22

351 85 3
                                    

***

Rambutnya bergerak tertiup angin musim semi yang harum. Di dalam mobil dengan atap terbuka ia tersenyum, berkendara di jalanan dengan pemandangan laut biru di sebelah kanannya. Hatinya penuh bunga, kelopak-kelopaknya menggelitik, membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum.

"Kenapa senyummu sangat lebar hari ini?" sebuah suara menyadarkannya dari lamunan, membuatnya menoleh masih dengan senyum di wajahnya. Suara itu milik seorang pria yang menyetir di sebelahnya— Kwon Jiyong. Rambutnya yang hitam pekat tertiup angin, membuatnya terlihat sangat segar meski ada sebuah kacamata hitam yang membantunya menghalangi silau, juga hembusan angin.

"Tidak tahu," Lisa menjawabnya sembari menggeleng. "Mungkin karena anginnya. Atau karena warna biru lautnya, atau karena wangi bunganya, aku tidak tahu," katanya. "Kau pun tersenyum, kenapa kau tersenyum? Karena anginnya? Lautnya? Atau aroma bunga?" gadis itu balas bertanya, sedang Jiyong hanya menoleh, melirik sebentar sebelum ia harus memperhatikan jalanan lagi.

"Karena kau tersenyum," tenang Jiyong. "Aku senang melihatmu tersenyum," susulnya, terus fokus ke depan, ke jalanan di depan mereka yang berkelok-kelok. "Meski tidak bersamaku, aku selalu berharap kau bisa terus tersenyum," pria itu kembali bicara.

"Kenapa?" Lisa bertanya, masih sembari memperhatikan helai rambut hitam yang tertiup angin.

"Karena kau tidak bahagia saat bersamaku," Jiyong menjawabnya dan seketika langit berubah jadi gelap. Laut biru di sebelah kanannya berubah jadi lava merah yang terasa panas. Ia yang sebelumnya merasa kalau mereka berkendara tanpa tujuan, kini melihat sebuah pintu besar berwarna perak di ujung jalan. Mereka berkendara ke arah pintu yang rasanya juga bergerak menjauhi mereka.

Kini dilihatnya Jiyong terluka. Rambut yang sebelumnya halus tertiup angin, kini basah, menggumpal bersama darah lembab di kepalanya. Tidak ada kacamata di wajahnya, matanya justru lebam, menghitam. Senyumannya perlahan lenyap, air matanya mulai keluar. Sekali lagi ia bertanya, "kenapa?" namun wajah terluka itu hanya menoleh padanya, tersenyum dengan banyak memar dan luka.

"Aku ingin kau bahagia," dengan bibirnya yang terluka, pria itu menjawab. "Aku hanya ingin kau hidup bahagia. Tinggal di sebuah rumah dengan kebun bunga kecil, bersama orang-orang yang membuatmu tersenyum. Bahagia, tidak lagi ketakutan. Tidak ada lagi yang bisa melukaimu selain duri dari bunga-bunga mawar yang kau tanam, aku akan selalu tersenyum untukmu kalau kau bisa hidup seperti itu, Lisa," katanya, sebelum Lisa merasakan benturan hebat di saat mobil dengan atap terbuka itu menabrak pintu perak di ujung jalan.

Tubuhnya terasa begitu nyeri setelah kecelakaan itu. Tidak lagi ia lihat Jiyong di sebelahnya. Hanya ada kilau berlebihan yang membuatnya tidak bisa melihat apapun. Lalu tiba-tiba, dirasakannya air matanya sendiri terusap. Sesuatu yang lembut mengusap pipinya, menghapus air matanya.

Karena tidak bisa melihat, ia coba meraih tangan yang mengusap air matanya. Baru saat itu lah ia lihat wanita yang berdiri menatapnya. Perlahan, ia gerakan kelopak matanya, pelan-pelan dapat dilihatnya sekelilingnya. Seorang wanita dengan pakaian biru lembut hampir putih berdiri memperhatikannya. Cahaya silau yang membuatnya merasa buta ternyata lampu di langit-langit ruangan.

Lisa putar kepalanya, menoleh dengan kecepatan penuh yang ternyata selambat siput. Lehernya terasa kaku, tubuhnya terasa luar biasa nyeri dan wanita dengan pakaian biru tadi menyuruhnya untuk tidak bergerak. "Nyonya Kwon, jangan panik, kau ada di rumah sakit," samar-samar ia dengar wanita tadi bicara.

Kini tenggorokannya tercekat. Serak tidak bisa mengatakan apapun. Kemudian di dengarnya pintu terbuka, dilihatnya beberapa orang wanita lainnya datang mendekat. Dokter yang merawatnya seorang wanita, bukan orang yang ia kenal. Tubuhnya diperiksa dan wanita itu bilang keadaannya sudah lebih baik. Lisa hanya perlu beberapa hari lagi untuk pulih.

"Telepon walinya, katakan kalau Nyonya Kwon sudah sadar," perintah sang dokter, yang hanya bisa Lisa tatap tanpa mengatakan apapun. Suaranya tidak mau keluar dan sekujur tubuhnya terasa nyeri. Ia berharap seseorang mau memberinya minum sekarang. Tenggorokannya terasa begitu kering, begitu gatal. Ingin ia utarakan permintaannya, namun hanya suara-suara aneh yang bisa dikeluarkannya. Suaranya terlalu serak untuk bisa disebut bicara, untuk bisa menyampaikan maksudnya lewat kata-kata.

Beberapa saat kemudian ia ditinggalkan sendirian. Ia diminta untuk beristirahat tanpa seseorang pun menjelaskan alasannya berada di sana. Alasannya merasa sangat sakit dan alasan ia tidak bicara. Dalam kesendirian, ia terus gerakan mulutnya, ia gerakan lidahnya, ia coba untuk bicara. Suaranya yang serak sangat tidak layak untuk di dengar. Bahkan ia sendiri tidak bisa memahami kata-kata yang diucapkannya.

"Mi- Song Mino!" akhirnya Lisa bisa bersuara seperti manusia normal ketika pintu kamar rawatnya tiba-tiba di buka. Gadis itu terkejut, kesal sekaligus senang karena panca inderanya seolah baru saja kembali berfungsi. Ia lihat Mino yang datang setelah berlari dari tempat parkir, menghampirinya di ranjang kemudian memeluknya.

"Terima kasih," kata Mino dalam pelukannya. "Kau baru saja menyelamatkan hidupku, terima kasih," katanya berulang-ulang, meski Lisa merintih kesakitan.

"Ah!" Lisa menjerit ketika pria itu tiba-tiba melepaskan pelukannya, menjatuhkannya kembali ke atas bantal, ke atas ranjang rumah sakit. Ia mengerang kesakitan, membuat lawan bicaranya kembali panik, kembali memanggil dokter untuk memeriksa Lisa.

Setelah diperiksa untuk kedua kalinya, setelah ia merasa lebih tenang, Song Mino baru menjelaskan semua yang membuatnya penasaran. "Boss akan membunuhku kalau kau tidak segera sadar," kata Mino mengawali penjelasannya. "Karena bajingan-bajingan itu, kau harus dioperasi. Beberapa tulangmu patah, jari-jarimu patah, ada pendarahan di kepalamu, jangan tanya soal luka dan memar, banyak sekali! Bahkan vaginamu juga perlu di operasi! Aku pikir kau akan mati!" serunya, membuat Lisa merasakan nyeri disekujur tubuhnya. Kembali merasa ngeri setelah ia mengingat apa yang terjadi padanya— dilecehkan, diperkosa dan disiksa hampir selama dua hari.

"Kalau aku hamil, aku ingin-"

Mino menggeleng, membuat Lisa berhenti bicara. Pria itu kini memalingkan wajahnya, sembari mengigit bibirnya, pria itu berkata, "ada masalah di rahimmu, aku tidak memahaminya, tapi Boss menandatangi surat pernyataan untuk mengangkatnya," katanya setelah ia siap menerima reaksi Lisa. Merasa Lisa pasti akan hancur, akan marah, setidaknya gadis itu pasti akan menangis karenanya.

"Jadi, kalian mengambil rahimku?" tanya Lisa untuk memastikan kebenaran dari ucapan Mino.

"Kami tidak punya pilihan lain, kau mungkin mati kalau-"

"Bagus lah," potong Lisa yang langsung berpaling, ia tekan ujung matanya, memastikan tidak ada air mata yang keluar dari sana sembari menghindari tatapan Mino. Ia ingin menangis, namun berusaha menahannya. "Setidaknya aku tidak perlu membunuh bayi lagi, tidak apa-apa," katanya, yang juga tidak bisa berterima kasih. Lisa kemudian menutup matanya dengan lengannya. Ia tutupi setengah wajahnya, menangis dalam kesunyian sedang Mino hanya bisa mengusap-usap punggung tangan Lisa, sedikit menenangkannya.

Sama seperti saat dirinya melihat Jiyong menangis— untuk pertama kalinya— Mino tidak melakukan banyak hal untuk menenangkan Lisa sekarang. Pria yang tidak menangis ketika ayah dan pamannya meninggal itu, menangis saat harus menandatangi surat-surat persetujuan operasi Lisa. Menangis ketika ia harus memutuskan untuk mengangkat rahim Lisa atau membiarkannya tetap terluka.

"Dimana dia sekarang?" tanya Lisa setelah beberapa menit menutupi wajahnya.

"Siapa?"

"Jiyong."

"Ah... Boss? Aku dilarang memberitahumu, maaf," gelengnya.

"Dia tidak ingin aku menemuinya?" tanya Lisa sekali lagi dan dengan senyum yang dipaksakan, Song Mino menganggukan kepalanya.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang