31

386 85 6
                                    

***

Jung Hoseok mengiriminya sekotak foto. Foto yang selama ini ia kumpulkan untuk menghancurkan Jiyong. Foto yang sudah diambil sejak beberapa waktu lalu, sejak perceraian mereka. Dalam kotak itu ada banyak sekali foto, mulai dari foto Jiyong di depan beberapa gedung dengan mobilnya, foto Song Mino bersama Lisa di bandara, di pelabuhan, sampai di depan hotel, juga foto-foto Jiyong ketika membantu Lisa dengan mejanya.

Seolah ingin menunjukan pada Lisa apa sebenarnya pekerjaan Kwon Jiyong itu, Hoseok mengirim semua bukti kejahatan yang Jiyong lakukan. Hanya bukti-bukti tidak langsung yang akhirnya tetap gagal memenjarakan Jiyong. Namun beberapa lembar foto seharusnya tidak ada di sana. Beberapa foto harusnya tidak ia tunjukan pada Lisa. Foto pria pirang yang menghancurkan hidup Lisa juga ada di sana. Bukan hanya satu, tapi beberapa. Foto pria pirang itu sebelum memperkosa dan menganiaya Lisa, juga foto pria pirang itu masih hidup setelah menyiksanya.

Ada sebuah foto yang diambil di lorong bar. Dalam foto itu, hanya punggung Jiyong yang terlihat. Jiyong sedang melangkah, seolah akan masuk ke dalam sebuah ruangan dengan pintu kayu. Fokus fotonya pada punggung Jiyong, juga pada wajah seorang wanita yang sudah lebih dulu berada di dalam ruangan berpintu kayu itu. Namun jauh di sudut lorong, terlihat si pirang berdiri dengan pakaian pelayanannya, menatap ke kamera seolah ia sedang melihat Jung Hoseok yang mengambil gambar itu. Ada tanggal di setiap sudut fotonya. Tanggal juga waktu foto itu diambil, dan baru saat itu lah Lisa tahu kalau orang-orang yang melecehkannya masih hidup.

Entah apa yang Jiyong pikirkan, tapi bagaimana ia bisa membiarkan orang-orang itu tetap hidup? Dari semua orang yang bisa dengan mudah ia lenyapkan, kenapa justru orang-orang biadab itu yang dibiarkannya hidup?— Lisa tidak bisa memahaminya. Rasanya ia baru saja dipaksa menelan sebuah pengkhianatan.

"Tahan," tenang gadis itu. Berusaha sekeras tenaga untuk menahan ledakan dalam dirinya. "Tahan Lisa... Jiyong pasti punya alasan. Kau harus menahannya, dia pasti punya alasan membiarkannya hidup," ulangnya, berkali-kali hingga dadanya jadi semakin sesak. Sangat sesak dan tidak lagi tertahankan.

Saking sesaknya, gadis itu membawa lembar-lembar foto itu, meremasnya untuk kemudian membawanya ke rumah Jiyong. Dengan mobil yang amat jarang dikemudiannya, ia pergi ke rumah itu. Sayang, setibanya di sana, penjaga mengusirnya. "Aku pernah tinggal di sini! Biarkan aku masuk!" seru gadis itu namun tidak seorang pun peduli. Jiyong tidak menerima tamu di rumahnya dan Lisa bukan gadis pertama yang datang ke sana. Para penjaga itu tahu, mereka akan dipecat jika membiarkan sembarang orang masuk.

"Telepon Boss kalau kau memang diizinkan masuk olehnya," suruh seorang penjaga keamanan di rumah itu, pria yang bersikeras tidak membiarkan Lisa masuk.

Seperti kata penjaga itu, Lisa menelepon Jiyong. Sialnya pria itu tidak menjawab panggilannya. Berkali-kali Lisa menelepon tapi Jiyong tidak menjawabnya. Berkali-kali gadis itu berseru namun tidak seorang pun memberinya izin untuk masuk. Kelas bela dirinya sia-sia jika dihadapkan dengan anak buah Jiyong yang menjaga pintu itu.

Tiga puluh menit Lisa berusaha untuk masuk, namun sia-sia. Sampai tubuhnya lelah, sampai emosi tidak lagi tertahankan, gadis itu tetap tidak bisa masuk. Yang bisa ia lakukan hanya kembali ke mobil, mencari cara untuk menemui Jiyong namun hasilnya nihil. Baik Jiyong maupun asistennya, tidak satupun dari mereka menjawab telepon apalagi membalas pesannya. Entah apa yang sedang dilakukan kedua pria itu.

Frustasi kemudian membuatnya menangis, luar biasa marah sampai ia memukul roda kemudi mobilnya sendiri. Di dalam mobil gadis itu menjerit, namun kemarahan sama sekali tidak berkurang. Sudah lama sekali ia tidak semarah sekarang. Meski sudah beberapa waktu berlalu, kemarahan itu sama sekali tidak berkurang. Sekeras apapun ia berusaha, amarahnya tidak juga reda. Dokternya bilang untuk menghitung sampai lima, untuk meredakan sedikit amarahnya, menunda sebentar ledakannya, memberi waktu kepalanya untuk berfikir— namun meski sampai seratus gadis itu berhitung, emosinya masih tetap sama.

"Akan aku buat kalian menyesal," dendamnya, tidak lagi berusaha menahan dirinya.

Gadis itu lantas mengemudi pulang. Sebelum tiba di rumah, ia mampir ke sebuah apotek. Ia beli beberapa obat di sana, dan melaju lagi ke rumahnya. Lalu, begitu ia tiba di lantai unit apartemennya, di lihatnya Jung Hoseok berdiri di depan pintunya, terus menekan bel rumahnya. Di depan lift gadis itu membeku, menarik perhatian Hoseok dengan suara dari pintu liftnya.

Mereka sempat bertatapan, Lisa rasakan dingin di sekujur tubuhnya. Ia masih membeku ketika Hoseok mendekat, namun pria itu tersenyum, membuat Lisa semakin gugup karenanya. "Lama tidak bertemu, sayang," sapa pria itu, yang berjalan menghampiri Lisa dengan senyum yang terlihat mengerikan bagi Lisa. "Kau terlihat kurus, kau baik-baik saja?" tanyanya, tepat berdiri di depan Lisa kemudian mengulurkan tangannya untuk menarik gadis itu masuk ke dalam pelukannya.

Ia harusnya mengatakan sesuatu. Ia harusnya menjauhi pria itu. Namun tubuhnya justru tidak mau bekerja sama. Sembari menahan diri untuk tidak menjerit, gadis itu diam saja, berdiri kaku meski Jung Hoseok membawanya masuk ke dalam dekapannya.

"Aku harus pergi," bisik Lisa akhirnya bicara. Akhirnya, satu anggota tubuhnya mau diajak bekerja sama.

Pelukan Hoseok jadi semakin keras, membuat Lisa harus mendorong pria itu. Tentu pria itu menolak, mengatakan kalau ia merindukan Lisa. Sangat merindukan Lisa hingga rasanya kepalanya akan meledak, hingga rasanya ia akan gila karenanya.

Lisa yang terus menolak, sama sekali tidak membalas pelukan Hoseok, akhirnya membuat pria itu geram. Diremasnya bahu Lisa yang terus menghindar, lantas dijejalinya wanita itu dengan berbagai pertanyaan menyudutkan— "kenapa kau meninggalkanku? Karena Kwon Jiyong sialan itu? Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Kau pikir kau bisa bahagia dengannya setelah melakukan semua ini padaku? Kau tidak akan pernah bahagia Lisa, tidak akan pernah! Gadis menyedihkan sepertimu selamanya akan terus begitu! Kau tidak akan pernah bahagia! Tidak ada yang mencintaimu sebesar cintaku untukmu, kau sudah melakukan kesalahan dengan pergi dariku, kau tahu itu?!" sembari menyudutkan Lisa dengan kata-katanya, Hoseok juga melukai mantan istrinya itu.

Untungnya gedung apartemen itu ramai, setidaknya lebih ramai daripada kompleks rumah mereka di Bellis. Beberapa tetangga yang melihat Lisa didorong ke dinding juga ditampar di lorong menelepon petugas keamanan dari rumah mereka, sebagiannya juga menelepon polisi.

Lisa tahu ia harus membalas, namun berbagai ingatan, berbagai trauma membuat tubuhnya gemetar. Ada banyak pikiran yang tumpang tindih di kepalanya. Ada banyak ingatan yang saling dorong, berdesakan di dalam kepalanya. Saking ramainya isi kepala itu, Lisa merasa kalau dirinya tuli. Kepalanya berhenti bekerja sampai seorang wanita menariknya menjauhi Hoseok.

Lisa tidak mengenali wanita itu, satu yang ia tahu wanita itu tinggal di lantai yang sama dengannya. Mungkin jarak rumah mereka hanya tiga pintu namun Lisa tidak mengenalnya secara pribadi. Wanita itu penyendiri, seorang yang bahkan tidak peduli saat melihat tetangganya kesulitan membawa belanjaan mereka. Seorang wanita yang enggan berbasa-basi bahkan menyapa tetangganya.

"Aku sudah menelepon polisi! Hentikan!" serunya, yang menarik Lisa ke belakang punggungnya, menunjukan handphonenya yang tengah melakukan panggilan dengan layanan darurat lantas tanpa berbalik mendorong Lisa masuk ke dalam apartemennya dan menutup pintunya.

Sama seperti Lisa, wanita penyendiri itu juga punya beberapa kunci di pintunya. Ia pasang semua kunci pintunya, kemudian merosot turun, duduk di lantai setelah Hoseok tidak lagi terlihat oleh mereka. Gadis itu gemetar ketakutan, sama seperti Lisa ketika para pria biadab di Kokaina Hill melecehkannya.

Di luar Hoseok belum pergi. Pria itu mengetuk pintu rumah si penyelamat, awalnya ketukan-ketukan normal yang lama kelamaan menjadi sebuah pukulan keras. Mendengar pukulan-pukulan Hoseok di pintu apartemen itu, si penyelamat meringkuk sembari menutup telinganya, luar biasa ketakutan seolah sikap Hoseok membawakan ingatan traumatis baginya. Sedang Lisa hanya berdiri, kaku bak manekin, memperhatikan segalanya tanpa bisa memikirkan apapun. Berharap kalau ia benar-benar sebuah manekin yang tidak perlu merasakan apapun lagi.

"Lalisa! Buka pintunya! Lisa! Cepat buka pintunya! Aku mencintaimu, Lisa! Kau harus membuka pintunya! Kau harus membiarkanku mencintaimu! Hanya aku yang mencintaimu! Cepat keluar Lalisa!" bentak Hoseok dari balik pintu itu. Terus berteriak sampai akhirnya beberapa polisi menyeretnya pergi.

Hari ini adalah hari dimana Lisa kehilangan dirinya sendiri. Ia tidak tahu kapan pastinya jiwanya mati, mungkin saat ia melihat foto si pirang di setumpuk foto-foto lainnya. Mungkin juga saat ia diusir dari rumah Jiyong. Atau disaat Hoseok berteriak dan menamparnya di lorong apartemen, Lisa tidak tahu. Satu yang ia tahu pasti, ia tidak lagi bisa bertahan hidup.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang