13

378 87 14
                                    

***

Ini terjadi belasan tahun lalu. Ia masih 13 saat itu. Paman memanggilnya, menyuruhnya untuk ikut bersamanya. Paman bilang, Lisa harus mulai mencari uang sekarang. Ia tidak bisa hanya menumpang hidup di basement rumah paman. Wajah paman tidak berekspresi saat itu. Lisa tidak tahu pekerjaan apa yang Paman bicarakan. Ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya, jadi ia ikuti Paman masuk ke dalam barnya. Mereka melewati pintu-pintu, melangkah di lorong dalam kesunyian.

"Bukankah aku terlalu kecil untuk bekerja di sini?" Lisa bertanya namun tidak seorang pun menjawabnya. Baik Paman maupun anak buahnya.

Paman mengajak Lisa masuk ke dalam sebuah ruangan di sudut bagian belakang gedung itu. Lisa tahu ruangan itu. Tempat itu adalah tempatnya dibesarkan, tempatnya bermain dan dirawat ketika bayi oleh pelacur-pelacur yang Paman pekerjakan. Tanpa prasangka, Lisa melangkah masuk ketika Paman manyuruhnya begitu. Ia terlalu muda untuk jadi pelacur. Mungkin Paman hanya akan menyuruhnya untuk mencuci, jadi pembantu para pelacur itu— duga Lisa.

Ia tersenyum, menyapa pada beberapa pelacur yang mengenalinya. Beberapa dari meraka sekarang sudah tua, mereka yang merawat dan mengusap rambut Lisa ketika gadis itu masih sangat kecil dulu. "Dandani dia, dan berikan pakaian yang cocok. Walikota menginginkannya," kata Paman pada seorang pelacur yang duduk di dekat pintu. Kata-katanya, suaranya terdengar bagai petir bagi Lisa. Petir yang langsung menghantam dadanya, membuatnya merasa luar biasa nyeri.

Lisa tidak mampu berkata-kata. Hatinya hancur. Meski kejam, ia pernah menganggap Paman sebagai ayahnya. Meski kasar, ia pernah dengan tulus menyayangi Paman yang merawatnya. Saking hancurnya, ia tidak bisa membuka mulutnya sekarang. Tubuhnya bak boneka kapas yang bisa digerakkan sesuka hati. Ia diam saja meski tangannya di tarik oleh seorang pelacur yang Paman suruh mendandaninya. Ia diam saja meski ada dua pelacur yang melucuti pakaiannya, mengganti kaus lusuh dan celana jeans yang ia pakai dengan blouse dan rok pendek. Ia diam saja, meski pelacur-pelacur di sana mengumpat pada Paman yang sudah melangkah pergi.

"Dia menganggap dirinya seorang ayah?! Ayah apa yang tega menjual anaknya?! Berengsek! Bajingan berengsek!" marah seorang pelacur, yang enggan turun tangan membantah Paman, juga enggan menyentuh Lisa. Enggan turut serta dalam prostitusi anak dibawah umur namun tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya.

Wanita-wanita di dalam sana marah. Sebagian juga menangis mengasihani si gadis kecil yang kini runtuh. Sedang yang berhubungan langsung— Lisa— hanya bisa mematung. Sama sekali tidak bereaksi, namun justru membuat semua yang melihatnya tahu kalau ia hancur sekarang. Gadis itu tetap diam, sampai tubuhnya ditarik, digandeng seorang pesuruhnya Paman masuk ke dalam mobil. Paman menilai penampilannya di dalam mobil itu. Mengamatinya kemudian berpaling. Sama sekali tidak mengatakan apapun.

Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Paman saat itu. Tidak ada yang tahu apa yang Paman pikirkan saat itu, yang jelas, semua orang membencinya. Bahkan pria-pria kekar yang selalu ikut bersama Paman, menatap iba pada Lisa. Hari itu, semuanya sedih sebab Lisa— anak kecil yang selalu ada di antara mereka, yang selalu berkeliaran di sekitar mereka, sekedar lewat atau mengantarkan minuman— hari ini akan dijual oleh pria yang merawatnya sejak bayi.

Akhirnya tiba waktu di saat Lisa disuruh duduk di atas ranjang, di dalam kamar hotel paling mewah di Poppy Island. Gadis itu duduk di sana dan kenyataan yang ada di depannya akhirnya membuatnya menangis. Riasan dari alat-alat dan bedak murah para pelacur mulai luntur karena air matanya. Namun tidak seorang pun mendengar tangisannya. Ia menangis, berharap seseorang akan menyelamatkannya. Ia berlari ke pintu, memukul-mukul pintu yang terkunci itu agar seseorang membukakan pintunya. Sayang, tidak seorang pun berani melepaskannya. Tidak seorang pun berani melawan perintah Paman. Gadis 13 tahun itu sendirian melawan kejamnya dunia.

Walikota masuk, namun dahinya berkerut melihat Lisa yang berantakan karena menangis. "Padahal aku sudah bilang tidak perlu meriasmu," kata pria tua itu, yang langsung mengulurkan tangannya untuk menyentuh helai rambut Lisa.

Tangis Lisa semakin pecah. Ia ketakutan, berusaha menjauh dari Walikota kemudian berlari ke pintu. Saat itu jelas, pintu tidak bisa ia buka dan Walikota jadi semakin tertantang. Ia ingin mendapatkan si kecil Lalisa. Ia ingin menaklukkan gadis kecil itu. Pergulatan mengerikan tidak bisa dihindari. Tubuh kurusnya didorong ke ranjang, dipaksa berbaring, dipaksa menikmati sentuhan-sentuhan menjijikkan dari tangan besar yang kasar.

Gadis putus asa itu tidak bisa berhenti memberontak. Sampai keputus asaan membuatnya hilang akal dan meraih gelas kaca di sebelah ranjang. Gelas whiskey dengan kaca tebal yang selalu ada di sana sebagai fasilitas hotel. Lisa pukul kepala Walikota yang sudah sangat terangsang itu dengan gelasnya. Pegangannya lepas namun Lisa belum selamat.

Ia berlari ke kamar mandi, mengunci pintunya kemudian meringkuk di sudut. Ia ketakutan, apalagi saat Walikota yang sebelumnya terangsang karenanya, kini berubah marah. Walikota tadi kemudian membuka pintu depan, membuat beberapa anak buah Paman yang berjaga di depan melangkah masuk. Lisa terkepung sekarang, oleh pria-pria kekar yang marah.

Pintu kamar mandi diketuk, perlahan-lahan seorang pria memintanya keluar. Namun penolakan membuat ketukan itu berubah jadi pukulan. Lisa merasa semakin terpojok sekarang. Sampai akhirnya pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca buram itu berhasil di buka dan tepat di saat menegangkan itu, Lisa melempar penutup tangki closet ke arah pintunya. Kepada siapapun yang melangkah masuk lebih dulu.

Keramik penutup tangki air itu mengenai kepala si Walikota. Seorang pesuruh Paman yang memang masuk lebih dulu, namun pria itu langsung menghindar ketika melihat benda sekeras batu terlepas dari pegangan Lisa. Sampai akhirnya, Walikota yang menerobos masuk sebab tidak sabar untuk memarahi Lisa terhantam benda keras itu. Ia pingsan seketika itu juga dan gadis 13 tahun tadi, meringkuk ketakutan di sebelah closet. Untungnya para pesuruh yang iba, membiarkannya menangis gemetar di sana. Keselamatan sang Walikota harus didahulukan.

Hal yang selanjutnya terjadi adalah kehancuran Lisa. Bukan hatinya, sebab hatinya sudah lebih dulu hancur. Kali ini, tubuh gadis itu yang dihancurkan. Paman memukulinya, mengikat tangannya dengan tali yang tergantung, lantas meninjunya bak samsak. Jiyong melihatnya sebab Paman melakukan penyiksaan itu di rumah. Ia tanya pada Paman, apa kesalahan yang Lisa lakukan namun pria paruh baya itu tidak menjawabnya. Ia minta Paman memaafkan Lisa, ia katakan kalau Lisa mungkin mati jika diikat seperti itu selama tiga hari penuh, namun Paman tidak berubah pikiran. Lisa harus dihukum agar ia tidak mengulangi lagi kesalahannya.

Sama seperti Walikota, Lisa tidak sadarkan diri setelah empat hari disiksa.

***

Maaf ya baru update, aku baru wisuda~~~ udah lulus, sekarang resmi pengangguran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf ya baru update, aku baru wisuda~~~ udah lulus, sekarang resmi pengangguran.. cape banget abis wisuda dan segala dramanya, sekarang masih recovery, jadi update-nya bakal lama...
Makasih kalian yang udah nemenin aku dari S1 sampe lulus S2, tanpa akun ini dan kalian semua, kayanya aku bakal gila sekolah mulu.... Hehehe

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang