1

1K 115 17
                                    

***

Rambutnya bergelombang, hitam legam sampai ke punggung, seperti bagaimana ia menilai hidupnya— gelap. Tubuhnya yang ramping hari ini di balut rok krem selutut dengan atasan kaus rajut berwarna senada. Selepas memarkir mobilnya, ia pegang handphone beserta kunci mobilnya, melangkah tanpa tas jinjing yang sengaja ia tinggalkan di mobil.

Langkahnya terasa berat, namun tetap ia paksa kakinya untuk terus bergerak. Ia tahu apa yang akan menyambutnya nanti. Ia tidak akan menyukainya— sambutan itu— namun dirinya pun tidak pernah bisa menolaknya. Hari ini suaminya baru kembali dari Meksiko dan akan terbang lagi ke Meksiko. Tentu ia tahu kalau suaminya tidak benar-benar baru kembali. Mungkin pria itu sudah kembali sejak kemarin, mungkin juga kemarin lusa. Mungkin ia sudah menghabiskan waktu dengan wanita simpanannya, mungkin juga ia sibuk berpesta semalam. Lalisa Kwon hanya berpura-pura tidak mengetahuinya, dengan sengaja.

Lisa hanya punya dua pilihan ketika bertemu suaminya— diperkosa atau dipukuli— dan ia harap, hari ini dirinya mendapatkan yang kedua. Siklusnya akan selalu sama, mereka bertemu tanpa pria itu membaca ekspresi wajahnya. Lalu di ruang istirahat pilot, ia akan digerayangi, diminta menaikan roknya. Tentu Lisa akan menolak, sembari khawatir seseorang akan melihat mereka. Lantas gadis itu akan dicekik, didorong sampai membentur dinding, mungkin juga meja, dipaksa menuruti keinginan suaminya. Di sana Lisa tidak akan menyerah, ia akan memohon untuk dilepaskan. Berbisik sampai menangis mengatakan kalau pria itu membuatnya takut tapi pria itu tidak akan berhenti. Ia akan terus memaksa sembari berkata— "tidak ada yang mencintaimu selain aku. Tidak akan pernah ada yang mencintai wanita sepertimu, selain aku," ucapnya berulang-ulang.

Lisa tahu tangisnya tidak akan berhasil. Lisa tahu memohon tidak akan membuat pria itu berhenti menyingkap roknya, berhenti menggerayanginya sembari terus mengancam. Ia harus terus menahan tangan suaminya, sembari memohon, berusaha mengulur waktu sampai seseorang masuk ke ruangan itu. Sampai seseorang membuat suaminya terpaksa harus berhenti, terpaksa harus menjaga sikapnya demi nama baik dan martabatnya sendiri. Kemudian di depan orang yang baru datang itu, ia akan memeluk istrinya. Menenangkan Lisa yang katanya menangis karena terlalu merindukannya. Mengusap dengan lembut rambut wanitanya yang katanya tidak ingin ditinggal pergi. Omong kosong, semua itu hanya kebohongan.

Di tengah langkahnya menuju neraka itu, Lisa berhenti. Di tengah-tengah bandara, di tengah jalan yang harus ia lewati untuk bertemu suaminya, ia melihat sekelompok pria yang harus dihindarinya. Pria-pria dengan kaus hitam juga jaket boomber dan sebagian lainnya mengenakan jaket baseball. Pria-pria yang membawa aura gelap dari Poppy Island, tempat tinggalnya dulu.

Ia berdiri di balik pilar, bersembunyi sebentar sembari menunggu pria-pria itu pergi. Melangkah ke pintu keluar bandara tanpa melihatnya. Sembari bersembunyi, Lisa bertanya-tanya kenapa orang-orang itu ada di Bellis pagi buta begini. Apa mereka sedang melakukan perjalanan bisnis? Perjalanan bisnis seperti apa yang bisa dilakukan para preman itu? Lisa tidak menyukai mereka. Ia lebih membenci mereka dibanding dengan suami berengseknya sendiri.

Begitu ia merasa aman, dilangkahkannya  lagi kakinya. Ia harus menemui suaminya, menerima perlakuan pria itu kemudian menikmati statusnya sebagai wanita terpandang yang bergelimang harta. Belum jauh ia melangkah, kakinya harus kembali berhenti. Sebab kali ini, hampir ia tabrak seseorang yang baru saja keluar dari toilet laki-laki. Keduanya sama-sama berhenti melangkah sebelum kecelakaan terjadi. Mata mereka bertemu dan Lisa langsung berpaling setelah mengenali wajah yang sangat tidak asing itu.

Pria yang hampir ia tabrak tadi pun memalingkan wajahnya. Bukan untuk menghindari Lisa, namun untuk melihat ke sekeliling tempat mereka berdiri. Sadar kalau tidak ada yang melihatnya, pria itu menggeser lebih dulu kakinya. Melangkah pergi sembari berbisik— "kau harus melakukannya dengan benar kalau memang ingin melarikan diri dariku," kata-kata pelan yang keluar dari mulut pria itu kedengaran sangat mengancam.

Lisa membeku di tempatnya. Ia hampir jatuh lemas karena pria yang sekarang melangkah menjauhinya itu. Kenangan akan masa lampau, ketika dirinya menjadi budak di neraka terdalam kembali menyerangnya. Sembari berpegangan pada dinding, ia melangkah. "Lari Lisa, kau harus berlari sekarang," ia perintahkan tubuhnya untuk mulai berlari. Kabur dari orang-orang Poppy Island seperti biasanya. Seperti yang dua tahun terakhir ia lakukan.

Gadis itu mempercepat langkahnya setelah ia mendapatkan kesadarannya kembali. Ia hampir berlari masuk ke ruang tunggu, memeluk suaminya yang dipikirnya bisa menyelamatkannya— dari orang-orang penghuni Poppy Island tadi. Lisa pikir ia dikejar, namun ternyata tidak seorang pun mengikutinya. Ia merasa beruntung sekarang, sebab tidak seorang pun berhasil mengejarnya. Bersembunyi di ruang para pilot membuat orang-orang dari Poppy Island tadi tidak bisa menjangkaunya. Mereka hanya preman-preman bodoh yang tidak bisa melakukan apapun di luar Poppy Island. Mereka tidak berkutik di Bellis.

Setelah menerima apa yang jadi takdirnya, Lisa kembali ke mobil. Suaminya sudah pergi sekarang. Pria itu akan terbang ke Meksiko dan pulang ke rumah setelah beberapa hari. Lisa tidak peduli kemana pria itu akan terbang. Lisa tidak peduli kapan pria itu akan pulang. Sama sekali tidak pulang justru lebih baik untuknya. Di mobil, gadis itu bercermin. Ia lihat lehernya yang memar karena dicekik. Cekikan itu terasa semakin kuat setiap harinya, membuat leher indahnya harus ditutupi, harus disembunyikan.

Lama gadis itu duduk di mobil, bercermin sembari mengingat-ingat hidup mewah yang ia dambakan. Hidup mewah yang sudah satu tahun terakhir ini membuatnya senang. Hidup mewah dan terpandang yang akhirnya ia dapatkan. Ia tidak keberatan dicekik, ia tidak keberatan dipukul, selama ia masih mendapatkan apa yang diinginkannya— gelarnya sebagai wanita baik-baik yang terpandang.

Tidak lama, jendela mobilnya kemudian di ketuk. Seorang wanita dengan seragam pramugari menerobos masuk setelahnya. Ia masukan kopernya ke kursi belakang, kemudian memasukan dirinya sendiri di kursi penumpang bagian depan. "Kau sudah lama menunggu?" tanyanya dan Lisa mengangguk. Masih sembari bercermin, merapikan rambut serta riasannya. "Maaf- ya! Dia melukaimu lagi?!" serunya kemudian, setelah melihat dan sadar akan luka memar di leher Lisa.

"Tidak apa-apa, tidak akan berbekas," tenang Lisa. "Bagaimana penerbanganmu tadi? Semua lancar?" tanyanya kemudian.

"Apa kau tidak bisa bercerai saja? Kau bisa mati kalau terus bersamanya," Lisa tidak berhasil mengalihkan pembicaraan mereka.

Namanya Jennie Kim, lawan bicaranya sekarang. Seorang pramugari biasa dari keluarga biasa-biasa saja. Seorang wanita yang sejak lahir tinggal di ibu kota— Bellis. Rambutnya hitam, panjang dan pagi ini digelung seperti semua pramugari pada umumnya. Ia baru mendarat saat Lisa menghubunginya, mengatakan kalau ia ada di bandara pagi ini. Sebelum Lisa menikah, mereka hidup bertetangga, di sebuah apartemen biasa-biasa saja di tengah kota.

"Kau pasti lelah setelah terbang semalaman, aku akan mengantarmu pulang," Lisa masih berusaha menghindar dari topik tentang suaminya. Ia nyalakan mesin mobilnya, lantas mulai mengemudi meninggalkan tempat parkir.

"Kau benar-benar mencintainya sampai rela diperlakukan begini? Lisa, dengarkan aku, kau itu cantik, kau juga pintar. Kau akan hidup lebih baik setelah bercerai dari Kapten Jung," yakin Jennie namun tidak begitu bagi Lisa. Ia akan kehilangan segalanya kalau bercerai.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang