15

408 97 10
                                    

***

Kwon Jiyong menaikan alisnya setelah membaca pesan yang diterimanya. "Apa yang kau lakukan tanpa sepengetahuanku?" tanya pria itu, pada Song Mino yang duduk di depannya, di sebelah supir yang mengemudikan mobil mereka.

"Ya?" tanya Mino, menoleh ke kursi belakang dengan wajah yang sama bingungnya.

"Kalau kau membaca pesanku, temui aku di Bandara Bellis besok malam, Lisa," baca Jiyong, membuat Song Mino semakin bingung.

Seingat Mino, Lisa menolak tawarannya minggu lalu. Aku tidak akan melarikan diri— kata Lisa yang juga menegaskan kalau dirinya tidak akan kembali lagi ke Poppy Island. Sama seperti Jiyong, kini Asisten Jung pun kebingungan. Sembari menerka alasan Lisa berubah pikiran, Mino menatap lagi ke jalan.

Jiyong menendang kursi Mino. Masih menuntut jawaban atas pertanyaannya. Pria itu tidak mau menunggu sampai besok untuk mengetahui alasan Lisa menghubunginya. Tidak pernah sekalipun ia bayangkan Lisa akan menghubunginya lebih dulu. Dia sudah menikah dan punya hidup yang bahagia sebagai istri seorang pilot. Tidak ada alasan baginya untuk menghubungiku lagi— pikir Jiyong.

"Sepertinya aku tahu alasannya berubah pikiran," kata Mino. "Pengacara Kang bilang, dia baru saja dipukuli suaminya, mungkin karena itu dia menghubungimu, Boss. Tapi bagaimana dia bisa menghubungi, Boss? Kalian diam-diam saling berhubungan?" tanya Mino, sebab seingatnya, ia hanya memberikan nomor teleponnya, bukan milik Jiyong. Ia bisa menjawab begitu setelah mengakhiri panggilannya dengan Pengacara Kang. Setelah ia bertanya apa yang terjadi antara Kapten Jung dan istrinya.

Jiyong tidak menjawabnya. Mana mungkin mereka bisa berhubungan diam-diam? Ia bahkan tidak tahu berapa nomor telepon Lisa. Kalau gadis itu tidak menulis namanya dalam pesan itu, Jiyong tidak akan tahu itu Lisa. Ia tidak akan terkejut Lisa menghubunginya kalau mereka memang diam-diam bertemu.

"Kau memintanya kembali bekerja di pabrik, dia menolak dan sekarang dia berubah pikiran?" tanya Jiyong, meluruskan cerita Asisten Song tadi. "Tapi kenapa dia menghubungiku? Bukan menghubungimu?" ia bertanya sekali lagi namun tidak ada jawaban yang bisa memuaskannya.

Jiyong tetap penasaran, sampai akhirnya waktu pertemuan mereka datang namun Jiyong belum tiba di bandara. Jiyong harus terbang dari Poppy Island malam ini. Ia sudah berencana untuk terbang siang tadi, namun pekerjaan membuatnya tidak sengaja melewatkan penerbangan itu dan kini pria itu terlambat.

Ia mengirim pesan ketika tahu dirinya akan terlambat. Lantas di salah satu cafe dalam bandara itu, ia menghampiri Lisa yang sudah tiga puluh menit menunggu. Jiyong duduk di depan gadis itu, di sebuah meja untuk dua orang. Dari balik kacamata hitamnya, Lisa menatap, menoleh juga pada Song Mino yang berdiri di sebelah Jiyong. Kemudian menoleh lagi pada beberapa pria yang menunggu di luar cafe.

"Aku tidak tahu kalau kau butuh banyak pengawal hanya untuk menemuiku, apa aku sangat berbahaya?" tanya Lisa setelah menilai situasinya. Ia tidak butuh jawaban Jiyong, maka dilanjutkannya kata-katanya. "Aku ingin memberimu sebuah penawaran," kata Lisa tanpa melepaskan kacamatanya. Tanpa melepaskan scraft di lehernya, tanpa melepaskan mantelnya, tanpa melepaskan maskernya. Sedang Jiyong sudah melepaskan mantelnya untuk pembicaraan yang lebih nyaman. Ia juga meminta Mino untuk memesan minuman untuknya, juga untuk orang-orang yang menunggu di luar.

"Penawaran? Kau? Kau ingin memberiku penawaran?" bingung Jiyong, hampir tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Lisa yang ia kenal tidak akan berani melakukannya. Lisa yang ia kenal tidak akan berani menyuruhnya datang dan mengatakan kata-kata tegas seperti tadi. Jiyong hanya tidak tahu, kalau dibawah meja, Lisa menggenggam kuat tangannya untuk mendapatkan keberanian itu. "Kau berubah, Lisa," komentar Jiyong. "Kau jadi angkuh dan aku tidak menyukainya. Aku tidak tertarik dengan penawaranmu," katanya setelah lama menilai wanita di depannya.

"Kau membutuhkanku," balas Lisa. Yakin kalau Jiyong akan menyukai tawarannya. Tapi pria itu menggeleng.

"Mungkin Mino membutuhkanmu, tapi aku tidak," geleng Jiyong. "Berikan saja penawaran itu padanya," susulnya.

"Kau mencintaiku," Lisa tiba-tiba saja mengungkapkan isi kepalanya. Mengungkapkan dugaan yang jadi alasan keberaniannya. Rasa gugup membuatnya kesulitan untuk berdebat. Meski sudah berlatih sepanjang malam, gadis itu tetap merasa rendah. Ia tetap merasa tidak kecil. Ia tidak berkutik meski sudah berusaha keras terlihat angkuh selama ini. Seharusnya ia tidak membuka mulutnya di depan Jiyong, seperti sebelumnya.

"Tidak, aku tidak mencintaimu," geleng Jiyong tanpa merubah ekspresinya yang tadi. Tenang namun tetap terasa sinis. Ketidaksukaan terasa begitu jelas di sorot matanya. "Kau pergi setelah mengugurkan anakku. Dengan surat bunuh diri bodoh yang... Kalau tubuhmu ditemukan, kirimkan tubuh itu pada Kwon Jiyong? Untuk apa? Kau ingin aku menyimpan tubuhmu? Kau ingin aku memakamkanmu? Aku tidak akan melakukannya. Kalau ada yang menghubungiku karena tubuhmu, akan aku suruh dia membakar tubuhmu, atau berikan saja untuk jadi makanan anjing dan kucing liar," katanya setelah bertahun-tahun mereka tidak bicara.

Mendengarnya membuat Lisa mengigit bibirnya sendiri. Di balik maskernya. Ia tahu Jiyong masih sangat marah padanya. Pria itu tidak melakukan kesalahan apapun. Paman yang melakukan banyak kesalahan padaku, bukan Jiyong— ingat Lisa, yang sekarang merasa semakin buruk. Mino yang melihat dari luar, kini ikut merasa resah. Ia menginginkan Lisa untuk kembali membantunya, namun rasanya Jiyong tidak akan menyetujuinya. Bahkan bagi Mino, Jiyong terlihat sangat emosional sekarang, sengaja terlihat angkuh seolah Lisa sudah benar-benar tidak bisa dimaafkan.

Melihat Lisa diam saja, pria itu kemudian merubah posisi duduknya. Ia sandarkan punggungnya di kursi, dengan kaki terlipat yang sebelah kakinya sengaja dinaikan ke kaki lainnya. "Kau sudah sadar dimana posisimu?" tanya Jiyong, masih sangat angkuh.

"Aku membencimu," gumam Lisa, namun Jiyong tidak bisa mendengarnya. Suaranya begitu pelan sampai tidak terdengar oleh siapapun.

Lantas gadis itu bangkit, merasa kalau dirinya tidak akan berhasil malam ini. Ia akan melangkah pergi, namun Jiyong justru berkata— "kau seperti pelacur sekarang," ucapnya. "Aku penasaran. Apa kau melarikan diri sampai berpura-pura mati untuk jadi seperti ini? Tidak kan? Kau tidak sepayah itu, iya kan?" tanyanya, membuat Lisa yang mendengarnya jadi gemetar, menahan marah.

Namun tinggal bersama Kapten Jung membuat gadis itu belajar caranya menahan marah. Ia tarik dalam-dalam nafasnya sembari mengepal kuat. Ia tekan emosinya sedalam ia bisa. "Tidak," kata gadis yang kini menahan getar di suaranya. Ia tekan dalam-dalam suaranya, membuat suaranya terdengar aneh hanya demi kelihatan berani. "Aku tidak pergi dari neraka itu untuk jadi seperti ini, karena itu aku memberimu penawaran. Akan aku selesaikan barang baru itu, tapi buat Jung Hoseok menandatangani surat cerai kami," katanya masih berdiri. Meski ingin, tidak ia siram Jiyong dengan kopi di depan mereka.

"Bercerai? Kenapa?" tanya Jiyong dan baru saat itulah Lisa melepaskan kacamatanya, maskernya, scarf-nya, juga mantelnya. Lisa babak belur dan kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya. Kali ini rasa sakitnya tidak lagi bisa ditahan.

Matanya kirinya lebam, ungu kehitaman hampir seperti panda setelah dipukul. Satu sudut bibirnya bengkak setelah sebelumnya pecah karena dipukul. Satu telinganya diperban, anting-anting yang ia pakai ditarik sampai telinganya terluka. Ada memar diseputaran lehernya, dengan sebuah luka sayat yang belum terlalu dalam, Lisa berhasil menghindar saat Kapten Jung akan menyayat lehernya. Bahu, dada, lengan semuanya memar membiru.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang