03. Tawuran

213 19 50
                                    

_______________

02. RIBUT
___________________________________

"WOY ANJING, MAJU SINI LO!"

"WOY BANGKE, JANGAN SENTUH MUKA GANTENG GUE!"

Napi memukul Danu, lawannya dengan kayu, darah segar langsung keluar dari hidung dan mulutnya.

Tama, teman Danu maju untuk menghajar Napi menggunakan benda tajama cerulit, Napi dengan cepat menangkis benda tajam itu dengan kayu. Lalu laki-laki itu menendang perut Tama hingga mundur dan mengeluarkan darah.

Napi mengambil benda tajam dengan bentuk bulan sabit itu, lalu menggoreskan di bagian kaki Tama. Sangat dalam hingga bagian kulit laki-laki bernama Tama itu hampir terlepas.

"Polisi woy polisi! Mundur!" teriak Johan.

Mereka semua langsung kembali pada motor masing-masing, dengan tergesa menyalakan mesin motor. Berbeda dengan yang lain, Napa masih santai memukuli lawan, sebelum dirinya masuk kantor polisi, maka harus menghabisi lawan lebih dengan puas dulu.

"Anjir, udah woy, itu polisi udah kesini anjirt! Gelo sia, buruan Napi!" Riyan menarik baju Napi dengan kasar, namun terlambat. Polisi datang dan menodongkan pistol.

Napi menatap pistol itu dengan santai, mengangkat kedua tangannya sembari tersenyum puas melihat Tama, musuhnya sudah terkapar lemas. Teman yang lainnya tertangkap juga.

Polisi menyeret para laki-laki biang onar itu yang sudah sangat polisi hapal karena sering sekali masuk penjara.

Mereka di bawa ke kantor polisi lalu di masukkan ke penjara untuk sementara sampai orangtua mereka tiba.

***


"BODOH, KAMU HANYA BUAT SAYA RUGI MENGELUARKAN UANG! SAYA HARUS SEPERTI APALAGI MENDIDIK KAMU HAH?" bentak Jenandra, menampar Napi sekali

Napi diam menunduk, tidak akan melawan atas tindakan Ayahnya, karena dalam dirinya ia sadar akan kesalahannya.

"MAU JADI JAGOAN KAMU HAH? MASIH KECIL UDAH BANYAK GAYA."

"Sekali lagi kamu buat onar sampai masuk penjara, saya akan menarik semua fasilitas yang kamu pegang!"

"Mas, udah. Muka Napi udah babak belur, suruh istirahat dulu." Lita menghampiri kedua laki-laki itu dan menjadi benteng untuk melindungi Napi dari suaminya.

"Dia itu kebiasaan kamu manjain, jadi ngelunjak!"

Jenandra menghembuskan nafasnya, mengontrol emosi yang sudah berada di ujung kepala. Benar-benar membuat darah tinggi dan pening kepala. Ia menatap Napi dengan tajam, lantas pergi dari sana.

Lita berbalik menatap anaknya dengan cemas. "Kamu sekarang ke kamar ya, Mamah nanti ke kamar kamu bawain obat sama susu. Kamu mandi dulu."

"Iya Mah, makasih." Napi mengecup pipi ibunya sebelum pergi menuju kamarnya.

Napi merebahkan tubuhnya pada kasur, menghembuskan nafas kasar lalu memegang luka di sudut bibirnya yang terasa nyeri.

Napi mengambil ponselnya yang berbunyi, mengangkatnya tanpa melihat nama kontaknya.

"Halo."

"Lo habis berantem lagi ya? Kebiasaan banget sih! Kerjaan lo masuk keluar penjara aja. Lukanya udah di obatin belum?"

Napi terkekeh, ocehan Nayara sangat menghiburnya.

"Belom, gue habis di tampar Papah." adu Napi.

"Baguslah, gitu aja lo nggak ada kapoknya." dumel Nayara di sebrang sana.

"Obatin sana lukanya– Nay! Ini taro dimana?”

Dari balik telefon, Napi mendengar suara yang tidak asing, suara itu sangat mendebarkan hatinya di awal saat mereka bertemu.

"Di meja aja dulu. Napi, udah ya, gue mau makan dulu, jangan lupa obatin luka lo."

"Lo dimana?" tanya Napi cepat sebelum sambungan terputus.

"Di rumah, kenapa?"

"Nanti gue ke sana." Sambungan telfon pun terputus, Napi buru-buru membersihkan diri dan bersiap siap serapih mungkin.

"Loh? Kamu mau kemana lagi?" Lita masuk dengan membawa nampan dan sekotak obat P3K.

"Aku mau ke rumah Aya, mah." jawab Napi yang sedang berkaca untuk merapihkan rambutnya.

"Muka kamu belum di obati, jangan dulu." Nasihat Lita.

"Gapapa mah, luka kecil. Biasa ini mah."

"Ih di bilanginnya nggak mau denger, duduk dulu!" paksa Lita menatap tajam putranya.

"Iiih mah.. Api gapapa, lagian gak sakit ko." jawab Napi sambil mengucap nama kecilnya.

Lita menghela nafas. "Lagian mau ngapain ke rumah Aya? Kamu biasanya cuman bikin anak orang nangis, sebel Mamah."

"Enggak mah. Api mau nyamperin temennya Aya, meni geulis, Mama juga pasti heran deh kenapa ada manusia secantik itu."

"Hemmm, masa sih? Secantik apa.. bawa kesini dong, Mamah mau liat," goda Lita menaikturunkan alisnya.

"Siap Mah! Mama bakalan cepet dapet mantu, tunggu aja Api bawa sini," kata Napi dengan bangga.

Napi tersenyum di depan kaca, merasa tersenyum bangga memiliki wajah tampan. Apalagi lesung pada kedua pipinya, menambahkan kesan manis.

"Api berangkat dulu mah."

"Have fun sayang."


••••••••••••••••••••••••

NARAPIDANA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang