21

377 90 11
                                    

***

Boss datang dua hari kemudian. Ia datang sendiri, tanpa Asisten Song di sebelahnya. Tanpa tujuan, tanpa rencana, hanya ingin datang melihat wanita yang dulu mereka sebut bayi cantik. Saat datang, tidak ia lihat apa yang diinginkannya. Tidak ada serbuk-serbuk putih yang diinginkannya. Hanya sekelompok pria yang asik berjudi dengan alkohol juga rokok-rokoknya. Tidak ia lihat Lisa di sana, maka ditatapnya satu-persatu pria di sana.

Semua pria itu panik ketika melihatnya datang tanpa pemberitahuan. Mereka matikan rokok-rokoknya, mereka letakan kartu-kartunya. Tergagap menyapa sang Boss yang tidak mengatakan apapun. Prasangka buruk kini memenuhi kepala Jiyong. Ia tahu sesuatu yang buruk sudah terjadi di sana.

"Kalian membunuhnya?" tanya Jiyong, menanyakan kemungkinan terburuknya.

Tidak satu pun menjawabnya. Mereka terlalu gagap, terlalu panik, terlalu takut. Berdiri mematung di ruang tengah dengan kepala tertunduk. Tidak menunggu lama, tiga pria keluar dari kamar yang seharusnya Lisa tempati. Ketiganya keluar sembari memasang celana masing-masing. Helaan nafas yang keluar dari mulut Jiyong saat itu membuat ketiganya kaku berdiri di ambang pintu. Seolah baru saja kejatuhan sebuah batu besar, ketiganya berlutut, memohon ampun pada Jiyong setelah ketahuan melecehkan si bayi cantik.

"Dia yang menginginkannya!" seru seorang pria yang berlutut. Sembari menunjuk pintu kamar Lisa, ia sudah merasa terpojok meski Jiyong tidak mengatakan apapun selain menatap matanya. "Dia yang memintanya!" susulnya, mencoba mendapatkan kepercayaan Jiyong.

"Oh ya?" Jiyong bertanya, meski dirinya yakin— sangat yakin— Lisa tidak akan melakukan itu. Lisa yang bahkan berani melukai paha dan perutnya sendiri ketika diminta Paman melayani kliennya, tidak mungkin meminta pria-pria itu menyetubuhinya. "Akan aku tanya padanya," katanya, membuat pria tadi, yang berlutut dengan rambut pirang langsung memeluk kaki Jiyong. Memeganginya, memohon ampun karena baru saja berbohong.

Mendengar pria itu memohon, Jiyong membungkukan tubuhnya. Ia usap-usap rambut pirang yang kasar itu. "Aku mengerti," katanya. "Aku mengerti bajingan sepertimu pasti kesulitan mengendalikan penismu," tenang Jiyong masih sembari mengusap-usap rambut pria yang memohon padanya. Ia bahkan belum melihat kondisi Lisa sekarang, tapi kemarahan tergambar jelas di seluruh tubuhnya. Tatapannya, nada bicaranya, segalanya terasa menusuk, terasa begitu dingin, begitu mengerikan. "Biar aku membantumu," tawarnya yang kemudian menjambak rambut kasar berwarna pirang tadi. Ia jambak rambut itu sampai si pemilik rambutnya mengerang kesakitan, tertarik ke belakang dengan wajah merah padam.

"Bawakan aku penis tiga bajingan ini," katanya setelah ia menendang dada pria yang memohon padanya, membuatnya hampir mati karena patah leher. "Ah! Selain kalian bertiga, siapa saja yang sudah masuk ke sana? Kalian semua?" tanya Jiyong, kali ini ia tatap semua anak buahnya di dalam ruangan itu. Sepintas dilihat, pria-pria di dalam ruang tengah itu bisa saja menyatukan kekuatan mereka dan membunuh Jiyong yang seorang diri di sana. Namun rasa takut yang Jiyong tanamkan sejak bertahun-tahun lalu mengubur potensi itu.

"Semua yang sudah melecehkan bayi kecilku, mengaku sekarang. Aku akan memaafkan kalian," tenang Jiyong kali ini ia langkahkan kakinya menjauhi ruang tengah, pergi ke mini bar yang hanya beberapa langkah dari sana. Satu persatu pria di ruang tengah berlutut, merangkak ke mini bar sembari memohon ampun. Meminta Jiyong memaafkannya. Hanya sisa tiga pria yang masih berdiri, mengaku tidak pernah menyentuh Lisa dan hanya diam karena tidak bisa melindungi si bayi cantik.

Ia lempar sebuah pisau yang ditemukannya ke lantai, tepat ke depan pria-pria yang berlutut. "Berikan padaku penismu," titahnya, meminta anak-anak buahnya itu untuk mengebiri diri mereka sendiri, memotong penis mereka sendiri dan memberikan penis itu padanya.

Kini orang-orang itu sudah punya senjata dan Jiyong masih seorang diri di sana. Sedikit saja Jiyong lengah, sedikit saja ia tunjukan punggungnya, seseorang mungkin akan menusuknya dari belakang. Dan itu benar terjadi, di saat Jiyong melangkah setelah memberikan perintahnya, hendak masuk ke kamar Lisa, si pria pirang menusuk bahunya dengan pisau.

Jiyong tertusuk, namun itu bukan lah akhir baginya. Meski sempat meringis kesakitan, pria itu masih bisa membalasnya. Ia berbalik, membiarkan pisau buah yang menusuk bahunya kemudian memakai pisaunya sendiri— pisau lipat yang selalu ia bawa— untuk menggorok leher si pirang.

Si pirang masih hidup. Menggelepar di lantai, bak ikan yang kesulitan bernafas. Bak ikan yang terdampar di daratan. "Ada yang sudah bosan hidup lagi?" tanyanya, menatap satu persatu pria di sana. Tangannya bergerak ke belakang, mencabut pisau yang menusuk di bahu belakangnya. Sekali lagi ia lempar pisau buah tadi ke depan pria-pria lainnya. Ia berjongkok, kemudian menusukan pisaunya ke selangkangan si pirang. Ia lakukan semuanya sembari menatap pria-pria di depannya.

Tidak ada getaran apapun di matanya. Tidak ada sedikitpun keraguan apalagi ketakutan dalam tatapannya. Pria itu serius dengan kata-katanya. Ia luar biasa serius dengan kemarahannya. "Sampai tengah malam nanti, aku ingin penis mereka semua ada di atas meja. Kalau kalian gagal, lebih baik kalian semua mati," perintahnya, pada tiga pria yang masih berdiri. "Mati dengan cara yang paling menyakitkan," susulnya yang kemudian mencabut lagi pisaunya dari selangkangan si pirang. Membuat pria yang hampir mati itu mengerang kesakitan namun tidak ada suara yang bisa keluar darinya. Si pirang terdengar seperti seekor sapi yang baru saja disembelih.

Jiyong akhirnya bisa masuk ke kamar Lisa. Begitu ada di dalam ia palingkan wajahnya, terlampau terkejut ketika melihat Lisa di sana. Gadis itu telanjang, dengan sebelah tangan yang diikat ke kepala ranjang. Aroma dari urin, sperma, keringat semua keluar dari tubuh gadis itu. Lisa terlalu mengerikan untuk di sebut bayi cantik lagi.

Pria yang awalnya tetap tenang, kini harus berpegang pada kenop pintu. Tubuhnya gemetar, menyesal sekaligus marah. Jiyong hampir menangis ketika ia lihat Lisa membuka mulutnya namun tidak sedikitpun suara keluar darinya. "Kenapa kau tidak meneleponku? Kau harusnya memberitahuku," kata Jiyong. Suaranya yang lembut terdengar bergetar sekarang. Ia tarik selimut di ranjang yang sudah berantakan, menutupi tubuh Lisa lantas melepaskan ikatan tangannya. "Siapa saja yang melakukan ini padamu?" tanya Jiyong, setelah ia tahu alasan Lisa tidak bisa meminta bantuan, tangan gadis itu sudah biru kehitaman sekarang. Tangannya lebih dulu dihancurkan agar ia tidak bisa menelepon siapapun.

"Se... mua," bibir gadis itu bergerak, sementara ia tidak lagi berdaya, tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan Jiyong membungkusnya dengan selimut dan mengangkat tubuhnya meninggalkan tempat itu.

"Gantung semua orang yang ada di dalam," perintah Jiyong, pada dua orang pria yang berjaga diluar pintu kamar hotel itu. Orang-orang yang diperintahkan untuk menjaga Lisa agar tidak melarikan diri dari sana.

"Ya?" dua pria yang berjaga diluar kebingungan, namun Jiyong enggan menjelaskan lebih banyak. Bahkan menurutnya, dua orang di depan pintu itu pun harus dihukum karena tidak bisa menjalankan tugas mereka.

Sementara dua pria tadi masih bertukar tatap karena kebingungan dengan perintah Jiyong, Jiyong sudah lebih dulu melangkah menjauh, mengangkat Lisa dalam selimut menuju mobilnya. Menyelamatkan gadis yang tidak berdaya itu, berharap ia bisa mengembalikannya jadi Lisa lama yang dahulu ia kenal.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang