***
Lalisa Kwon tersenyum menatap kamera. Di tangannya ada sebuah penghargaan— Warga Pemberani— tulisannya. Ia lalu diberikan sebuah buket bunga, kemudian kembali difoto bersama kepala kepolisian setempat. Gadis itu baru saja mendapatkan penghargaan sebagai warga pemberani, sebab minggu lalu ia menyelamatkan seorang anak yang hampir diculik.
Ada seorang anak perempuan di kompleks apartemennya yang hanya tinggal bersama ibunya. Ibu dari gadis kecil itu baru saja bercerai, ia meninggalkan suaminya yang kasar untuk hidup hanya berdua dengan putrinya. Namun beberapa minggu lalu, sang nenek berkunjung untuk menjemput cucunya. Di depan gedung apartemen, terjadi pertengkaran hebat antara nenek juga ibu anak perempuan itu. Lalu minggu lalu, ketika si anak perempuan kecil itu tengah bermain sendirian di depan gedung apartemen, seorang pria membawanya pergi. Merasa kalau ada yang tidak beres, Lisa mengikuti mereka, memakai trik-trik yang ia pelajari di kelas bela diri kemudian membawa gadis kecil itu kembali pulang. Aksi heroik yang tidak rencanakan itu lantas membawanya ke kantor polisi untuk diberi penghargaan.
Namun di sana, selepas upacara pemberian penghargaannya, ia justru bertemu dengan Kwon Jiyong yang baru saja dibebaskan setelah 72 jam di tahan. Mereka bertemu di depan pintu utama kantor polisi, dari arah yang berlawanan. Asisten Song dan beberapa anak buah lainnya pun berada di sana, menjemput Jiyong yang baru saja bebas setelah menginap selama tiga hari.
Lisa masih menatap pria itu, mematung sembari meremas karangan bunga yang diterimanya. Sedang Jiyong yang lebih dulu tersadar dari keterkejutan langsung berpaling, menggerakan tangannya untuk meminta Asisten Song mengabaikan Lisa, seolah mereka semua tidak melihat Lisa di sana. Ia tunjukan dengan sangat jelas kalau dirinya menghindari Lisa di sana— meski gerakannya sama sekali tidak berlebihan.
"Aku punya janji lain," kata Lisa yang akhirnya tersadar dari keterkejutannya. Ia menoleh pada beberapa warga pemberani lainnya, para ibu rumah tangga yang hari ini juga menerima penghargaan mereka. "Lain kali aku akan ikut minum kopi bersama kalian, maaf sekali, pagi ini aku harus pergi duluan," pamitnya, yang kemudian berlari kecil untuk menghampiri Jiyong di mobilnya, tepat di depan pintu utama kantor polisi namun sayangnya pria itu sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi.
Di dalam mobil, Jiyong menerima handphonenya dari Song Mino. Ada empat orang di dalam mobil itu, seorang pengacara yang membebaskan Jiyong, Song Mino juga supir mereka. Sedang beberapa anak buah lainnya duduk manis di mobil lainnya. Begitu ia menyalakan handphonenya, sebuah panggilan masuk ke sana dan tentu saja Lisa lah yang meneleponnya.
"Hentikan mobilnya," pinta Jiyong sebab panggilan itu berakhir sebelum sempat di jawab. Lisa mengakhiri panggilannya di dering kedua panggilannya. Gadis itu baru saja berubah pikiran. "Kembali lah lebih dulu, aku akan menyusul dengan taksi nanti," katanya, yang langsung meninggalkan mobilnya tepat setelah benda itu berhenti. Sang pengacara akan mencegahnya, mereka masih perlu membicarakan beberapa hal namun Mino menyela dan memberi celah agar Jiyong bisa pergi.
Meski anak buahnya sempat bingung, namun mereka semua akhirnya tetap pergi. Meninggalkan Jiyong di tepi jalan, di depan kantor polisi. Tidak lama setelah mobil-mobil itu melaju pergi, Lisa yang muncul dari gerbang utama kantor polisi. Dengan kemeja dan celana jeansnya, masih sembari memeluk karangan bunganya tadi, gadis itu melangkah. Kepalanya tertunduk, langkahnya kelihatan tidak nyaman dan gerak bahunya terlihat sangat jelas saat ia menghela nafasnya. Sembari melangkah, Lisa sibuk menebak-nebak alasan Jiyong keluar dari kantor polisi.
Sebuah tangan tiba-tiba terulur, menghentikan langkah Lisa juga menaikan kepala gadis itu. Lantas, bertemulah mereka setelah lama tidak saling tatap. "Berikan itu untukku," pinta Jiyong, meminta Lisa untuk menyerahkan buket bunga yang ia terima.
"Ya?" bingung Lisa, yang tentu keheranan dengan permintaan tiba-tiba itu.
"Aku tidak pernah dapat bunga, berikan itu padaku," ulang Jiyong yang dengan basa-basi payahnya berhasil membuat Lisa mengulurkan bunganya. Kini Jiyong mendapatkan bunga juga perhatian gadis itu. "Kenapa meneleponku?" tanya Jiyong setelah ia menerima buketnya.
"Tidak sengaja-"
"Kau tidak menyimpan nomor teleponku. Kau tidak sengaja menekan sebelas angka dan satu tombol telepon?" potongnya, yang kemudian melangkah lebih dulu, membuat Lisa ikut melangkah bersamanya.
"Ya, aku tidak sengaja," ia bersikeras meski kebohongannya sudah terbongkar. "Kenapa tadi kau mengabaikanku? Tidak sengaja?" Lisa balas bertanya.
"Aku sengaja melakukannya," tenang Jiyong. "Dari semua tempat di dunia ini, kenapa kau ada di sini?" tanyanya, yang memimpin langkah meski ia sama sekali tidak punya tempat tujuan.
"Kampung halaman terasa lebih nyaman?" Lisa menggambarkan keraguan dalam jawabannya. "Aku pun tidak tahu. Hanya tidak ada tempat lain yang terpikirkan olehku," jawabnya, tetap mengikuti Jiyong tanpa tahu kemana pria itu akan membawanya. "Aku sudah menduganya, kita akan bertemu lagi di sini. Mungkin berpapasan di restoran atau rumah sakit. Aku sudah bersiap, kalau kita bertemu lagi, aku akan menyapamu sambil tersenyum. Aku sudah hidup bahagia sekarang— aku ingin bilang begitu padamu. Tapi kenapa kita bertemu di kantor polisi? Dari semua tempat, kenapa kantor polisi?" tanyanya keheranan. Ia jelas terganggu dengan pertemuan itu.
"Aku justru berharap kita tidak akan bertemu lagi," kata Jiyong yang akhirnya berhenti di sebuah halte bus. Mengambil duduk di salah satu bangku panjang di sana, kemudian menepuk tempat di sebelahnya agar Lisa ikut duduk bersamanya. "Kalau kita bertemu lagi, berarti kau gagal mengabulkan permintaanku— aku pikir begitu. Entah kau mendatangiku karena marah atau butuh bantuan, tidak ada hal baik terjadi kalau kita bertemu," susulnya.
Di sebelahnya Lisa duduk, merogoh tas jinjingnya untuk memperlihatkan apa yang baru saja ia dapatkan— penghargaannya. "Ini penghargaan pertama yang aku dapatkan," kata Lisa memamerkan pencapaiannya. "Kau tidak pernah mendapatkannya, 'kan? Berikan itu pada Paman, katakan padanya itu milikku dan dia harus bangga padaku," pintanya, lantas Jiyong mengangguk.
"Kau hebat, selamat, akan ku sampaikan pada Paman," pujinya, tanpa meminta Lisa untuk memberikan sendiri penghargaan itu pada Paman, ke makamnya. "Aku sudah lama tidak mengunjunginya, sekarang aku harus mengunjunginya," susulnya.
"Kapan terakhir kali kau mengunjunginya?"
"Di hari pemakamannya?"
"Kasihan, tapi Paman pantas mendapatkannya. Dia jahat sekali padamu."
"Padamu juga."
"Karena itu aku tidak mau menemuinya."
"Namamu ada dalam surat wasiat Paman," Jiyong akhirnya mengatakan apa yang selama ini ia rahasiakan. Bahkan pada asistennya sekalipun, pada semua orang. "Aku berikan tujuh puluh persen kekayaanku untuk keponakanku, Kwon Jiyong dan tiga puluh persen untuk bayi cantikku, Lalisa Kwon— begitu isinya, tapi aku merebut bagianmu, karena kau dinyatakan hilang."
"Whoa... Dan kau masih sangat angkuh saat aku memintamu mengurus surat ceraiku? Tidak tahu malu," cibir Lisa. "Tapi tidak apa-apa, aku tidak ingin menerima warisannya. Kalau menerimanya, aku harus berhenti membencinya. Tidak mau, aku ingin membencinya seumur hidupku. Warisannya untukmu saja. Tapi kenapa kau keluar dari kantor polisi? Ketahuan membunuh? Judi? Prostitusi?"
Jiyong menghela nafasnya, enggan memberitahu Lisa tentang masalah yang sedang dihadapinya. "Apapun masalahnya, aku tidak khawatir," kata Lisa kemudian. "Kau akan tetap hidup meski tinggal di penjara. Kau akan hidup dengan sangat baik di sana," susulnya.
"Syukurlah," santai Jiyong.
"Ya?"
"Aku bersyukur karena kau tidak mengkhawatirkanku."
"Masih saja menyebalkan," gerutu Lisa yang kemudian bangkit, mengatakan kalau dirinya akan pulang sebab tidak ada lagi yang bisa mereka bicarakan.
Jiyong tidak menahannya. Ia anggukan kepalanya, membiarkan Lisa untuk pulang ke rumahnya sendiri. Namun pria itu sempat bertanya, "dimana rumahmu?" katanya, membuat Lisa menaikan alisnya.
"Kenapa kau terus berpura-pura tidak tahu? Kau menyuruh orang untuk mengikutiku," heran gadis itu.
"Aku tidak pernah melakukannya," geleng Jiyong, namun Lisa sama sekali tidak mempercayainya. Tidak ia percayai pria yang selalu bersikap angkuh itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing In The Hell
Fiksi Penggemar"...jangan melakukannya, kau akan masuk neraka!" katanya, begitu kata mereka. Kenapa aku harus takut akan masuk ke neraka? Aku sudah hidup di sana, seumur hidupku.