18

447 103 4
                                    

***

Sembari merangkak, Lisa membuka kunci kamar mandi itu. Kini, Jennie melangkah masuk, langsung memeluknya setelah ia pun mendengar suara-suara pukulan yang Jiyong lakukan pada Jung Hoseok. "Aku membayar seseorang untuk membuat suamiku mau bercerai," bisik Lisa, balas memeluk teman yang merawatnya setelah ia hampir mati karena suaminya.

Kecuali bagian ia sudah lama mengenal Jiyong dan gang-nya, Lisa menceritakan segalanya. Ia katakan pada Jennie kalau Nayeon membawa narkoba ke rumahnya, memanggil para gangster itu ke rumahnya, bertengkar dengannya sampai akhirnya ia dibiarkan bebas setelah memberikan apa yang gangster itu inginkan. Lisa selamat sebab katanya ia merebut USB dari Nayeon dan memberikannya pada pria-pria mengerikan itu.

"Aku merasa hidupku akan berakhir kalau terus bersamanya," kata Lisa setelah ia menangis dan menceritakan segalanya. "Aku ingin hidup sebagai istri pilot lebih lama lagi, aku tidak ingin diremehkan orang-orang karena bukan siapa-siapa, tapi dunia Jung Hoseok terlalu mengerikan. Aku tidak bisa hidup lebih lama bersamanya," ceritanya.

Jennie menenangkannya, namun ia tidak bisa benar-benar memahami cerita Lisa yang sangat dramatis itu. "Lalu, bagaimana kau membayar pria-pria itu?" tanya Jennie setelah Lisa menyelesaikan ceritanya yang amat dramatis.

"Aku menemukan catatan yang suamiku simpan," kata Lisa. "Aku menukar catatan itu dengan surat cerainya. Aku tidak meminta mereka memukuli suamiku, aku hanya ingin bercerai. Aku hanya meminta mereka membuatnya menandatangani surat cerai itu," susulnya setengah berbohong, sebab ia tidak pernah menyinggung soal buku besar suaminya. Tidak pernah ia katakan kalau Kapten Jung memukulinya karena buku besar itu. Sebuah USB berisi catatan yang Hoseok sembunyikan bersama Nayeon, di dalam tas jinjing milik gadis itu yang tertinggal di rumahnya.

Malam harinya, Lisa bertemu dengan Jiyong. Sekali lagi, mereka bertemu di bandara, tepat sebelum Jiyong terbang lagi ke Poppy Island. Jennie mengantarnya, namun Lisa melarang Jennie untuk ikut bergabung di cafe tempat mereka bertemu. Jangan sampai gadis baik itu bertemu dengan Jiyong dan gang-nya.

Saat datang, ia lihat Jiyong sudah menunggunya. Pria itu datang lebih dulu daripadanya, lebih dulu duduk di cafe sembari mengganti perban di tangannya. Buku-buku jarinya terluka karena bergesekan dengan kulit Hoseok. Bahkan Pengacara Kang bilang, Kapten Jung mengalami beberapa fraktur di rahang juga rusuknya. Jiyong memakai seluruh tenaganya, seluruh amarahnya, untuk melukai pria itu.

Lisa hanya diam sementara menunggu Jiyong selesai dengan perbannya. Ia mengganti perban putih yang sudah kotor dengan beberapa plester cokelat untuk menutupi sedikit memar di punggung jarinya. Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Jiyong menundukan kepalanya sembari mengobati lukanya dan Lisa duduk di depannya, memperhatikan bagaimana cara pria itu mengobati lukanya sendiri. Tidak satupun dari mereka membuka mulut, tidak satupun bicara.

"Dia menandatanganinya?" tanya Lisa, setelah Jiyong selesai dengan luka-luka kecil di punggung jarinya.

"Tidak," tenang Jiyong, yang malam ini duduk sendirian sebab Song Mino dan orang-orangnya punya kesibukan lain. Pria itu menggeser sebuah amplop cokelat. Amplop yang sudah melengkung, sedikit terlipat sebab tadi Jiyong memasukannya ke dalam saku celananya.

Ada surat cerai di dalam amplop tadi, yang ujung-ujungnya kotor karena darah. Jung Hoseok tidak menandatangani surat cerai itu, ia memberikan cap ibu jarinya di sana. Pria itu tidak mampu untuk menandatangani suratnya, maka Pengacara Kang menggerakan tangannya untuk memberikan cap jarinya di sana. Suratnya tetap sah meski tidak ada tanda tangan Jung Hoseok di sana.

"Apa dia masih hidup?" tanya Lisa setelah yakin kalau dirinya bisa memakai surat cerai itu untuk mendapatkan setengah harta suaminya.

"Kau berharap dia mati?" balas Jiyong, yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lainnya. Lisa diam saja, masih menunggu pria itu bicara. "Dia tidak akan mati semudah itu," kata Jiyong selanjutnya.

"Atas dasar apa kau bilang begitu? Kau biasa memukuli orang sampai mati," pelan Lisa, membuat Jiyong langsung mengangkat kepalanya, melirik sinis pada gadis di depannya. "Asisten Song yang bilang," tambahnya, masih sama pelannya.

"Kenapa kau melarikan diri dari rumah kalau akhirnya diperlakukan seperti itu? Kau tidak malu?" lagi, Jiyong balas bertanya. "Apa kau sangat menyukai uang? Sampai rela dipukuli dan diperkosa suamimu sendiri? Atau kau sangat ingin punya suami seorang pilot sampai rela diperlakukan begitu?" tanyanya.

"Siapa yang tahu kalau setelah kabur dari neraka, aku masuk ke neraka lainnya?" balas Lisa sama sinisnya. "Kalau dulu aku diseret ke sekolah bukan ke motel, kalau dulu aku pergi ke kampus bukan ke pabrik, kalau dulu hukuman untukku membuat makalah atau mengerjakan soal matematika, bukannya dipukuli, mungkin aku bisa pergi ke tempat yang lebih baik, bukan begitu? Apa yang kau harapkan dari hidupku? Menjadi guru atau dokter? Atau bertemu seorang malaikat? Bagaimana caranya? Seumur hidupmu, kau hanya akan bertemu orang-orang sepertimu," katanya.

"Kalau tahu begitu kenyataannya, kenapa kau tidak kembali saja? Padahal aku menunggumu," tanya Jiyong sekali lagi.

"Kau tidak tahu alasannya? Sungguh?" Lisa menatap Jiyong yang duduk di depannya. "Karena kau sama seperti Paman. Kalian menyayangiku, tapi juga membenciku. Kalian menjadikanku alat untuk menakut-nakuti yang lainnya— lihat, aku bahkan bisa menghukum bayi cantikku, jadi jangan lakukan kesalahan, aku bisa menghukummu juga— bukan begitu? Bahkan aku muak mendengar kalian memanggilku begitu," Lisa mengeluhkan apa yang tidak pernah ia ungkapkan sebelumnya.

Tentu terasa menusuk bagi Jiyong, namun pria itu berlaga hatinya baik-baik saja. Ia tetap diam di kursinya, mendengarkan Lisa seolah cerita itu tidak akan pernah mengganggunya. "Kau pikir, kau lebih baik daripada Jung Hoseok? Tidak, kau, pamanmu, bahkan ayahmu, kalian berempat sama saja bagiku, kalian bajingan jahat yang ingin membunuhku," tambah Lisa seraya bangkit dari duduknya.

"Kau jadi banyak bicara sekarang," gumam Jiyong, membuat Lisa yang akan melangkah pergi kembali menghentikan gerak kakinya. Gadis itu menoleh, menatap sinis pada Jiyong dengan matanya yang masih memar meski tidak separah sebelumnya. "Tapi apa gunanya? Semuanya hanya alasan," pria itu balas menatap Lisa.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang