4

481 88 3
                                    

***

Kapten Jung melangkah masuk ke sebuah bar, terus melangkah sampai ia tiba di sebuah ruangan tertutup yang sudah dipesan sebelumnya. Ia datang ke sana berdasarkan pesan yang diterimanya. Pesan dari seorang kenalannya, yang katanya bisa memberikan keuntungan besar. Ia datang untuk berbisnis, bukan untuk meniduri seorang pelacur seperti biasanya. Seperti ketika istrinya terlalu sakit, terlalu ketakutan untuk bisa ia lecehkan. Ketika istrinya terlalu tidak berdaya untuk memuaskannya.

"Hei! Asisten Song! Lama tidak bertemu!" seru Kapten Jung pada seorang teman lama, rekan bisnis rahasianya sejak bertahun-tahun lalu. Pria yang membuatnya mendapatkan banyak bonus di setiap penerbangannya.

"Kau jadi sangat sibuk setelah menikah, Kapten Jung," komentar Song Mino, pria yang mengundang Kapten Jung untuk bertemu malam ini.

"Aku hampir tidak bisa datang malam ini," cerita Kapten Jung setelah ia di persilahkan duduk. "Bukankah ini masih terlalu sore untuk minum-minum? Aku harus memohon agar diizinkan pergi oleh istriku," tanyanya, sementara Song Mino sudah lebih dulu menyesap whiskeynya. Song Mino bilang dia sudah ada di sana sejak satu jam lalu.

Kapten Jung dan Asisten Song bertemu di sebuah kasino beberapa tahun yang lalu. Saat itu Kapten Jung hanya seorang pilot baru minim jam terbang. Tanpa uang dari orangtuanya ia bukanlah apa-apa. Kapten Jung bangkrut saat itu, ia kehilangan semua tabungan di meja judi sampai seorang rentenir dibuat kesal olehnya. Kapten Jung hampir tidak bisa membayar hutangnya. Untungnya ia punya orangtua yang mampu melunasi semua hutang itu. Meski akhirnya hubungan keluarga mereka jadi memburuk setelahnya.

Beruntung setelah keterpurukan itu, Jung Hoseok bertemu dengan Song Mino. Keputusasaan membuatnya tidak lagi peduli dengan benar atau salah. Ia butuh uang. Ia butuh banyak sekali uang untuk menghentikan kesinisan orangtuanya. Karenanya, ketika ia bicara pada Asisten Song dan ditawari pekerjaan itu, Jung Hoseok tidak menolaknya.

"Selundupkan obat-obatku di pesawatmu, aku akan memberimu banyak uang," kata Mino dan saat itu Jung Hoseok menyanggupinya. Dan begitulah awal hubungan mereka, yang terus berjalan mulus tanpa masalah sampai sekarang.

Sementara Kapten Jung bersenang-senang bersama rekan bisnisnya— membicarakan bisnis baru sembari bermain-main. Di rumah, Lisa mengobati sendiri luka-lukanya. Sembari bercermin gadis itu memoles beberapa salep ke tubuhnya sendiri. Ia ingat, dulu ia punya seorang teman— seorang tuan muda— yang selalu terluka. Temannya itu selalu mengobati sendiri lukanya seperti yang Lisa lakukan sekarang.

Lisa ingat, dahulu ia anggap temannya itu menyedihkan. Tubuhnya kurus, juga pendek, laki-laki itu jauh lebih kecil dibanding teman-temannya. Anak itu bahkan lebih pendek darinya. Setiap hari anak itu pergi ke sekolah, dirundung karena ia terlalu mungil. Karena ia kelihatan sangat kecil, kelihatan sangat lemah. Sasaran empuk mereka-mereka yang bosan dengan ketenangan. Anak laki-laki menyedihkan itu Kwon Jiyong, yang selalu pulang ke rumah dengan tubuh terluka tanpa seorang pun mempedulikannya. "Kau balas memukulnya kan? Tidak apa-apa, laki-laki harus terbiasa terluka. Laki-laki harus kuat," kata semua orang yang melihatnya melangkah pincang karena kakinya berdarah.

Awalnya, Lisa masih melihat laki-laki kecil itu menangis. Diam-diam meringis kesakitan saat ia berusaha mengoleskan salep antiseptik ke luka di kakinya, juga di tangannya. Lisa mengasihaninya, namun ia pun akan terluka kalau membantunya. Paman melarangnya mendekati tuan muda. Anak laki-laki itu tidak punya ibu, ia tumbuh dan dibesarkan oleh ayahnya, juga oleh paman yang kejam.

"Bagaimana dia bisa mati rasa begitu? Sekeras apapun aku menahannya, ini tetap sakit," kata Lisa pada pantulan dirinya sendiri di cermin. Sejak melihat anak laki-laki itu di bandara, Lisa jadi terus memikirkannya. Penasaran bagaimana kabarnya sekarang. Bagaimana kabar paman sekarang. Bagaimana suasana di Poppy Island sekarang.

Ia masih menangis sampai selesai mengobati dirinya sendiri. Ia tidak meratapi nasibnya. Ia tidak bersedih. Ia hanya kesakitan. Menangis untuk melampiaskan rasa sakitnya. Kehidupannya sekarang masih jauh lebih baik daripada sebelumnya. Meski terluka ia menyukainya, hidupnya.

"Seiring berjalannya waktu, aku akan kebal sepertinya," yakin Lisa setelah semua lukanya selesai diobati.

Ia berbaring di sofa setelahnya. Beristirahat di ruang tengah sembari melihat barang belanjaannya yang berserakan di lantai. Melihat semua belanjaan itu membuatnya tersenyum. Meski sudah satu tahun ia dimanjakan dengan semua barang mewah itu, ia masih kagum setiap kali melihat tumpukan belanjaannya. Rasanya, ingin ia ambil foto barang-barang itu kemudian memamerkannya pada Jennie, juga pada beberapa orang yang menyuruhnya bercerai. "Bagaimana bisa aku meninggalkan semua ini? Pergi dari surga ini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia ada di sana karena ia dibayar untuk dipukul dan ia tidak keberatan. Mencari uang sama sulitnya seperti masuk ke surga— baginya.

Di tengah kesenangan itu, Lisa melihat handphonenya. Ada pesan dari ibu mertuanya, mengatakan kalau Lisa harus datang untuk jadi sukarelawan besok. Selain uang, barang-barang mewah dan kenyamanan lainnya, menjadi sukarelawan adalah salah satu alasan Lisa tetap bertahan di sana. Datang sebagai istri seorang pilot yang mempesona membuatnya menyukai acara itu.

Ia berjanji pada mertuanya kalau ia akan datang. Lantas kembali tersenyum, kembali terkekeh menikmati semua pencapaiannya. Sama seperti suaminya yang tengah bersenang-senang, berpesta di bar, Lisa pun sedang bersenang-senang sekarang. Berpesta sendirian di rumahnya, menikmati wine dan keju-keju mahal, menonton televisi sembari menunggu iklan home shopping. Lisa bahagia dengan kesendiriannya yang penuh kemewahan.

Hobinya sekarang adalah datang sebagai sukarelawan diberbagai acara amal. Selain senang menikmati kekayaan suaminya, ia juga senang ketika orang-orang tersenyum dan berterimakasih kepadanya. Ia senang ketika harus berdiri di balik panci sup besar kemudian menuangkan sup itu untuk tunawisma lapar di taman. "Terima kasih nyonya," kata-kata sederhana tanpa ada kesan kotor dalam nada bicaranya membuat Lisa merasa hebat.

Sejak kecil, Lisa sering mendengar ucapan sederhana seperti itu. Terima kasih— hampir setiap malam ia mendengarnya. Namun dulu kata-kata sederhana itu tidak terdengar menyenangkan baginya. Sebab mereka yang berterima kasih, selalu menyentuhnya. Meremas bokongnya atau sekedar menyentuh rambut juga pipinya. Ya, dulu Lisa dipaksa bekerja di bar. Apa yang bisa ia harapkan dari asuhan seorang pemilik bar? Meski diberi makan dan tempat tinggal, gadis itu tidak diizinkan hidup gratis di sana.

"Kau sudah bekerja keras, terima kasih Nyonya Jung," Lisa di panggil dengan nama suaminya setelah seluruh tunawisma mendapatkan makan siang mereka.

"Aku tidak begitu, anda yang sudah bekerja keras menyiapkan semua ini Nyonya Lee," balas Lisa, memanggil seorang koki bernama Kim Jisoo juga dengan nama suaminya— Lee Minho, si aktor terkenal.

Wanita itu tersenyum, juga pada beberapa orang relawan lainnya. Acara amal itu adalah acara rutin komunitas wanita di kompleks perumahan tempat orangtua Kapten Jung tinggal. Lisa tidak tinggal di sana, ia tinggal jauh dari sana. Namun setiap kali acara amal itu dilangsungkan, Lisa yang diminta datang menggantikan ibu mertuanya, juga menggantikan kakak iparnya yang sedang hamil. Dibanding di paksa mengandung anak dari pria berengsek seperti Kapten Jung, Lisa lebih suka datang ke acara amal itu.

"Mampirlah ke rumahku sebelum pulang," bisik Nyonya Lee, yang kemudian berpaling, bicara pada wanita-wanita lain. Sama seperti yang Lisa lakukan sekarang, berbincang, tertawa bersama orang-orang yang tahu kalau ia adalah menantu kedua di rumah keluarga Jung.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang