33

442 79 3
                                    

***

Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Meski begitu, seorang pengacara menghubunginya. Ia diberi tahu kalau dia adalah satu-satunya kerabat Jiyong. Dalam berkas milik pengacara itu tertulis kalau Lisa adalah adik dari Jiyong. Entah sejak kapan datanya tertulis begitu, Lisa tidak pernah tahu.

"Tuan Kwon punya dua orang anak," kata sang pengacara. "Anda dan dua anaknya yang berhak menerima warisan dari Tuan Kwon," tambahnya.

"Tapi aku melakukan kejahatan," kata Lisa. "Aku juga tidak membutuhkan warisannya. Berikan bagianku pada dua anaknya," susulnya sembari menundukan kepalanya, mengingat bagaimana ia membunuh Jiyong setahun lalu.

"Uang yang akan kau warisi bisa dipakai untuk mengeluarkanmu dari sini," kata si pengacara, jelas berbisik agar petugas di balik pintu tidak mendengarnya.

"Tidak," geleng Lisa. "Aku tidak mau pergi dari sini. Aku sudah menusuknya berkali-kali. Kenapa kau melakukan semua ini padaku? Kenapa kau membenciku? Apa yang membuatku pantas diperlakukan seperti ini? Kenapa kau tidak membiarkanku pergi dari neraka? Kenapa kau membiarkan mereka hidup? Kenapa kau tidak bisa menyayangiku seperti manusia normal lainnya?— aku menusuknya enam kali, tepat di dadanya. Aku melihatnya kesakitan, tapi aku terus menusuknya. Meski begitu dia tidak membenciku. Dia bilang kalau dia menyayangiku, dia bilang dia tahu aku akan membunuhnya dan dia tidak keberatan. Setelah semua yang aku lakukan, aku mau dihukum. Aku harus dihukum. Aku tidak pantas menerima warisannya," katanya, dengan senyum getir di wajahnya. "Aku akan tinggal di sini seumur hidupku lalu pergi menemuinya di neraka. Aku bisa hidup dengan baik di sini," susulnya, meyakinkan si pengacara kalau ia tidak ingin mengajukan banding. Ia tidak ingin memohon keringanan hukuman.

Sang pengacara tidak bisa berkata-kata lagi. Ia dipekerjakan untuk memastikan Lisa hidup dengan baik— jika suatu hari Jiyong meninggal. Sebuah tugas yang sudah Jiyong berikan sejak beberapa tahun lalu, tidak lama setelah Nayeon membawanya ke rumah Jung Hoseok. Di hari itu juga pria itu membuat surat wasiatnya, kalau sewaktu-waktu ia mati.

"Tolong biarkan aku tetap di sini," pinta Lisa. "Aku tidak tahu bagaimana aku harus hidup kalau pergi dari sini," susulnya sebelum pertemuan yang dibatasi dinding kaca itu akhirnya berakhir.

Selama beberapa tahun tinggal di penjara, hampir tidak ada seorang pun yang mengunjunginya— selain pengacaranya. Sampai suatu hari, ketika ia berada di dalam sel tahannya bersama lima wanita lainnya, seorang sipir memanggilnya. Lisa kedatangan seorang pengunjung.

"Song Mino?!" serunya ketika melihat siapa yang datang. Mino datang bersama seorang laki-laki kecil. Usianya mungkin delapan atau sembilan tahun. Sebentar, Lisa menatap Mino, terkejut karena pria itu muncul di depannya. Lantas ia tatap anak kecil di depannya, anak kecil dengan luka memar di sekitaran matanya. Mirip sekali dengan Jiyong saat usianya belum genap sepuluh tahun.

"Lama tidak bertemu," kata Mino, yang kemudian menoleh menatap anak kecil di sebelahnya. "Dia ibumu," kata Mino, kali ini pada si kecil yang terluka. Mendengarnya membuat Lisa membulatkan matanya. Tidak mungkin ia melahirkan seorang anak tanpa sepengetahuannya. Terlebih anak itu sudah terlihat cukup besar, bukan lagi seorang bayi. Namun membantah kata-kata Mino di depan si anak laki-laki juga kedengarannya salah, karenanya Lisa hanya diam.

"Ibu dan ayahmu berkelahi dengan banyak orang, ayahmu meninggal dalam perkelahian itu dan ibumu tinggal di sini karena membunuh beberapa pria. Kau putra mereka, kau akan sama kuatnya seperti mereka. Karena itu, dengarkan doktermu. Kau akan hidup, kau akan sembuh," kata Mino, masih mengabaikan Lisa untuk terus bicara pada anak kecil itu.

Lisa yang merasa dirinya hanya dianggap sebagai patung, sebagai contoh pembelajaran, hanya membisu di tempatnya. Ia tatap Mino juga anak kecil itu bergantian, memperhatikan dua orang itu dari balik kaca transparan yang membatasi mereka.

"Kalau aku di operasi apa kau akan datang menjengukku?" tanya anak kecil itu, kali ini menatap Lisa dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis. "Kau benar ibuku kan? Kau akan datang menjengukku kan?" tanyanya.

"Tidak," Lisa menggeleng. Membuat Mino mengumpat lewat tatapannya. Padahal Lisa bisa saja berbohong pada anak kecil itu, hanya agar anak itu mau dioperasi. "Aku harus tinggal selamanya di sini. Aku membunuh hampir dua puluh orang. Aku tidak akan bisa pergi dari sini. Tapi, kalau kau sembuh, aku akan memberimu hadiah. Setiap kali kau mengunjungiku, aku akan memberimu hadiah," janjinya. "Ah! Apa kau tahu kalau kau punya seorang adik? Aku rasa dia perempuan?" tanya Lisa kemudian dan anak itu menganggukan kepalanya. "Kapan-kapan ajak dia ke sini, aku akan memberi kalian berdua hadiah," janjinya sekali lagi.

Beberapa menit mereka berbincang. Hanya membicarakan tentang hadiah yang Lisa janjikan. Sampai seorang pria mengajak anak kecil itu keluar dan meninggalkan Lisa berdua dengan Mino di dalam ruang berbatas kaca itu. "Aku tahu kau bukan ibunya," Mino kemudian berucap, menjawab pertanyaan yang belum Lisa utarakan. "Tapi Boss ingin kau jadi ibu utuk anak-anaknya, suatu hari nanti," katanya.

"Siapa ibunya?" tanya Lisa.

"Sudah meninggal, belum lama ini karena mendonorkan organnya," jawabnya. "Kalau ibu dari anak perempuannya, Rose, wanita pirang yang tinggal bersamamu di sini. Yang baru saja di tangkap karena pencurian. Tapi dia tidak ingin merawat putrinya. Dia memintaku mengurus putrinya."

"Kau tinggal bersama dua orang anak?"

"Uhm... Mungkin lebih?" gumam Mino. "Setelah ditusuk dari belakang oleh mantan suamimu, aku hampir mati. Setelah sadar, aku pergi dari rumahmu. Aku lihat kau punya banyak obat bius di rumahmu, harusnya aku curiga tapi tidak ada waktu, aku memakai obat-obatan itu lalu pergi. Tapi luka tusuknya dalam sekali, aku hampir mati di jalan. Untungnya seseorang menyelamatkanku, dia membawaku ke tempatnya dan ternyata tempat itu panti asuhan. Aku tinggal di sana sampai sembuh, sambil menonton kekacauan yang kau buat," ceritanya, membuat Lisa berdecak. Mino tidak pernah mencoba menyelamatkan Lisa karena bukan itu rencana yang Jiyong buat. Pria itu hanya datang ke rumah Lisa sesuai perintah Boss-nya, kemudian di tusuk dari belakang oleh seorang pria pencemburu yang sakit hati.

"Kau seharusnya datang lebih cepat-"

"Tidak, aku tidak senang mengunjungimu. Kau membunuh Boss-ku, mengacaukan semua bisnis kami. Kenapa aku harus mengunjungimu? Satu-satunya hal baik yang bisa aku lakukan hanya tidak membunuhmu," potong Mino. "Lagi pula kau akan dihukum seumur hidup, untuk apa aku harus repot-repot membunuhmu," gerutunya.

"Aku minta maaf," jawab Lisa, tanpa memberikan alasan apapun. "Aku bersalah, aku minta maaf," susulnya.

"Tetaplah di sini, jangan menganggu lagi," tegas Mino. "Aku tidak sedang meminta izinmu. Kau tahu dimana uang rahasia Boss, bukan? Aku tidak akan menyentuhnya, aku tidak tahu dimana semua uang itu. Tapi, aku akan mengambil apa yang bisa aku ambil. Orang-orangnya, aset-asetnya. Aku akan memakai semuanya," katanya.

"Lalu bagaimana dengan anak-anaknya?"

"Itu alasanku datang. Apa yang harus aku lakukan pada mereka?"

"Anggap saja kau membeli semua aset yang Jiyong miliki sekarang dengan biaya hidup dua anak itu, biayai mereka sampai mereka dewasa. Tapi jangan libatkan mereka dalam bisnismu. Biarkan mereka hidup normal meski itu di panti asuhan."

"Bukan kah itu kejam? Seolah aku merebut warisan mereka."

"Membiarkan mereka hidup seperti ayahnya juga kejam. Jiyong tidak menyukai hidupnya, tapi dia tidak bisa memilih karena ayah dan pamannya. Karena sedari kecil dia dipaksa untuk hidup seperti itu."

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang