BAB 14

56 27 0
                                    


GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF

Mahesa membuka kunci gembok pintu gerbang itu, lalu menguncinya lagi. Menarik, memastikan jika gembok besi itu tidak akan bisa dibobol. Lalu menurunkan tangannya, memasukan kuncinya ke kantong celananya.

"Nona Grace akan marah besar jika kita lalai mengunci," gumam Mahesa.

Mahesa kembali melangkah ke kamarnya, namun beberapa langkah, Mahesa berbalik, mengeluar kunci kostannya. Memasukan kunci itu dalam lubang kunci gembok itu. Lalu kembali menarik gembok besi itu. Menurunkan tangannya, memasukan kunci ke kantong celana.

"Nona Grace akan marah besar jika kita lalai mengunci," ucap Mahesa untuk kedua kalinya.

Tingkah Mahesa tak lepas dari pengamatan mata Carolus. OCD (1). Gangguan obsesif kompulsif. Tidak salah lagi. Washers (2). Menunjung tinggi kebersihan badan. Sehabis dia bertarung, dia langsung menganti bajunya. Selalu memakai sarung tangan, ketakutan yang sangat berlebihan akan bakteri. Checkers (3), memeriksa sesuatu berulang kali.

Carolus melangkah mendekati teman kostan itu yang masih saja melakukan hal yang sama, berkata kalimat yang sama, sudah sepuluh kali dalam hitungan Carolus.

"Kita belum berkenalan," Carolus mengulurkan tangannya ke Mahesa.

Mahesa tersenyum sinis, melipat kedua tangannya di dada, "Ingin memastikan sesuatu, Carolus Bernadus Tjakra?"

Kembali mata Carolus membesar. Dari mana dia tahu nama gue?

"Gue denger waktu lo berkenalan sama Sunny. Kalian berkenalan tepat di depan kamar gue. Gue nggak sesakti itu tahu nama lo." Mahesa melangkah melewati tubuh Carolus, melangkah kembali ke kamarnya.

Bulu-bulu halus pada tekuk Carolus berdiri. Ragu, apa benar Mahesa mampu membaca pikirannya atau ini hanya kebetulan saja.

**

Xpander putih berhenti di depan pagar putih. Sejenak sepasang kekasih itu menatap langit dari kaca depan mobil.

Keadaan di luar mobil tampak cantik, langit menampakkan warna-warna yang memukau mata, merah, orange, ungu, dan biru yang melebur menjadi satu. Indah dan syahdu.

Aroma nasi bakar dalam kantong plastik putih yang Sunny genggam, membuat Sunny sadar dia harus segera angkat kaki dari Xpander putih itu.

"Kira-kira Grace udah makan belum, ya?" gumam Sunny menengok isi kantong plastik itu.

Radit mengacak-acak rambut Sunny, "Selalu ingat, Grace. Kadang aku iri sama sahabat kamu," cemburu Radit.

Belum siap berpisah dengan kekasihnya. Tangan besarnya menggenggam erat tangan putih Sunny.

"Grace, pasti lagi nunggu aku pulang. Aku juga khawatir banget, wa dan telepon aku nggak diangkat-angkat," mimik cemas mampir di wajah oriental itu.

Pasalnya sudah puluhan pesan dan telepon Sunny coba untuk menghubungi sahabat semata wayangnya.

"Jangan khawatir berlebihan, Sayang," Radit mengelus rambut Sunny, lalu mengecup puncak kepala gadis itu.

"Grace itu satu-satunya sahabatku, Sayang. Aku sangat sayang Grace. Dia itu sudah jadi saudara perempuanku. Grace yang selalu ada untuk aku. Meskipun dia sudah berubah jadi dingin dan asing," lirih Sunny, memasang wajah sedih campur khawatir.

Radit menggeleng penjelasan Sunny kurang tepat. "Kamu menyayanginya seakan dia adalah bagian dari tubuhmu. Kamu menyayanginya lebih dirimu sendiri. Beruntung aku punya pacar yang begitu sayang pada sahabatnya. Jika nanti kita punya anak, kamu pasti akan menyayangnya seperti rasa sayangmu ke Grace. Tapi ingat, kamu juga harus sayang sama dirimu,"

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang