***
Ia menatap pria di sebelahnya dengan satu alis terangkat. Keduanya berada di dalam sebuah hotel sekarang, di dalam kamar mewah yang punya beberapa ruang tidur. Tidak hanya ada mereka berdua di sana, di balkon ada Jiyong yang sedang melakukan panggilan video dengan seorang bayi. Di sofa beberapa pria dengan pakaian serba hitam tengah bermain kartu, berjudi dengan beberapa uang receh. Di mini bar dalam kamar itu juga ada sekelompok laki-laki, berdiri menyeduh kopi sembari menyiapkan minuman-minuman lainnya, mereka adalah sekelompok pesuruh.
"Apa?" bingung Mino yang kini melepas jaketnya, menyampirkannya ke sandaran sofa. "Dia pasti tidak ingin kembali ke Poppy Island, siapkan tempat kerjanya di Kokaina Hill- aku sudah bilang Boss bilang begitu, iya kan?" tanya Mino menjawab kebingungan Lisa.
"Dan semua orang ini?"
"Orang yang akan membantumu membuat barangnya."
"Dimana?"
"Di sini."
"Dia juga akan tinggal di sini?"
"Tidak," geleng Mino setelah melihat Lisa menunjuk Jiyong dengan dagunya. "Boss hanya di sini karena punya pertemuan dengan kliennya. Ini rumahnya, maksudku dia tinggal di sini setiap kali berkunjung ke sini," tenang pria itu yang lantas menunjuk sebuah pintu di sudut dekat dapur bersih yang pastinya tidak pernah digunakan. "Itu kamarmu, di sebelahnya kamar Boss dan jangan masuk ke sana apapun alasannya- heish kau pasti masih ingat aturannya, bukan? Untuk apa lagi aku menjelaskannya," acuh Mino. Kini ia langkah kan kakinya mendekati balkon, mengetuk untuk memberitahu Jiyong kedatangannya yang sangat terlambat.
Selepas menoleh, Jiyong hanya menggerakkan tangannya. Ia suruh Mino melangkah keluar, ke balkon menghampirinya. Lantas ditunjukannya layar handphonenya. Menunjukan gambar bayi yang menggeliat di layar handphone itu. "Ternyata dia sakit," katanya setelah Mino melihat gambar bayi itu. "Kanker, cari ibunya, karena sewaktu-waktu dia mungkin akan membutuhkannya," susulnya.
"Siapa ibunya, Boss?" Mino bertanya, membuat Jiyong langsung menoleh padanya, menatapnya dengan alis bertaut. "Ah... Rose? Dia anak keduamu?" tebak Mino namun Jiyong masih menatapnya dengan tatapan malas khasnya. "Dia anakmu yang pertama?" Mino menebak sekali lagi dan kali ini Jiyong baru berpaling, menoleh ke arah ruang tengah kamar hotel itu, melihat Lisa yang masih berdiri risih di sebelah sofa.
Jiyong kemudian mengetuk pintu kaca pembatas balkon itu, menarik perhatian seorang pria yang sedang berjudi. Setelah bertukar tatap dengan pria berambut pirang itu, Jiyong tunjuk Lisa dengan tangannya. Ia suruh si pirang memanggilkan Lisa untuknya. Kini Lisa yang menoleh dan tanpa membuka mulutnya, Jiyong hanya menunjuk pintu kamar Lisa. Ia suruh Lisa masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan apapun. Hanya dengan gerakan tangan yang terasa menyebalkan bagi Lisa.
"Jadi Boss, apa yang harus aku lakukan kalau aku menemukan ibunya? Membawanya ke rumah sakit?" tanya Mino sebab kini Jiyong kembali memperhatikannya.
"Urus saja dengan dokternya. Satu yang pasti, aku ingin anak ini tetap hidup. Bagaimana pun caranya," perintah Jiyong.
Mino mengangguk pasrah meski sebenarnya mengurus anak bukanlah tugasnya. Jiyong mengirim anak-anaknya ke panti asuhan. Ia menyumbang banyak uangnya ke panti asuhan itu, meminta orang-orang disana untuk merawat putranya. Namun pria itu tidak pernah mau terlibat langsung, selalu Mino yang ia suruh untuk melakukan tugas-tugas melelahkannya- seperti terbang dari Poppy Island untuk menjemput Lisa dan mengantarnya ke Kokaina Hill.
Lisa berada di dalam kamarnya setelah Jiyong menyuruhnya begitu. Gadis itu duduk di ranjang single, di dalam kamar luas yang punya satu lagi ranjang single. Kamar itu untuk dua orang dan Lisa tidak tahu siapa yang akan jadi teman sekamarnya. Ia berharap orang itu bukan pria, namun hanya ada pria yang dilihatnya di sana.
Tidak ada barang-barang yang bisa Lisa bongkar. Gadis itu membawa beberapa koper pakaian, namun semuanya ia tinggalkan di dalam mobil. Sebentar, gadis itu bersyukur karena ia membawa mobilnya sendiri, karena sekarang ia pun punya uang untuk menyewa kamarnya sendiri. Di tengah rasa syukurnya, juga angan-angan akan rencananya selama bekerja dengan Jiyong, pintu kamar tidur itu di ketuk. Hanya beberapa ketukan singkat dan pintunya langsung terbuka. Asisten Song yang masuk.
"Ini juga kamarku," kata Mino, yang juga menutup pintu di belakangnya. Ia tunjuk ranjang yang Lisa duduki kemudian mengatakan kalau itu adalah ranjangnya. "Waktumu dua minggu untuk menyelesaikan obatnya," susulnya kali ini sembari mendudukan bokongnya di ranjang lain di depan Lisa. "Semua orang yang ada di sini yang akan membantumu, aku dan Boss hanya akan berkunjung sesekali, telepon aku atau Boss kalau kau butuh sesuatu. Kemudian, pria dengan rambut pirang di luar tadi, Mark Lee, dia kepala pabrik yang menggantikanmu-"
"Wah... Kau menempatkanku di antara orang-orang yang memusuhiku?" potong Lisa dan Song Mino menaikan bahunya.
"Bukankah selama ini kita hidup seperti itu?" santai Mino selepas menaikan bahunya. "Kau akan membutuhkannya. Selama dua minggu, kau dilarang keluar dari sini," susul pria itu mengatakan aturannya. "Ada orang yang berjaga didepan pintu, kalau kau memaksa keluar, kau bisa pergi lewat jendela."
"Ini lantai tiga puluh Song Mino!"
"Ya, maksudnya kau harus mati kalau mau keluar dari sini sebelum dua minggu, sebelum obatnya selesai," pria itu masih terdengar tenang. "Tapi meski mati, aku yakin Boss akan mengejarmu sampai ke neraka, karena kau menggagalkan lagi urusannya. Lalu menghidupkanmu lagi, agar urusannya tetap selesai," tambahnya, jelas mengancam.
"Lalu setelah obatnya selesai?"
"Aku tidak lagi membutuhkanmu?" Mino menjawabnya dengan pertanyaan lainnya. "Kau bisa membicarakannya dengan Boss, apa yang dia inginkan lagi darimu," susulnya, yang kemudian berpamitan. Ia katakan pada Lisa gadis itu bisa mulai bekerja malam ini atau besok pagi. Tapi dua minggu lagi, Lisa sudah harus memiliki barang yang mereka inginkan. Ia juga harus memastikan barang itu bisa diproduksi secara masal oleh pria-pria di ruang tengah. Tugas Lisa bukan hanya membuat obatnya, tapi juga mengajari orang-orang di luar membuat serbuk memabukan itu.
"Omong-omong," Mino kembali bicara setelah menunggu Lisa yang ternyata tidak mengatakan apapun. "Kau punya anak?" tanyanya dan kali ini Lisa menggelengkan kepalanya, seolah tidak ada hal buruk dimasa lalu, seolah pertanyaan itu tidak membangkitkan lagi ingatan-ingatan lama yang menyakitkan.
"Kau benar-benar mengugurkan bayimu dengan Boss?"
"Aku sudah memberikan janinnya pada Boss."
"Bagaimana bisa?"
"Aku keluarkan dari perutku lalu kuberikan padanya?"
"Gila! Sungguhan?"
"Kalau tidak segila itu, dia tidak akan memperlakukanku begini, bukan begitu?"
"Wanita gila, apa yang aku harapkan dengan bertanya padamu. Lupakan, aku tidak jadi bertanya padamu," kesal Mino, yang selanjutnya bangkit dari duduknya lantas melangkah meninggalkan kamar itu setelah ia berpesan agar Lisa tidak membuka lemarinya. Mulai hari ini, Lisa resmi dikurung di dalam kamar hotel itu dengan sepuluh pria yang terlihat keji di bersamanya. Dan bukan hanya Lisa, kesepuluh pria itu pun tidak diizinkan untuk pergi sampai barang yang Jiyong inginkan bisa mereka produksi tanpa gangguan. Kapan sebenarnya gadis itu bisa keluar dari neraka?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing In The Hell
Fanfiction"...jangan melakukannya, kau akan masuk neraka!" katanya, begitu kata mereka. Kenapa aku harus takut akan masuk ke neraka? Aku sudah hidup di sana, seumur hidupku.