***
Rambutnya yang hitam dipotong pendek, hanya sebatas bahu. Dengan sebuah celemek berbahan kulit Lisa berdiri di balik sebuah meja. Tangannya berlapis sarung tangan berbahan kain, memegang sebuah bor listrik untuk membuat beberapa lubang di kayunya. Ia tengah membuat sebuah kursi sekarang, ditemani tujuh orang lainnya, di tujuh meja yang berbeda. Sesekali ia sesuaikan letak kacamatanya. Menikmati satu demi satu langkah dalam pembuatan kursinya.
Terkadang, ia angkat tangannya, meminta seorang instruktur yang berdiri di depan kelas untuk menghampirinya, untuk membantunya menyelesaikan masalah di stasiun kerjanya. "Aku ingin membuat sepasang kursi untuk minum teh di balkon rumahku," katanya saat seseorang bertanya apa yang tengah dibuatnya. "Sepasang kursi yang akan aku pakai untuk melihat pemandangan dari balkon rumahku, cahaya lampu kota saat malam, cahaya dari jendela-jendela lainnya, siluet orang-orang dari rumah lain, aku suka melihat semuanya dari balkon rumahku," ceritanya di depan kelas, begitu kursi-kursinya selesai dibuat. Sebuah kursi yang tidak terlalu tinggi, dengan miring ke belakang layaknya kursi-kursi di pantai. Tempatnya bersantai setelah mengalami banyak hal.
Sudah lebih dari satu tahun sejak terakhir kali ia melihat Jiyong. Setelah akhirnya gadis itu memilih pergi dari Kokaina Hill dan kembali ke Poppy Island, ke sisi lain pulau, yang berlawanan dengan tempat dibesarkannya dahulu. Orang-orang pasti menduga dirinya pergi ke tempat lain, pergi jauh dari negara itu, atau setidaknya pergi jauh dari Poppy Island— neraka pertamanya. Namun Lisa memilih untuk kembali.
Tahun lalu, di terminal bus tempat Jiyong menurunkannya gadis itu termenung tanpa tahu kemana tujuannya. Luar negeri adalah pilihan pertamanya, namun proses yang harus dijalaninya tidak akan mudah. Visa, izin tinggal, pasport, semuanya terlalu merepotkan baginya. Maka pilihannya menyempit— luar kota. Kota manapun di negaranya dan tanpa sadar kaki membawanya kembali ke Poppy Island.
Kini, di kota yang ia anggap neraka, dirinya tersenyum. Ia berjalan dengan dua teman barunya, melangkah keluar dari tempat kursusnya dengan senyum yang amat lebar. "Apa rencana kalian sore ini?" tanya seorang wanita, yang berjalan di sebelahnya setelah mereka meninggalkan tempat kursus mereka.
"Kalau Lisa pasti pergi ke tempat kursus lainnya, kursus apa sekarang? Melukis?" tebak seorang wanita lainnya, yang juga melangkah bersama mereka. "Kalau aku tentu saja pulang dan menjemput anakku di tempat kursusnya. Kursus matematika mahal sekali," katanya kemudian.
"Aku ada kursus bela diri dua jam lagi, setelah itu kelas yoga dan jadwalku hari ini selesai," jawab Lisa, mengecek jadwal padat yang dicatatnya di handphone. "Kau akan langsung pulang? Atau pergi belajar untuk ujianmu?" ia balas bertanya.
"Inginnya ditraktir minum bir," gadis tadi memamerkan deretan giginya, tersenyum sembari memeluk lengan Lisa. "Traktir aku bir, please," pintanya, sebagai seorang adik yang sedang berjuang untuk tes pegawai negerinya.
Lisa menyetujuinya, namun teman mereka yang lain— si ibu muda— hanya menggelengkan kepalanya. Saat itu masih terlalu sore untuk minum-minum dan setahunya, Lisa tidak minum atau menelan apapun yang memabukan. Gadis itu khawatir dirinya akan dalam bahaya kalau berada di kondisi mabuk. Setelah semua yang terjadi, ia mulai belajar untuk melindungi dirinya sendiri.
Kursus bela diri, membuat furniture, melukis, fotografi, yoga dan banyak lainnya. Dengan semua uang hasil perceraiannya, gadis itu menjalani hidupnya seperti yang bagaimana ia inginkan. Ia coba semua yang tidak pernah dilakukannya. Ia lakukan semua yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya. Bahkan ia ikuti terapi psikologis di rumah sakit, duduk bersama orang-orang yang juga punya pengalaman traumatis, membagikan ceritanya dan berusaha untuk hidup lebih baik. Lisa melakukan semuanya untuk memenuhi permintaan Jiyong— hidup bahagia.
Sejak hari itu, aku lahir sebagai seorang Lalisa Kwon yang baru— niatnya, dan ia berjuang keras untuk mewujudkannya. Sayangnya, kebiasaan dan luka lama tidak bisa serta merta hilang. Setibanya di rumah, semua kesenangannya lenyap. Sepulang dari kelas yoga, begitu kakinya melewati ambang pintu apartemennya, senyumnya seketika lenyap.
Dimalam-malam tertentu tangisnya pecah. Di depan cermin ia membenci dirinya sendiri, dilihatnya tubuhnya sendiri dengan pandangan jijik, menganggap hidupnya begitu kotor, begitu menyedihkan. Dimalam lainnya, ia tidak merasakan apapun. Tidak ada yang membuatnya senang berada di rumah, namun perasaan sedih pun jadi terasa sangat melelahkan untuknya. Dirinya kesepian, tinggal sendirian di sebuah apartemen studio dengan balkon itu. Namun tidak ia biarkan seorang pun melewati batas buatannya. Tidak seorang pun ia izinkan untuk masuk ke rumahnya, ke relung paling dalam dunianya.
Malam ini, selepas meninggalkan kelas yoga dan tiba di rumahnya, gadis itu duduk di balkon. Ia buka laptop miliknya, setelah mendapatkan segelas air untuk temannya memandangi lampu. Dengan laptop itu, di tulisnya sebuah pesan, "aku bahagia," katanya di bagian awal pesan itu.
"Itu bohong kalau aku bilang, aku selalu tertawa setiap hari, kalau aku bilang aku tidak pernah menangis lagi, tapi aku menikmatinya kali ini. Aku bisa mengangkat kepalaku tanpa perasaan apapun dan itu menyenangkan. Sekarang aku tinggal di tempat yang jauh sekali darimu, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Sedikit disayangkan, karena sesekali aku penasaran bagaimana hidupmu. Tapi jangan melakukan apapun, aku tidak ingin kau mengirim orang untuk mengawasiku dari jauh. Percaya lah padaku kalau aku baik-baik saja, kalau aku sudah hidup bahagia sekarang, hidupku sudah seperti yang aku inginkan sekarang. Aku punya banyak kesibukan, aku punya cukup uang dan aku punya beberapa teman. Aku juga mulai mencari pekerjaan sekarang.
Tidak ada cita-cita yang ingin aku gapai, jadi aku tidak tahu apa pekerjaan impianku. Aku hanya akan mengerjakan apapun yang bisa memberiku uang, seperti orang-orang lainnya. Sebenarnya aku punya beberapa apartemen yang aku sewakan, meski tidak bekerja, ku rasa aku bisa tetap hidup. Tapi kalau tidak segera bekerja, aku tidak bisa membayar kelas yogaku, kelas yoga mahal sekali. Aku tidak pernah berfikir untuk ikut kelas yoga sebelumnya, tapi dokterku bilang itu bagus untuk kesehatanku. Aku terus menemui dokterku, karena sesekali aku merasa ada orang yang mengawasiku. Kau tidak melakukannya, bukan? Harusnya tidak, karena harusnya kau tidak tahu dimana aku berada sekarang. Aku rasa itu hanya perasaanku, dokterku bilang begitu. Dia bilang trauma masa lalu bisa membuatku merasa begitu. Belum terlalu lama sejak kita berpisah di terminal, jadi jangan bilang "kau melarikan diri hanya untuk hidup seperti ini?" aku sedang mengusahakan untuk hidup yang lebih baik. Aku..." jemari gadis itu kemudian berhenti bergerak.
Masih ada banyak kata-kata yang muncul di kepalanya, namun ia putuskan untuk menghapus lagi semuanya. Ia batalkan rencananya untuk mengirim pesan panjang pada Jiyong. Pria itu tidak mungkin penasaran dengan kabarnya sekarang, lebih baik berhenti berhubungan— yakinnya dan ia tutup lagi laptopnya. Ia tidak tahu, kalau di luar sana memang ada seorang pria yang luar biasa penasaran tentangnya, tentang bagaimana hidupnya sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing In The Hell
Fanfiction"...jangan melakukannya, kau akan masuk neraka!" katanya, begitu kata mereka. Kenapa aku harus takut akan masuk ke neraka? Aku sudah hidup di sana, seumur hidupku.