22. "I love you sweetie."

59 9 0
                                    

Selamat membaca part 22, semoga semoga.

Setelah baca jangan lupa tinggalkan jejak okey😉❤️

~∆∆~

Sudah dua hari Napi tak bertemu gadis kesukaannya. Pesan dan berbagai telefon pun tak di angkat, makannya hari ini ia bertindak untuk langsung datang ke rumah gadis itu. Ia sudah duduk anteng di atas motonya.

Napi memandangi rumah besar itu dengan seksama. Pintu utama rumah terbuka lebar, ada mobil juga yang terparkir di halaman cukup luas itu.

Seperti waktu beberapa hari lalu. Mobil yang terparkir itu perlahan keluar dari perkarangan rumah. Mengabaikan Napi yang tengah duduk di atas motornya.

“Napi?” Laki-laki itu langsung menoleh cepat. Ia teramat bahagia bisa melihat lagi pujaan hatinya.

“Hai, cantik. Gue kangen,” ujarnya langsung tanpa basa-basi. Ia mengutarakan dengan gamblang kehadirannya datang.

Yumi menyunggingkan senyum termanisnya. Rasa sesak di dadanya berangsur menghilang ketika melihat sosok laki-laki di depannya.

“Kamu mau masuk?” tanya Yumi menawarkan. Tentu Napi langsung mengangguk semangat, tanpa di perintah sudah turun dari motor dan mendekati Yumi.

“Boleh peluk dulu? Udah kangen berat soalnya,” kata Napi.

Yumi tertawa kecil, ia mengangguk pertanda membolehkan.

Mendapat persetujuan itu tentu langsung membuat Napi bersorak gembira, ia langsung menghamburkan untuk memeluk tubuh Yumi dengan erat– Menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher itu.

Yumi membalas pelukan Napi, mengusap punggung tegap itu dengan tenang. Berada di posisi ini benar-benar membuatnya nyaman. Rasanya Yumi ingin menghentikan waktu untuk bisa bersama degan Napi lebih lama lagi.

“Lo pelit ngasih kabar, padahal gue nungguin terus,” cetus Napi. Ia melepas pelukannya tetapi tubuh keduanya masih saling berdekatan.

Tersenyum canggung, itulah yang Yumi lakukan. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk membalas perkataan Napi. Dua hari kemarin ia sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan tanggal dan segala acara pernikahannya. Sebuah acara yang tak Yumi inginkan untuk terjadi.

“Oh iya, aku buat kueh cokelat kering. Kamu mau coba?" Mencoba mengalihkan topik pembicaraan, Yumi melayangkan pertanyaan itu supaya tak terus menerus di situasi ini.

“Mau.” Napi langsung mengangguk begitu saja.

Yumi mengajaknya masuk ke dalam rumah, ruang tamu.

“Bentar, aku buat susunya dulu. Eh tapi, cuman sisa yang susu putih, enggak apa-apa?” kata Yumi

“Kalau susu putih gue kurang suka, kecuali kalau punya lo. Kayanya bakal suka,” jawaban Napi mengundang malu dan kesal menjadi satu pada diri Yumi. Ia memencet hidung Napi sampai laki-laki itu merintih kesakitan karena nafasnya terputus.

“Ngomongnya yang bener,” delikan Yumi ternyata sungguh seram. Napi baru sadar sekarang dari sekian lamanya.

“Udah ah, aku ambil kuenya dulu. Ada di kamar.” Ketika Yumi berjalan untuk pergi, Napi mengejarnya dan berkata.

“Gue boleh ikut enggak?”

Yumi berbalik sambil menampilkan gigi putihnya. Ia membalas, “ayo.”

Napi langsung mengejar langkah Yumi, menaiki setiap undukan tangga bersama di selingi celotehan Napi.

“Kenapa berantakan kamarnya, tumben,” komentar Napi di kali pertama masuk ke kamar gadis itu kembali. Ia mengamati setia sudut kamar. Lalu matanya terpaku pada sebuah jas yang tergeletak di atas sofa.

“Itu punya siapa?” tanya Napi menunjuk pada ke arah jas itu. Yumi yang menoleh pun langsung membesar kedua matanya. Untungnya ia bisa dengan cepat menanggapi tanpa terbata.

“Itu punya Dady ku.”

“Ko ada disini?” heran Napi, ia duduk di tepian kasur.

Yumi tak menanggapi, langsung menunjukkan toples berisi kuenya pada laki-laki itu.

“Nah, ini dia. Kamu coba ya," ujarnya, menyodorkan toples berisi cokelat yang di buat kemarin bersama Kael.

“Aaaa.” Napi membuka mulutnya lebar-lebar. “Mau di suapin,” lanjutnya terdengar manja.

Yumi tak keberatan, ia mengambil satu kue cokelat dan di masukkan ke mulut cowok itu. Ia tertawa kecil melihat gerakan bibir Napi yang lucu ketika mengunyah.

“Yumi, lo tau?” kata Napi– Ia menatap intens wajah cantik Yumi. Hal itu mengundang kerutan di dahi Yumi yang kebingungan.

“Kenapa?”

“I love you. I love you sweetie.”

~~

Kehadiran Zeny di kamarnya membuat Yumi langsung beranjak dari posisi tidurnya. Ia hanya menatap datar sosok yang telah melahirkannya itu.

“Kamu memiliki hubungan dengan laki-laki lain Yumira?” tanya Zeny langsung. Tatapannya mengarah dengan tajam pada putri satu-satunya.

“Kamu sadar Yumira? Kamu udah melewati batas! Kamu akan segera menikah, tidak pantas jika berdekatan dengan laki-laki lain.” Zeny berucap. Perkataannya hanya angin lalu yang Yumi abaikan.

“Mom, Yumi ngantuk. Momy bisa keluar?” Biasanya Yumi tak pernah berkata sedingin itu, tapi kali ini ia benar-benar melakukannya.

“Kamu enggak dengerin Momy Yumira?!” Zeny berjalan mendekat ke arah putrinya. Menarik lengan itu supaya turun dari kasur secara kasar.

“Punya otak itu di pake! Harusnya kamu senang karena ada pria mapan yang mau menikahi kamu! Jangan buang-buang waktu buat pacaran,” bentak Zeny.

“Momy merasa gagal didik kamu Yumira! Kamu pembangkang!”

Mendengar bentakan Zeny yang kedua kalinya membuat nafas Yumi memburu, ia mendongak untuk menetap Ibunya yang tengah di landa emosi.

“Selama ini apa Momy didik aku? Apa yang Momy ajarin ke aku emangnya? Enggak ada.” Menggeleng lirih dengan kedua mata memerah menahan tangis.

“Momy cuman datang ke rumah ini, itupun setahun sekali dan enggak lama. Momy enggak pernah didik aku, enggak pernah ada buat aku. Momy pikir apa yang udah Momy kasi selain materi? Enggak ada Mom!”

PLAK

Tamparan keras mendarat sempurna. Dari matanya langsung turun cairan kesedihan, dadanya terasa di tusuk oleh ribuan pedang hingga membuat sesak.

“Kurang ajar kamu! Iya, ini karena saya yang kurang mengajari kamu. Kamu jadi enggak terdidik dan bodoh!” seru Zeny untuk yang kesekian kalinya. Setelah meluapkan emosinya, ia keluar begitu saja. Meninggalkan Yumi yang terisak di tempat.

Tubuh gadis itu terjatuh di atas kasur, ia masih memegangi pipi kanannya yang terasa panas. Sakit di sana tak seberapa, tapi hatinya terasa di remuk kuat. Menimbulkan nyeri yang tak berkesudahan.

Ia masih terngiang dengan bentakan Zeny yang mengatakannya bodoh. Mendapat ingatan itu menambah sesak dadanya.

Ponsel yang berdering ia abaikan. Yumi sedang mengumpulkan kembali puing-puing kebahagiannya. Ia mengusap kedua pipinya, tetapi sia-sia, air mata kembali turun dengan sendirinya.

“Ini bukan apa-apa. Jangan nangis Yumira!” tegasnya– Menyemangati diri sendiri.




Terimakasih untuk yg sudah membaca, terimakasi untuk votenya juga🐙❤️

bantu sebarin ke teman-teman kalian juga yaaa!

🧜~

NARAPIDANA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang