***
Lisa yang mendominasi kali ini. Gadis itu yang lebih banyak berteriak, melempar apapun yang bisa ia raih ke arah suaminya. Ia marah sebab Jung Hoseok ketahuan berselingkuh. Sebab wanita simpanan pria itu berani menemuinya. Kapten Jung harus memakai kekuatannya untuk menenangkan gadis itu. Ia pegangi tangan Lisa, meremas pergelangan tangannya agar gadis itu berhenti memukul dadanya, berhenti melemparinya dengan barang-barang di kamar mereka.
Meski tidak separah yang Lisa terima dihari-hari sebelumnya, kali ini Hoseok yang terluka. Tidak tanggung-tanggung, sekalian membalas apa yang biasa Hoseok lakukan padanya, Lisa memukul kepala pria itu dengan vas bunga yang ada di nakas. Ia juga melempar gelas kaca ke arah dadanya, membuat cukup darah keluar dari beberapa bagian tubuh pria itu— dari kepala, sedikit di leher juga di kakinya karena ia menginjak pecahan kacanya.
Setidaknya dua jam Lisa melampiaskan emosinya. Sampai gadis itu lelah kemudian duduk dan menangis di tepian ranjang, yang juga sudah berantakan. "Kau benar-benar keterlaluan! Lihat apa yang kau perbuat! Apa kau-"
"Apa?! Apa yang aku lakukan?!" potong Lisa. "Aku tidak melakukan apapun saat kau memukulku! Aku tidak membalasmu ketika kau mencekikku! Apa yang aku lakukan?!" jerit Lisa, menangis dan sekali lagi melemparkan bantal yang bisa ia raih ke arah suaminya.
Kapten Jung membisu, sebab Lisa meneriakan sebuah kebenaran. Namun meminta maaf membuatnya merasa hina, karenanya ia melangkah pergi. Ia tinggalkan Lisa dan kekacauannya di rumah. Tanpa mencoba memperbaiki apapun, ia melangkah meninggalkan rumah. Pergi dengan mobilnya setelah membanting pintu utama.
Lisa sempat berbaring, menunggu nafasnya kembali normal. Menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan sekarang. Haruskah ia memberitahu ibu mertuanya tentang perselingkuhan suaminya? Atau haruskah ia tetap di rumah dan tidur dalam kekacauan ini?
Sementara Lisa sibuk menimbang-nimbang, di Poppy Island Song Mino tengah berdiri di depan meja kerja pimpinannya. "Kapten Jung setuju untuk membawa obat barunya dari Meksiko, Boss," lapor pria itu, kepada Kwon Jiyong, atasannya.
"Kapan?"
"Penerbangan selanjutnya, pekan depan," tenangnya.
"Kalau begitu, atur semuanya sampai aku bisa melihat barang barunya ada di depanku," angguk Jiyong.
"Tapi sepertinya kita perlu mencari pilot baru," kata Asisten Song tiba-tiba, padahal Jiyong sudah menggerakan tangannya untuk menyuruh pria itu pergi. "Kecanduannya mulai serius. Memang belum ada hal buruk yang terjadi saat dia mabuk, tapi aku akan mulai mencari orang baru," lapor Mino sekali lagi.
"Atur saja. Itu pekerjaanmu sekarang," Kwon Jiyong masih terdengar sangat tenang. "Tapi aku tidak bisa mentolerir kesalahan apapun," susulnya. Ia lirik Song Mino dari ujung matanya, lantas bangkit dari kursinya. Ditepuknya bahu asistennya itu, memuji pekerjaannya dan barulah ia ditinggalkan sendirian.
Rasanya semua urusan berjalan lancar sejak Jiyong mengambil alih posisi ayah serta pamannya di bar. Ayahnya kuat, sedang pamannya teramat cerdas. Sayangnya, mereka lahir dan tinggal di Poppy Island— tempat orang-orang jahat berkumpul. Di sana, kau akan dirampok jika tidak lebih dulu merampok. Di Poppy Island, hukum tidak benar-benar berlaku. Kantor polisi sampai pengadilan hampir tidak bekerja sebagaimana mestinya. Hukum dan keadilan hampir terlupakan di sana, sebab mereka yang berkuasa bisa mengendalikannya.
Penjahat-penjahat kecil di tangkap. Di hukum sebagaimana mestinya. Namun orang-orang seperti Jiyong dibiarkan bebas berkeliaran menjajakan dagangan mereka— narkoba, judi, prostitusi sampai pencucian dana rahasia. Meski tidak benar-benar menjualnya itu di etalase, narkoba bisa dengan mudah didapatkan di sana, karena itu pulaunya dinamai Poppy Island.
Ayah Jiyong sudah lama meninggal. Pria itu terlihat dalam sebuah perkelahian sengit antar gangster, menang kemudian meninggal beberapa minggu setelahnya. Ia sempat dirawat di rumah sakit karena mengalami beberapa patah tulang ditubuhnya, juga karena mendapatkan retakan di tengkorak kepalanya.
Mereka pikir, pria kuat itu akan sembuh jika dirawat di rumah sakit, namun kenyataan berkata lain. Ayah Jiyong meninggal dan Paman harus mengelola sendiri gang serta bisnis mereka. Untungnya sang paman punya seorang keponakan cerdas, yang bisa menyerap apapun pemberiannya. Kwon Jiyong bisa menyelesaikan apapun perintahnya dengan benar. Sampai beberapa waktu lalu, sang paman meninggal dunia, serangan jantung saat diberitahu kalau bayi cantik yang dirawatnya mati tenggelam.
Jiyong berdiri di dekat jendela ruang kerjanya— yang sebelumnya adalah ruang kerja sang paman. Ia menatap keluar, memperhatikan jalanan ramai di luar, gadis-gadis yang melangkah dengan pakaian seksi mereka, para pria yang tertawa setelah menggoda gadis-gadis tadi, orang-orang yang kelihatan depresi setelah kalah judi duduk di tepi jalan dengan kepala tertunduk. Jiyong menonton mereka sampai matanya menangkap sosok seorang wanita pirang dengan pakaian rumah sakit berjalan ke arah gedungnya.
Pria itu memperhatikan si wanita pirang— kekasih yang beberapa bulan lalu ia campakan. Si pirang kelihatan marah, ia mengamuk, meminta untuk dibiarkan masuk. Mereka berkencan setidaknya dua bulan sampai Jiyong tahu kalau ia sudah menghamili kekasihnya. Tidak ingin menikahi wanita itu, Jiyong mencampakannya. Tidak ditemuinya lagi wanita itu, meski wanita itu berkata ia akan menggugurkan kandungannya.
"Boss, Nona Rose datang, haruskah aku membiarkannya masuk? Dia memaksa untuk menemuimu," seorang pria yang berjaga di luar masuk setelah ketukan pintunya ditanggapi. Kim Bobby, pria kurus yang bertahan hidup dengan tinjunya.
"Suruh dia pergi, katakan aku tidak ingin menemuinya," tenang Jiyong. Ia tahu alasan wanita itu datang dengan begitu marah. Ia mengetahuinya, namun enggan melakukan apapun untuk menenangkannya. Mereka sudah lama putus, Jiyong tidak ingin berhubungan lagi dengannya. "Oh ya! Siapkan tiket untukku pergi ke Bellis, besok," suruhnya sebelum Bobby melangkah keluar. Merasa kalau ia perlu menghindari Rose selama beberapa hari ke depan. Setidaknya sampai gadis itu tenang dan berhenti mengganggunya.
Setelah lama merasa tenang, mungkin karma karena ia enggan bertanggung jawab atas kehamilan kekasihnya, sebuah masalah merepotkan akhirnya datang. Di hari Kapten Jung membawa pulang barang baru bersama resepnya, seseorang menangkapnya— seorang polisi berdedikasi di Kota Bellis yang tentram.
Jiyong memukul meja di depannya ketika Asisten Song memberitahunya tentang kabar itu. "Uang yang aku keluarkan untuknya tidak boleh hilang begitu saja, bukan begitu?!" marah pria itu. "Lalu dimana barangnya sekarang? Polisi yang memilikinya?" tanya pria itu, masih terdengar kesal. Jiyong ada di Bellis sekarang, sengaja hanya untuk menghindari mantan kekasihnya.
"Tidak ada," singkat Asisten Song. Entah itu termasuk hal buruk atau sebaliknya. "Kapten Jung menyembunyikannya. Dia akan memberikannya ke polisi kalau kita tidak membantunya bebas," susulnya.
"Temukan obatnya. Bunuh siapapun yang mengganggu. Aku tidak peduli, bawakan obatnya ke sini!" marah Jiyong, yang selanjutnya melemparkan botol whiskey-nya ke lantai, melampiaskan emosinya yang menggebu-gebu sekarang. Ia tidak ingin kehilangan uangnya. Apapun yang terjadi, harus ia dapatkan kembali obat-obat itu. Tidak bisa ia biarkan orang-orang dari geng lain jadi lebih kaya darinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing In The Hell
Fanfiction"...jangan melakukannya, kau akan masuk neraka!" katanya, begitu kata mereka. Kenapa aku harus takut akan masuk ke neraka? Aku sudah hidup di sana, seumur hidupku.