Sip, ayo baca dan vote😴
___
Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup mu ketika merasa jatuh. Memilih akhir hidup mu bukanlah jalan keluar menyelesaikan masalah, yang ada kamu memiliki masalah baru lagi nantinya. Kondisi apapun yang membuat diri merasa tersungkur, jangan lupa untuk tetap bersyukur. Jangan lupakan bagaimana Tuhan memberimu banyak kebaikan.
Kiranya kebahagiaan akan mendatangi dengan seseorang yang benar-benar membuat ia jatuh cinta pertamakali. Nyatanya itu hanya percobaan yang Tuhan berikan. Itu hanya untuk menguji seberapa kuat imannya menahan.
Napi tak menyesali perbuatannya yang dengan nekat mendekati sosok perempuan cantik itu. Ia teramat beruntung, karena dengan hadirnya Yumi ia bisa di sadarkan oleh cinta yang sesungguhnya.
Tetapi walau begitu, rasanya sangat sulit untuk kembali tersenyum lebar setulus kemarin. Kenyataan yang ia ketahui ternyata membuat ia merasa sakit sendiri dan memendamnya dalam hati.
Napi mengacak-acak rambutnya hingga berantakan, minuman bersoda di atas meja ia ambil dan langsung di minum hingga sisa setengah. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa menenangkannya kembali.
“Oy!” Bahunya di tepuk begitu saja hingga Napi menoleh dengan sedikit terkejut. Langkah kaki oranglain tak sampai di telinganya.
“Kayanya dari kemarin lo murung terus. Dia kemarin kesini lo enggak mau nemuin, cowok macem apa lu.” Johan menyeletuk. Ia sudah mengetahui jika akhirnya mungkin seperti ini. Ia sebagai sahabat akan siap membuat Napi kembali ceria seperti sedia kala.
“Udahan ah galaunya. Nyari cewek lain lagi sana, aneh sendiri liat lo diem.”
“Kali ini aja,” sahut Napi– Kepalanya tertunduk dalam sambil memandangi tanaman dari atas balkon markas tempat mereka biasa berkumpul.
“NAPI, GUE BAWAIN SUSU NI BUAT LO, MURNI KELUAR DARI ASLINYA.” teriakan Budi yang masih di luar sudah terdengar nyaring memasuki ruangan dimana Johan dan Napi berada saat ini. Satu-persatu dari mereka semua memasuki ruangan itu dengan berisik.
“Pi! Pi! Ni, susu buat lo. Mantep banget anjay.” Budi mencoba menghibur. Menyerahkan satu botol berisi susu putih yang terlihat bersih.
“Lo ngapain bawa gituan pea?” Johan bertanya heran.
“Buat si Napi lah. Pi, nih di minum, biar lo bertenaga lagi.” Budi menyerahkan susu itu sambil menunjukkan senyum yang menurutnya sendiri sudah teramat cakep itu. Tidak apa, percaya diri itu harus.
Napi menoleh tapi tak mengambilnya. Ia kembali menatap ke depan– Pada hamparan jalan di depan sana. “Lo semua pergi aja lah, gue lagi pengen sendri.”
“Enggak baik lah sendirian, nanti di temenin setan. Apalagi keliatannya lo hampir gila gini,” celetuk Marsel tanpa beban. Dirinya adalah tipikal orang yang tak bisa bersikap atau berkata manis.
“Lo ah Napi. Gue udah ambilin ini di rumah Pak camat sama si Bagas, maksa gue anjir! Sampe kena tonjok.” Budi menjelaskan dengan menggebu-gebu. Menunjukkan bagaimana perjuangannya untuk mengambil susu.
“Nih liat! Bibir gue bonyok gini.” Budi menunjuk dirinya sendiri. Menoleh pada Bagas dan langsung menarik rambutnya. “Liat si kunyuk jelek ini, mungkin besok jidatnya benjol.”
“Bangke, lepas anjir!” Bagas menghempaskan lengan Budi dari rambutnya. Seluruh rambutnya terasa akan rontok karena di tarik begitu kencangnya.
“Babi lo!” umpat Bagas kepada si Budi. Ia mengusap rambutnya yang terasa perih.
Napi mengambil botol susu dari tangan Budi sambil tersenyum miring. “Gue enggak nyuruh lo bodoh!” Lalu ia letakkan botol itu di atas meja.
“Nanti gue minum,” imbuhnya tanpa menatap wajah Budi.
“Iya, sama-sama!” Budi menyindir halus sambil tersenyum lebar. Ia sebenarnya hanya usil. Budi tahu, kalau Napi itu sangat baik dan memiliki balas budi yang tinggi, hanya malu saja.
Marsel mendekati Napi dan langsung merangkul bahunya sambil menunjukkan senyum bangga. “Akhirnya lo bisa sedih karena cewek juga. Kasihan, selamat buat lo.”
“As*!” Napi mendorong tubuh Marsel. Tetapi tak urung, ia juga tertawa karena lakon yang di permainkan Marsel.
“Udahlah, jangan galau gitu. Liat lo kaya gini, kesannya malah horor.” Dion berucap sambil duduk di sebuah sofa. Ia menyalakan pematik dan mulai menghisap tembakaunya.
Dion menghembuskan asap rokoknya ke arah Chiko yang sedari tadi hanya diam duduk disampingnya. Dion terkekeh ketika Chiko menatapnya dengan tajam.
“Tapi, kalau liat si Koko yang modelan kaya kuda lumping ngereog si baru gue aneh,” selorohnya dengan tawa mengudara.
“Diem! Gara-gara ketawa lo, burung yang tadi mau ciuman jadi kabur! Padahal itu momen langka gue liat burung ciuman.” Johan menggeplak kepala Dion dengan keras.
“Tangan lo ya Jojo!” Dion berseru marah.
Marsel ikutan tertawa keras menyaksikan perdebatan teman-temannya yang seringkali terjadi.
“Udahlah, kita main basket aja di depan. Yok, lawan gue. Yang kalah harus traktir gue.” Sebelum pergi, Marsel menepuk pelan bahu Napi. Sesama laki-laki sudah pasti paham apa yang dirasakan satu sama lain.
“Pede amat lo bakal menang!” Riyan berseru, lalu mengikuti langkah Marsel bersama Bagas.
Dion berdiri, menendang kaki Napi cukup kencang, hingga laki-laki bernama Napi itu hampir terjatuh.
“Ini definisi patah hati. Yang patah hatinya, yang ikut sakit semua badannya. Ayolah njing! Jangan murung.” Dion menepuk pelan pundak Napi sebelum pergi.
“Nyusul ya.” Johan berkata. Seperti yang lain, ia juga memberikan tepukan pelan di pundak Napi untuk setidaknya membuat laki-laki itu merasa tak sendiri.
Johan menatap pada Chiko, keduanya saling pandang dan langsung paham.
“Duluan.” Johan berkata lirih sebelum melenggang pergi.“Kalau lo tenggelam. Diam atau berusaha buat naik ke permukaan?” Pertanyaan yang di layangkan Chiko membuat kerutan segaris di dahi Napi. Ia menoleh pada Chiko yang berjalan mendekat.
“Maksud lo?”
Chiko berdecak. Ia tak menjawab lagi dan memilih untuk memandang ke depan.
Napi terkekeh pelan. Ikut memandang ke depan. “Ya gue berusaha naik lah, yakali mau diem aja. Bisa mati," katanya, menjawab pertanyaan.
“Kalau gitu sekarang lo harus naik.”
“Hah?" Terkadang segala pertanyaan dan jawaban yang di lontarkan Chiko tak sanggup ia pahami. Terlalu membingungkan.
Chiko menoleh, wajahnya senantiasa datar sedari tadi tanpa ada senyuman sedikitpun. “Masih ada yang harus lo jalanin. Diem tanpa ada gerakan malah buat lo enggak tau caranya menyelesaikan masalah. Lo perlu paham sama skenario yang Tuhan atur. Lo tau, persatuan singa dan lumba-lumba itu mustahil. Kerena mereka di lingkaran yang berbeda.”
“Dengan lo murung, sinyal di otak lo malah terus menerus nerima itu. Lo harus bisa kasih suntikan positif sama diri lo sendiri.”
Napi meresapi itu, ia menerima dengan baik segala nasihat lembut maupun tajam dari semua teman-temannya. Dan yang paling menyentuh adalah kalimat panjang Chiko. Ia bisa memahami dengan baik.
“Cape ngomong panjang, gue ke dapur.” Tanpa mengatakan apapun lagi, Chiko melangkahkan pergi.
“Makasih Ko!” Napi tersenyum lebar menatap kepergian Chiko yang kian menjauh.
Ya, ia sadar sekarang. Masalah ada untuk di hadapi, bukan di hindari. Terkadang masalah itu datang dari kita yang menyambut sendiri tanpa di sadari.
Solusi yang baik untuk menghadapi semuanya adalah, dengan cara tetap menjalani kehidupan seperti biasanya. Dengan begitu diri sendiri bisa menerimanya perlahan-lahan.
~~
Boleh dong di promosiin buat teman-teman yg lain ikutan baca 🐙
Terimakasih
🧜
KAMU SEDANG MEMBACA
NARAPIDANA ✓
Teen Fiction{SELAMAT MEMBACA} ___ Julukan Napi sangat cocok untuk laki-laki berpakaian urakan itu. Selain sering tawuran, mabuk-mabukan, balapan liar, Napi juga seringkali keluar masuk penjara. Napi juga seringkali bergonta-ganti pasangan, hanya untuk main-mai...