus rambut Grace. Mencurahakan kasih sayang kepada Grace.

Grace belum menjawab. Bukan ingin memendam sendiri masalah yang sudah mengendap selama bertahun-tahun. Tapi, Grace tak

Grace tahu jawabannya. Grace juga bingung terhadap dirinya sendiri. Mengapa tiap Peter datang, Grace akan menyakiti dirinya sendiri? Mungkin itu cara yang ampuh untuk mengusir Papi dari sini. Atau ingin memberitahu jika Grace sangat-sangat terluka dengapan apa yang sudah Peter dan Marta lakukan kepadanya dan Mami. Tapi, saat Papi mengalah dan pergri, hati Grace tidak kembali membaik. Bahkan kesal, kenapa Papi pergi menyerah dan meninggalkannya.

"Berbagilah dengan saya!" Mahesa merentangkan tangannya ke depan Grace.

Grace menatap telapak tangan Mahesa, bimbang. Apa dia bisa berbagi luka ini ke Mahesa?

"Apa itu tidak membebani..."

Kalimat Grace terhenti, bel rumah berbunyi.

Mata Grace sontak menoleh ke pintu rumah. Jantung berdegup cepat. Kesal kembali muncul ke permukaan. Tanda, Grace tidak mengharapkan siapapun menganggu interaksinya dengan Mahesa.

Mahesa melangkah ke pintu masuk, "Tunggu..."

Tangan Grace menangkap tangan Mahesa. Mata mereka bertemu. Grace menggeleng.

"Bukan pria yang kamu sebut Papi, Nona Grace. Dia sudah pulang, menyerah untuk bertemu kamu. Hatinya hancur, karena rindunya kepada putri kesayangannya tak bisa tergapai,"

Mata Grace terbelalak. Terkejut. Bukan karena Mahesa tahu isi hati Papi. Tapi, fakta yang Mahesa ucapkan. Entah bagaimana caranya Grace percaya apa yang Mahesa ucapkan? Seakan itu adalah kebenaran. Walaupun apa yang Mahesa ucapkan belum terbukti kebenarnya.

"Hatinya hancur?" gumam Grace dengan nada kejam. Tatapan kosong. Senyuman terangkat. Seakan senang jika itu terjadi.

"Selamat Pagi, Tuan Mahesa," sapaan yang mulai terdengar tak asing. Sapaan itu juga terdengar berat dan tak setulus biasanya. Menyimpan kekesalan dan Rasa tak terima.

"Ada perlu apa dengan Nona Grace? Sekarang gue yang akan bantu Nona Grace? Lo tinggal bilang ke gue?" nada Mahesa beku. Seakan satu frekuensi dengan Grace, tidak mengharapkan kemunculan Carolus.

"Bagaimana keadaan Nona Grace? Apa gue boleh masuk? Oya, gue menemukan sesuatu di depan pintu? Entah ini dari siapa?" tutur Carolus, tersenyum. Berharap bisa masuk dan berada di tengah mereka.

Mahesa menoleh ke Grace, meminta persetujuan. Grace menggeleng. Hanya kamu, pria yang boleh masuk ke rumah saya. Tidak ada pria lain.

"Nona Grace baik. Kami baru selesai sarapan. Taruh saja rantai itu di tempat kamu menemukannya."

"Apa gue nggak boleh masuk?"

Mahesa menggeleng. Saya akan memastikan hanya saya laki-laki yang singgah lalu menetap di rumah mungil ini. Juga di hati kamu, Nona Grace.

Pil pahit harus Carolus ketika pintu kayu itu digeser ke arah menutup.

Ada rasa tertolak. Tidak diterima. Sepasang manusia beku sudah bekerja sama menolak. Menganggapnya sebagai lalat pengganggu.

Apa yang salah darinya? Kenapa semua orang menolaknya? Memang hanya Grace dan Mahesa yang menolaknya, tapi rasanya seakan dunia menolaknya.

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang