“Napi?”
Sejujurnya Yumi terkejut akan kehadiran Napi yang muncul di depan pintunya. Sangat beruntung karena gadis itu sudah merapihkan diri setelah perbuatan ayah tirinya terulang kembali.
“Sori, gue asal masuk. Pintunya nggak di tutup dan lo nggak nyaut, gue takut tadi. Takut lo kenapa-kenapa,” jelas Napi supaya tak terjadi kesalahpahaman.
Yumi mengulas tersenyum tipis, perempuan itu mengangguk dan berkata tak apa.
“Lo sakit?” tanya Napi memegang kedua pundak perempuan di depannya khawatir.
“Enggak, aku baik-baik aja. Efek kurang tidur semalam, jadi gini, hehe,” kilah Yumi.
Napi menatap intens gadis di depannya, mata bernetra cokelat miliknya menelusuri seluruh tubuh Yumi dari atas lalu turun ke bawah. Tangan laki-laki itu memegang pundak Yumi.
“Lo jujur kan?” Napi khawatir.
Yumi mengangguk singkat, “Iya.”
“Mau masuk?” imbuh Yumi bertanya.
“Ha? Ke kamar?” Napi terperangah.
“Iya.”
Napi menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal, laki-laki itu menyengir canggung. Merasa berbeda jika dalam keadaan seperti ini bersama Yumi, dirinya terasa segan dan takut melakukan hal lebih.
“Aku lagi lemes banget buat turun. Kalau kamu mau pulang silahkan, ini udah malam juga,” tutur Yumi.
“Nggak, nggak! Gue mau nemenin lo,” sela Napi.
Yumi tersenyum senang, ia menarik lengan Napi untuk masuk ke kamarnya, ia menutup pintu.
“E-eh! Kenapa di tutup?!” seru Napi panik.
“Eh, gapapa. Cuman mau aku tutup aja.” Yumi cukup syok akan respon Napi yang terlihat takut dan panik, seakan dirinya akan melakukan kekerasan pada anak di bawah umur.
“Jangan di tutup, biarin aja di buka pintunya,” ucap Napi.
“Oke.” Yumi kembali membuka pintu, setelahnya berjalan menaiki kasurnya yang berantakan, rasa pening menjalar di kepalanya. Tubuhnya pun lemas dan sulit untuk bergerak. Rasa tidak enak ini benar-benar menyiksa Yumi.
“Napi? Ngapain masih berdiri disana? Kesini,” titah Yumi, menepuk sisi kasur guna laki-laki itu duduk di tempat kosong sebelahnya.
Laki-laki berperawakan tinggi dan tegap itu berjalan perlahan, tubuhnya keringat dingin. Tulangnya terasa seperti jely yang melemas.
“Gue t-takut.” Napi berucap terbata-bata. Langkahnya pun terasa lama padahal jaraknya dengan kasur tak terlalu jauh.
Dahi Yumi langsung menyerngit bingung, perempuan itu bertanya. “Takut kenapa?”
Napi tak merespon.
“Api?” Yumi memanggil menggunakan nama kecil Napi.
“Takut.. Takut nakal sama lo,” cicitnya pelan.
“Nggak apa-apa, sini.” Yumi tak berfikir jauh. Sungguh, pikirannya buntu. Kalaupun nanti Napi macam-macam Tetapi perasan Yumi begitu tenang saat melihat ketakutan pada raut wajah Napi, laki-laki itu benar-benar terlihat menjaga.
Napi mendekat, berdiri di tepian samping kasur dengan hati gelisah.
“Ko disini seakan aku yang mau jahatin kamu sih?” Yumi terkekeh.
“Sini ah duduk. Aku nggak masalah.” Yumi menarik lengan besar Napi yang berurat. Laki-laki itu tersentak akan sentuhan fisik yang tiba-tiba.
Yumi menampilkan senyum cantiknya. Jujur, senyuman itu sangat mendebarkan jantung Napi yang bergetar tak sesuai biasanya.
“Makasih ya,” ucap Yumi tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Makasih udah dateng kesini. Udah nemenin aku.” Makasih juga udah hadir di hidup aku.
Yumi melanjutkannya di dalam hati. Kedua matanya berkaca-kaca. Perempuan itu mengedipkan mata supaya cairan bening tak jatuh membasahi pipinya.
Napi tersentak saat melihat kedua mata Yumi berkaca-kaca, ia sangat tahu perempuan itu ingin menangis.
“Nangis aja. Sini, gue pinjemin badan gue buat nangis.” Napi menarik Yumi ke dalam pelukan. Dan luntur lah tangis Yumi, perempuan itu menggigit bibir bawahnya untuk meredakan tangis. Dadanya terasa amat sesak.
“Jangan di tahan, nangis sepuas lo,” tutur Napi lembut; tangannya mengusap punggung Yumi begitu lembut.
Baru kali ini Napi bersikap tulus pada seorang perempuan, baru kali ini Napi merasakan sesak saat melihat tangis perempuan--selain ibunya, baru kali ini juga Napi merasakan debaran jantung yang sesungguhnya sampai membuat perutnya menggelitik mulas. Bari kali ini Napi merasakan arti cinta sesungguhnya pada seorang perempuan, yang sayangnya, mereka memiliki perbedaan.
Ada rasa sesak yang menjalar di ulu hati Napi ketika mengingat perbedaannya yang amat jauh dan sulit untuk di gapai itu. Matanya terpejam, merasakan pelukan Yumi yang tengah menangis di pelukannya. Tangannya tak berhenti bergerak menyalurkan kekuatan.
“Lo boleh nangis sepuasnya kapanpun lo mau. Pinjam badan gue sepuasnya. Gue bakal usaha selalu ada buat lo.” Napi tersenyum sehingga memperlihatkan kedua lesung pipinya.
“Aku cape ..,” lirih Yumi pelan yang masih dalam pelukan Napi. Ia malu menunjukkan wajah melasnya yang menyedihkan.
“Iya, gue siap jadi penopang jalan lo kapanpun itu.”
Yumi tersenyum dalam diamnya. Tuhan memang baik, dirinya saja yang baru sadar bahwa Tuhan telah mengirimkan seseorang yang menjadi penyemangat-nya tanpa di duga.
Laki-laki yang tiba-tiba muncul begitu saja mengangetkan-nya di ruang seni kala itu. Laki-laki yang mengganggu waktu dan sekarang hatinya.
Yumi sadar, kebahagiaan tak harus berbentuk kasih sayang seorang ayah atau ibu. Walau ia membutuhkannya. Tetapi kasih sayang dalam bentuk lain ia dapat dari orang lain yang baru ia kenal. Hal ini seharusnya Yumi sadari dan syukuri, karena Tuhan masih mengirimkan seseorang sebagai sumber senyum dan semangatnya.
Ia tak tahu, bahwa Tuhan telah menyiapkan skenario sebelum dirinya terlahir. Bahkan, pertemuan di ruang seni itu adalah pertemuan keduanya dengan Napi. Setiap manusia memiliki takdirnya sendiri, entah itu bahagia atau sedih, semua memiliki porsinya masing-masing. Tuhan adil dalam memberi.
“Terimakasih ...”
~~~
Maaf hanya bisa menghidangkan ceritanya segini. semoga suka🖤
jangan lupa buat vote nya🐢
KAMU SEDANG MEMBACA
NARAPIDANA ✓
Fiksi Remaja{SELAMAT MEMBACA} ___ Julukan Napi sangat cocok untuk laki-laki berpakaian urakan itu. Selain sering tawuran, mabuk-mabukan, balapan liar, Napi juga seringkali keluar masuk penjara. Napi juga seringkali bergonta-ganti pasangan, hanya untuk main-mai...