***
Ia melangkah menghampiri kelompoknya yang sudah lebih dulu berada di pintu keluar bandara. Sudah lebih dulu menyiapkan mobil untuknya, siap menyambutnya, mempertahankan kenyamanannya. Pria itu memakai kaus putih dengan boomber jaket biru gelap juga celana jeans senada. Ia terlihat santai dengan potongan rambut model undercut hitam yang hanya disisir dengan jari.
"Boss," tegur seorang anak buahnya, yang baru saja membukakan pintu mobil untuknya. "Yang tadi itu-" mulutnya sudah dibungkam, bahkan sebelum ia selesai bertanya.
"Kau tidak melihatnya," dengan singkat, Kwon Jiyong— pria yang dipanggil Boss— menyela pertanyaan anak buahnya.
Sepanjang perjalanan, Boss tetap diam. Ia menatap keluar jendela, memperhatikan jalanan di sebelahnya. Ia mengingatnya, gadis yang hampir menabraknya di depan toilet tadi. Jiyong mengingat dengan jelas bagaimana hubungan mereka beberapa tahun silam. Tentu sebelum gadis itu melarikan diri darinya.
Paman bilang ia menemukan Lisa di depan barnya. Gadis itu masih sangat kecil ketika ditemukan, terlelap tenang di dalam kotak mewah Chanel berselimut gaun merah berdarah. Bayi kecil itu tidak menangis di malam hangat musim semi. Ia terlelap dengan tenang meski orang-orang mengangkat tubuh ringkihnya yang masih merah.
"Bayi kecil itu terlihat cantik, jadi aku merawatnya," begitu kata si paman, selalu begitu sebelum sumpah serapah keluar dari mulutnya.
Paman tidak pernah menikah. Seumur hidupnya ia tidak pernah berkeluarga. Lisa adalah satu-satunya orang yang tinggal di rumah paman. Tinggal bersama paman dan dianggap bak putrinya sendiri. Lantas hidup bayi cantik itu jadi bahagia? Tentu saja tidak. Kalau iya, ia tidak akan melarikan diri.
Dalam ingatan Jiyong, Lisa berdiri di balik meja. Menunduk menatap cairan dalam gelas-gelas kaca, sesekali meraih pena dan menulis susunan huruf juga angka asing di kertasnya. Tubuhnya yang kurus dipakaikan celemek plastik berwarna cokelat, persis seperti celemek tukang daging. Gloves biru melindungi tangannya, hampir tidak pernah dilepas. Rambut panjangnya terlihat sangat tipis, rontok karena stres berat, bisa juga karena bahan kimia yang setiap saat bersinggungan dengannya.
Mereka pernah dekat. Dulu, dulu sekali, ketika keduanya masih sama-sama muda. Mereka dekat, bak seorang tuan muda dengan pelayannya. Meski tidak sampai menelan makanan sisa, Lisa hanya bisa memiliki apa yang Jiyong buang. Selalu begitu, hingga keduanya berfikir kalau semua perlakuan itu adalah normal.
Lama melamun membuat Jiyong kembali di tegur anak buahnya. Mereka sudah sampai sekarang. Tiba di sebuah hotel mewah di tengah ibu kota. Mereka masuk bertiga, dengan seorang anak buah yang membawa koper jinjing berwarna metal. Sedang para pesuruh lainnya menunggu di mobil, di tempat parkir.
Seorang penjaga pintu menyapa mereka, tentu bertanya mengenai keperluan mereka datang. Seperti bagaimana prosedur yang diajarkan padanya. Jiyong baru akan menjawab pertanyaan itu, ketika tiba-tiba seorang dengan setelan jas berjalan menghampirinya, mengatakan kalau tiga orang itu adalah tamu dari bosnya.
Jiyong kembali menutup mulutnya, kali ini mereka dipandu untuk masuk ke dalam lift, naik ke lantai delapan belas kemudian masuk ke dalam sebuah kamar. Di pintu kamar itu, anak buah Jiyong di tahan. Dua orang yang ikut naik ke lantai delapan belas tadi, diminta untuk menunggu di luar. Orang yang dilayani si pemandu hanya ingin bertemu dengan Jiyong, tidak dengan lainnya.
"Sudah, tunggu saja di luar," kata Jiyong, yang kini mengulurkan tangannya untuk menerima koper dari anak buahnya.
Ia kemudian dipersilahkan masuk. Baru dua kali kakinya melangkah, seorang wanita dengan gaun tidur merah sudah berdiri menyapanya. Sembari memegang segelas wine, wanita itu mempersilahkan Jiyong masuk. Ia juga mengizinkan pria itu untuk duduk di ruang tamu bersamanya. "Kau mau segelas wine, tuan Kwon?" tawar wanita itu, sembari menarik kebelakang rambut pendeknya yang hanya sebatas bahu.
"Tidak," tolak pria itu. Dengan santai ia letakan koper metalnya di atas meja. Berdiri melihat ke sekeliling suite room mewah itu. Melihat seorang pria berbaring tidak sadarkan diri di sofa, juga sepasang kaki di ranjang yang kelihatan dari celah pintu kamar. "Pantas saja wajahmu terlihat segar pagi ini," komentar Jiyong, tanpa perlu bertanya bagaimana panasnya pesta semalam.
"Berkatmu," tenang lawan bicaranya, yang justru mengambil duduk di atas meja, tepat di depan Jiyong, menarik pria itu untuk menunduk dan menatapnya. "Aku dengar kau tidak tertarik pada wanita. Benarkah itu?" ia kelihatan penasaran, sembari mengerakkan jemari lentiknya di sekitaran pinggang Jiyong.
"Tidak," Jiyong meraih tangannya, memegangi tangan cantik itu dan menepuk-nepuk punggung tangan itu dengan tangannya yang lain. "Aku hanya tidak tertarik padamu, dan beberapa wanita lainnya," susulnya yang kemudian membungkuk untuk meletakkan tangan cantik itu di atas lutut wanita tadi. "Bisa kita langsung berbisnis?" kata Jiyong. Diambilnya duduk di sofa, jauh dari tubuh pria teler tadi dan tepat berada di depan nona penyewa kamarnya.
"Normalnya aku akan tersinggung," gadis tadi menaikan kakinya ke atas satu kakinya yang lain. Membuat gaun tidurnya tertarik semakin naik, memperlihatkan pahanya. "Tapi karena kau punya barang bagus, aku bisa menahannya," susulnya yang selanjutnya memperkenalkan diri sebagai Jessica— simpanan seorang politikus yang rumornya akan mencalonkan diri sebagai walikota selanjutnya.
Kwon Jiyong bukan pedagang yang akan menemui sendiri kliennya. Ia hampir tidak pernah menemui konsumen-konsumennya, namun Jessica spesial, sebab gadis itu menawarkan sebuah jalanan baru. Kalau Jiyong bisa memenangkan hatinya, gadis itu akan dengan sukarela membukakan jalan untuknya. Untuk Jiyong bisa masuk ke lingkaran para politikus itu. Dengan biaya laundry yang sepadan, Jiyong bisa mencucikan uang-uang kotor para pejabat itu.
"Berapa banyak yang bisa kau berikan kalau aku mengenalkanmu padanya?" Jessica penasaran, seberapa kaya ia jadinya kalau bisa mengenalkan Jiyong pada tuannya.
Jiyong tidak menjawab dengan kata-kata dari mulutnya. Ia hanya menggerakan dagunya, menunjuk koper metal di sebelah Jessica. Wanita itu membuka koper kecil itu. Lantas menemukan tiga botol obat berlabel vitamin di dalamnya. Bukan, itu bukan hanya vitamin. Vitamin tidak perlu koper untuk membawanya.
"Masing-masing botolnya punya lima puluh butir vitamin," kata Jiyong. "Kau bisa berpesta sampai mati dengan semua itu," susulnya tentu membuat Jessica tersenyum. Tidak hanya itu, di balik spons dalam koper yang menyimpan vitamin tadi, Jiyong juga meletakan dua ikat uang pecahan terbesar— seratus ribu. Total uang yang Jessica terima hanya cukup untuk membeli sebuah tas, namun botol-botol vitamin di dalamnya sudah mampu memuaskan gadis itu.
"Wah... Dengan hadiah sebanyak ini, kurasa aku perlu membawanya ke Poppy Island," komentar Jessica, menggantikan kalimat terimakasih yang seharusnya ia ucapkan.
"Datanglah, aku akan menyambutmu," balas Jiyong sebelum akhirnya bisnis mereka selesai. Jiyong keluar dari kamar gadis mempesona tadi setelah satu setengah jam berada di dalam. "Pastikan dia menepati janjinya, atau setidaknya buat dia membayar bingkisan tadi sepuluh kali lipat," kata Jiyong kepada anak buahnya yang sedari tadi menunggu. Ia berikan selembar perjanjian pada seorang tangan kanannya, tanda kalau bisnis mereka pagi ini berjalan lancar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing In The Hell
Fanfiction"...jangan melakukannya, kau akan masuk neraka!" katanya, begitu kata mereka. Kenapa aku harus takut akan masuk ke neraka? Aku sudah hidup di sana, seumur hidupku.