“Yumi ...” Zenny memanggil putrinya lirih. Menangis dengan linangan air mata yang tertahan, wanita paruh baya itu menunduk dalam, merasa bersalah paling besar.
“Mommy?” Yumi berbalik dengan terkejut, menghampiri Ibunya yang menangis.
“Ma-maafin Mommy ... Mommy salah, Mommy enggak perhatiin kamu selama ini, terlalu sibuk sendiri sampai biarin kamu sendiri ... maafin Mom–” isak tangisnya tak terbendung. Wanita paruh baya itu tersedu-sedu dengan air mata yang terus berjatuhan. Rasanya tidak sanggup mendongak, rasanya ... benar-benar malu untuk menatap sang anak.
“Mommy udah putusin, kalau kamu enggak nyaman sama Kael, kamu bisa berhenti. Mommy yang tanggung jawab untuk ini semua, Mommy minta maaf sayang ...”
“Maafin Mom ...”
“Mom.” Seulas senyum tersungging di bibir cantik Yumi, ia meraih telapak tangan Ibunya, menggenggam guna memberi ketenangan. “Yumi baik-baik aja. Yumi enggak pernah marah sama Mom.” Semarah, sekesal apapun anak terhadap orangtua. Tidak akan bisa mengurungnya dengan dendam, tetap ada rasa tidak enak dan sayang yang luas untuk Ibunya. Yumi tak pernah benar-benar membenci Ibunya.
“Enggak apa-apa, Yumi bakal terusin acaranya. Bentar lagi aku sama Kael terikat, enggak mungkin kalau di batalin gitu aja.”
”Mommy yang tanggung jawab, kamu bisa memutuskan kalau enggak nyaman. Bilang aja sama Mom.”
Memberi gelengan pelan, Yumi terus mengukir senyuman. “Aku ... nyaman sama Kael. Aku baik-baik aja sama dia.”
Zeny tersenyum, binar-binar matanya begitu menunjukkan harapan banyak. Ia ... ingin memeluk anaknya, ingin memperbaiki semuanya, ingin menjadi Ibu yang baik untuknya.
“Maaf ... maaf ... Mommy minta ma–”
Yumi langsung berhambur ke dalam pelukan Ibunya, memeluknya dengan erat. Air matanya turun membasahi dress sang Ibu. Yumi hancur melihat air mata Ibunya.
“Mom, Yumi baik-baik aja. Benar-benar baik-baik aja. Yumi sayang Mommy ...” Kali ini keinginan Yumi benar-benar terkabul, bisa memeluk ibunya kembali seperti saat ia kecil. Bisa mengungkapkan rasa sayang tanpa perseteruan. Kebahagiaan ini ... benar-benar tak ingin ia lepas.
Kedua perempuan itu saling balas memeluk, menyalurkan rasa sakit, rindu, bahagia yang saat ini hadir. Benar-benar bersyukur mereka bisa damai tanpa perseteruan seperti dulu.
Ini ... momen yang membahagiakan.
*****“Oy monyet!” Nayara memukul tangan keras Napi cukup kencang, membuat cowok itu mengaduh pelan lalu menatapnya dengan sorot kesal.
Nayara ikut duduk di samping Napi. Keduanya berada di kolam renang rumah cowok itu, Nayara berinisiatif datang karena bosan di rumah. Kedua kakinya bergerak-gerak dalam air sambil sesekali menoleh pada sahabat kecilnya.
“Ngapain lo kesini?” Pertanyaan bernada sinis itu Napi layangkan pada sahabatnya. Matanya sama sekali tak beralih dari kolam.
“Mampir, mau liat orang patah hati,” gurau Nayara.
“Pulang sana!”
“Dih ngusir, gue bilangin Tante loh!”
Napi hanya bisa berdecak. Tahtanya sebagai anak selalu bergeser jika berhadapan dengan Nayara. Cewek itu bahkan berhasil menghuni hati kedua orangtuanya yang menginginkan anak perempuan. Napi terkadang selalu merasa menjadi anak buangan.
“Lo sedih ya? Mau nangis?” Nayara tak bisa menghibur orang, jadi ia bertanya yang sudah jelas jawabannya.
“Ya udah nangis aja sih. Lagian muka lo makin mirip monyet kalau sedih gitu,” celetuknya tanpa beban.
KAMU SEDANG MEMBACA
NARAPIDANA ✓
Teen Fiction{SELAMAT MEMBACA} ___ Julukan Napi sangat cocok untuk laki-laki berpakaian urakan itu. Selain sering tawuran, mabuk-mabukan, balapan liar, Napi juga seringkali keluar masuk penjara. Napi juga seringkali bergonta-ganti pasangan, hanya untuk main-mai...