27

362 82 2
                                    

***

Sedan hitam berhenti di depan gerbang utama kompleks apartemen tempat Lisa tinggal. Seorang supir, Asisten Song dan Boss-nya yang ada di dalam mobil itu. Malam baru saja datang, belum lama sejak matahari terbenam. "Jadi di sini dia tinggal? Tidak buruk," komentar Jiyong setelah melihat gedung apartemen itu dari jalan utamanya.

"Gedung B, lantai tiga belas, unit nomor 1302," kata Song Mino, memberitahu alamat Lisa pada Boss-nya.

"Kapan-kapan kita harus mengunjunginya ke rumah," kata Jiyong yang kemudian melangkah keluar dari mobilnya. "Pergilah lebih dulu," suruhnya pada dua pria lain di dalam mobil.

Jiyong keluar sebab dilihatnya Lalisa Kwon yang melangkah turun dari bus, dengan santai meninggalkan halte untuk pulang ke rumahnya. Setelah mobil melaju pergi, mereka bertukar tatap. Jiyong masih berdiri di tempatnya, sedang Lisa melangkah menghampirinya. Wajah Lisa yang sebelumnya ceria, menyapa beberapa pejalan kaki yang mungkin tetangganya, langsung berubah kaku saat melihat Jiyong. Gadis itu terlihat gugup, hampir berlari menghampiri Jiyong kemudian menarik tangan pria itu untuk segera pergi dari wilayahnya.

"Kau benar-benar mengawasiku?" tanya Lisa begitu mereka berdiri di sudut sepi, tidak seberapa jauh dari gerbang utama kompleks apartemen itu.

"Tidak," geleng Jiyong, bingung sebab dirinya ditarik menjauhi keramaian. Lisa tidak ingin terlihat bersama dengannya— nilai pria itu. "Seseorang mengawasimu? Kenapa kau menarikku ke sini?" tanyanya kemudian, memperhatikan gadis yang berdiri di depannya dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya.

"Kau yang mengawasiku, bukan begitu?" balas Lisa dan Jiyong menggelengkan kepalanya. "Lalu apa yang kau lakukan di sini?" susulnya sebab Jiyong mengaku tidak pernah mengawasinya. Aku punya banyak urusan, tidak ada waktu untuk mengawasimu— begitu katanya.

"Mencari seseorang," singkat pria itu tanpa menjelaskan detail urusannya. "Dan apa yang kau lakukan di sini? Kau tinggal di sini?"

"Tidak," gadis itu berbohong. "Aku juga sedang mencari seseorang di sini," susulnya.

"Oh ya? Kalau begitu silahkan melanjutkan urusanmu," balas Jiyong, yang hendak melangkah meninggalkan tempat itu. Sayangnya, kali ini Lisa menahan tangannya. Gadis itu meraih lengannya kemudian mengakui kebohongannya.

"Aku berbohong," singkatnya. "Aku tinggal di sekitar sini. Siapa yang kau cari? Tidak, aku tidak ingin tahu siapa dia. Apa alasanmu mencarinya? Sesuatu yang baik atau sebaliknya?" tanyanya, masih sembari meremas lengan Jiyong.

"Sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu?" jawab Jiyong seadanya. Tidak ada seorang pun yang ia kenal di sana, tidak ada yang ia cari di sana.

"Lalu alasannya?"

"Bukan sesuatu yang buruk, jangan bertanya lebih jauh, ini urusan bisnis," tenangnya membuat Lisa kemudian mengangguk, mempercayainya. "Kenapa kau sangat khawatir, begitu? Kita sudah tidak punya urusan apa-apa, 'kan?" kini ditariknya lengannya, melepaskan pegangan Lisa dari tubuhnya.

"Aku hanya khawatir, bertemu denganmu selalu membuatku dapat masalah," gumamnya kemudian. "Tapi karena sudah terlanjur, kau mau makan malam bersamaku?" tawarnya, juga mengatakan kalau di sekitar sana ada sebuah restoran yang tidak bisa ia kunjungi seorang diri. Sebuah restoran dimana mereka harus memesan minimal dua porsi makanan untuk bisa duduk di sana.

Mereka berakhir dengan makan bersama yang selanjutnya dilakukan secara rutin hampir setiap malam. Jiyong bilang ia belum menemukan orang yang dicarinya, jadi ia berkeliaran di sekitar kompleks apartemen itu. Lalu, setiap kali Lisa melihat Jiyong berdiri di trotoar, tengah melihat-lihat sekeliling, ia menghampirinya. Ia ajak Jiyong bicara kemudian mereka pergi ke restoran atau bar di sekitar sana.

"Sebenarnya siapa yang kau cari?" heran Lisa, sebab Jiyong selalu melihat-lihat sekeliling mereka, seolah tengah mencari-cari.

Pria itu mencari Jung Hoseok. Berharap pria itu mengikutinya kemudian melihat Lisa bersamanya. Sudah dua minggu pria itu rutin datang ke sekitaran kompleks apartemen Lisa, setidaknya tiga hari sekali pria itu datang. Tiga hari sekali mereka bertemu, sekedar mengobrol atau makan bersama seperti beberapa tahun lalu.

"Seseorang yang katanya ada di sekitar sini tapi aku belum melihatnya," singkat Jiyong, yang kembali menunduk untuk menikmati makan malamnya.

"Ya, dan siapa orang itu?"

"Kenapa aku harus memberitahumu?"

"Mungkin aku bisa membantu mencarinya? Aku kenal semua orang di kompleks apartemenku," kata Lisa yang kemudian memamerkan hidup barunya dengan melambai kecil pada sepasang tamu di meja sebelah. "Lihat? Aku mungkin bisa membantumu sekarang," susulnya.

Sayangnya, Jiyong justru menatap aneh tawaran itu. Sebelumnya Lisa tidak pernah senang membantunya. Gadis itu selalu merasa tidak punya pilihan lain ketika harus membantunya. Ia harus membantu Jiyong kalau tidak ingin kena marah, biasanya begitu.

"Jangan berubah, menakutkan," singkat Jiyong akhirnya menanggapi.

Lisa mencibir sebab ia memang berniat membantu ketika menawarkan bantuan itu. Ia kesal sebab Jiyong menganggap buruk maksud bantuannya. Lantas yang selanjutnya terjadi adalah makan malam yang sunyi di tengah keramaian restoran. Sudah bertahun-tahun mereka saling kenal dan meja makan selalu sepi ketika mereka makan bersama. Keduanya tidak saling bicara di meja makan, sedari dulu sebab Paman dan Ayah Jiyong tidak menyukainya.

"Sudah waktunya aku pulang," kata Lisa setelah hampir dua setengah jam mereka makan bersama yang sebagian besar dihabiskan dengan saling melirik. Menonton satu sama lain menikmati makan malam itu.

"Kenapa kau selalu pulang sebelum jam sembilan? Kau sedang bermain jadi Cinderella atau semacamnya?" heran Jiyong. Ia butuh Lisa lebih lama, ia butuh gadis itu untuk memancing Jung Hoseok menunjukan dirinya.

"Aku sudah lelah," kata Lisa, yang harus kembali duduk. "Sekarang aku tidur cepat dan bangun pagi."

"Aku juga selalu bangun pagi."

"Kau hampir tidak tidur. Karena itu kau jadi gila, tidak waras. Aku ingin hidup tenang, waras, normal dan sehat. Mandi dan tidur sebelum tengah malam lalu bangun pagi dan berolahraga, hidupku sangat sehat sekarang, jangan merusaknya."

"Kau hanya perlu uang lalu menghambur-hamburkannya untuk bahagia. Harusnya kau pergi keluar negeri dan meninggalkan segalanya di sini. Kenapa harus berusaha berubah sekeras itu? Uang yang kau terima dari perceraianmu sudah habis?"

"Tidak ada seorang pun yang tahu tentang masa laluku di sini. Untuk apa pergi keluar negeri? Aku bahkan tidak bisa bahasa Inggris. Pergi ke sana hanya akan membawaku ke neraka baru. Lebih baik di sini, di neraka yang sudah familiar untukku. Di sini pun aku bisa menghambur-hamburkan uang. Itu mudah," balasnya. "Aku harus benar-benar pergi. Berada di antara banyak pria saat gelap masih menggangguku," katanya, jelas mengatakan kalau kejadian yang terjadi padanya di Kokaina Hill memberinya bekas luka yang tidak mudah hilang.

"Duduklah sebentar lagi," pinta Jiyong. "Aku akan mengantarmu pulang. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi," janjinya. Namun Lisa tetap ragu untuk terus berada di sana. Ingatan akan wajah-wajah pria yang memperkosanya tergambar di wajah pria-pria lainnya. Orang-orang yang tidak Lisa ketahui ada di mana sekarang, satu yang pasti mereka semua tidak ada di penjara. Kejahatan di Kokaina Hill itu tidak pernah dilaporkan.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang