***
Bagi Jung Hoseok, waktu rasanya baru saja berhenti. Tidak ia percaya dirinya akan melihat mantan istrinya di sana, melangkah bersama musuhnya dan kelihatan begitu dekat di matanya. Di mata Hoseok, mantan istrinya terlihat sangat muda, sangat mempesona, sangat manis juga cantik dengan penampilannya sekarang. Sayangnya, bukan penyesalan yang datang. Tidak pernah ia sesali sikapnya yang membuat Lisa terluka. Alih-alih menyesal pria itu justru merasa marah, luar biasa marah karena telah kehilangan istri sempurnanya.
Sembari menahan marah, ia ikuti dua orang itu. Mengemudi sembari meremas kuat-kuat roda kemudi mobilnya. Jung Hoseok tidak tahu apa yang terjadi di dalam mobil karena kaca mobil itu terlalu gelap, hingga akhirnya dugaan-dugaan memenuhi kepalanya. Ia bayangkan mereka berdua bercengkrama di dalam mobil, saling mengusap, tersenyum dan tertawa, memuji satu sama lain. Ia bayangkan Lisa mencondongkan tubuhnya untuk mencium pipi Jiyong, kemudian mereka bergandengan tangan selama perjalanan. Semuanya hanya angan-angan Hoseok, sebab kenyataannya tentu tidak begitu.
Kenyataannya, Jiyong berkendara dalam diam, begitu pun dengan Lisa yang juga menutup mulutnya. Keduanya hanya menatap pada jalanan, hampir tidak ada obrolan sebab Lisa pun tidak perlu memberitahu Jiyong jalan menuju rumahnya. Selain karena navigasi mobil, Lisa pikir Jiyong sudah hafal semua jalan di Poppy Island, bahkan jalan-jalan yang tidak terdeteksi oleh navigasi.
"Tidak aku sangka, aku akan mengajakmu ke rumahku," kata Lisa sembari bersandar pada kursi tempatnya duduk. "Aku tidak ingin dekat-dekat denganmu lagi, tapi saat mengingatmu, rasanya aku ingin terus menemuimu. Aku ingin kau melihatku, aku ingin memamerkan hidupku padamu. Lihat, aku hidup dengan baik sekarang. Aku bisa melakukan banyak hal tanpamu. Aku bisa berdiri di depanmu dengan sangat percaya diri. Aku terus ingin memamerkan hidupku padamu," ceritanya. "Aku memberitahu dokterku tentang perasaanku, tapi dia tidak banyak membantu. Dia menyuruhku untuk terus menemuimu, karena katanya kau bisa membantuku untuk cepat sembuh, karena katanya, tanpa sadar aku mungkin menganggap sebagai keluargaku, satu-satunya keluargaku. Seandainya dia tahu siapa kau sebenarnya, aku yakin dia tidak akan bilang begitu."
"Kenapa kau pergi ke dokter kalau tidak bisa memberitahunya segalanya? Beritahu dia tentang semuanya, kalau kau benar-benar butuh bantuan."
"Semuanya? Termasuk semua rahasiaku, rahasiamu, juga tentang Paman? Harus aku bilang padanya— dokter, pria yang aku ceritakan itu bukan orang baik. Dia bisa memukuli orang sampai mati. Dia bisa membunuh siapapun. Dia menjual barang-barang yang seharusnya tidak dijual. Dia penjahat yang belum tertangkap. Dia orang di balik puluhan kasus beku di kantor polisi— harus aku katakan itu padanya? Lalu dia akan melaporkan kita berdua."
"Aku tidak keberatan tinggal di penjara," santai Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya.
"Aku yang keberatan. Beberapa orang mungkin harus mati kalau kau pergi ke penjara," balas Lisa sama tenangnya. "Aku ingat kau membunuh tiga orang ketika pertama kali dipenjara. Paman bilang itu untuk menunjukan kekuasaanmu di sana, tapi apapun alasannya, aku tidak pernah menyukainya," kata Lisa sembari menggelengkan kepalanya. "Saat kita kecil, sebenarnya kau sama sekali tidak menyeramkan. Kau kurus dan selalu terluka. Ada saat-saat dimana aku merasa lebih kuat darimu. Tapi semakin banyak orang yang kau bunuh, semakin kotor tanganmu, kau terlihat semakin menyeramkan. Saat tinggal bersamamu, aku selalu gugup, khawatir kau akan jadi psikopat. Aku khawatir kau akan merasa senang setelah membunuh orang," dengan nada bicara yang datar dan tenang gadis itu terus bercerita.
Mereka kemudian tiba di rumah Lisa. Tidak ada tempat parkir di gedungnya, Jiyong harus memarkir mobilnya di depan gedung, kemudian membawa meja buatan Lisa dari sana. Gadis itu yang memimpin langkah mereka, mendahului Jiyong untuk membukakan pintu lift juga pintu rumahnya.
Tidak ada banyak orang yang mereka temui sepanjang perjalan menuju rumah Lisa. Hanya seorang petugas keamanan yang menjaga di sebelah pintu utama, seorang pria paruh baya yang menyapa Lisa ketika mereka lewat. Bahkan di dalam lift, tidak ada seorang pun di sana. Sampai akhirnya lift itu tiba di lantai tempat Lisa tinggal. Unit apartemen Lisa berada di sebelah lift, tempat itu jauh lebih nyaman daripada yang Jiyong bayangkan.
"Taruh mejanya di balkon," pinta Lisa yang berjalan lebih dulu untuk membuka balkonnya. Ia buat sela di antara dua kursinya, meminta Jiyong meletakan meja barunya di sana. "Terima kasih," kata gadis itu setelah Jiyong menata meja dan kursinya, rapi di balkon. "Kapan-kapan aku akan mengundangmu untuk minum kopi di sini, setelah aku lulus kursus barista," santai Lisa, yang bersandar di tepian balkon, memandangi karya seni buatannya.
Melihat bagaimana Lisa tinggal di rumahnya, Jiyong hampir goyah. Haruskah ia singkirkan Jung Hoseok dengan tangannya sendiri atau tetap melanjutkan rencananya. Gadis itu sudah hidup dengan sangat baik sekarang, dan ia akan membuatnya kembali terluka. Namun ketika mengingat berapa banyak uang yang akan ia keluarkan untuk menyingkirkan Hoseok, pria itu kembali membulatkan niatnya. Tidak apa-apa, Lisa hanya akan sedikit terguncang— yakin Jiyong.
"Mau pergi makan sekarang?" tanya Lisa sementara Jiyong hanya diam, terus mengabaikannya.
"Kau tidak mau tinggal bersamaku lagi, ya?" tanya Jiyong dan Lisa memberinya sebuah jawaban dengan gelengan kepalanya.
"Meski nyawaku terancam, aku tidak akan kembali ke rumahmu," tolak Lisa.
"Kalau aku pindah rumah? Rumah baru, bukan rumah itu."
"Tetap saja itu rumahmu, tidak mau."
"Kalau aku yang pindah ke rumahmu?"
"Tidak boleh. Untuk apa kau pindah ke rumahku?"
"Berarti bukan masalah rumahnya, tapi karenaku," santai pria itu seolah perasaannya tidak terluka. Ia memang tidak tersinggung.
"Ah... Kau ingin mengartikannya begitu? Baiklah. Kau boleh berfikir begitu."
"Tentu saja boleh, kau tidak berhak mengatur isi kepalaku," balas Jiyong yang kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Melirik setumpuk novel juga komik yang sebelumnya tidak pernah Lisa miliki. Gadis itu melakukan semua yang tidak pernah bisa ia lakukan sebelumnya. "Kenapa kau membaca semua itu? Bosan?" cibir Jiyong, menunjuk buku-buku yang ditumpuk di lantai dengan kakinya, membuat setumpuk bukunya jatuh berantakan.
"Entahlah, aku kesal membacanya," balas Lisa, yang mengekori Jiyong kemudian mendorong pria itu untuk segera keluar. Agar pria itu tidak mengacak-acak bagian rumahnya yang lain. "Semua bukunya hampir sama, seorang perempuan baik yang berhasil merubah ketua geng. Anak sekolah yang sudah menjual narkoba, orangtuanya jadi donatur di sekolah, dia mendapat nilai sempurna, tapi hampir tidak pernah pergi ke sekolah. Anak sekolah yang sudah jadi CEO tapi dia sangat dingin, lalu dia jatuh cinta pada perempuan paling jelek disekolahnya, atau di cerita lain, dia jatuh cinta pada perempuan paling baik di sekolahnya. Apa kau juga begitu saat sekolah dulu? Tuan gangster?"
"Kau tidak pernah sekolah ya?"
"Jangan mengejek!"
"Kau yang lebih dulu mengejekku."
"Kau benar-benar hidup seperti itu di sekolah?"
"Tentu saja tidak. Siapa yang akan bilang— hei ayahku gangster dan dia menjual narkoba, kalian mau membelinya?"
"Lalu bagaimana kehidupan sekolahmu? Menyenangkan? Tentu saja menyenangkan, kau bertahan di sana sampai lima tahun. Padahal aku selalu membantumu mengerjakan tugas. Rasanya sia-sia membantumu tapi kau tetap tidak naik kelas," cibir Lisa dalam perjalanan mereka kembali ke mobil. "Harusnya Paman menyekolahkanku saja, jangan menyekolahkanmu," susulnya, kembali protes atas kehidupan mereka yang cukup berbeda. Si upik abu dan tuannya.
Pembicaraan yang terdengar akrab itu, bertahan sampai mereka kembali ke mobil. Sampai Jung Hoseok kembali melihat mereka dan semakin geram karenanya. Saking kesalnya, berkali-kali ia pukul roda kemudinya. Ia tahan kakinya untuk tidak menginjak pedal gas lalu menabrak mereka berdua. Ia tahan dirinya untuk tidak keluar dari mobil dan menjambak Lisa, menjauhkannya dari Jiyong yang membuatnya luar biasa cemburu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing In The Hell
Fanfiction"...jangan melakukannya, kau akan masuk neraka!" katanya, begitu kata mereka. Kenapa aku harus takut akan masuk ke neraka? Aku sudah hidup di sana, seumur hidupku.