30

352 78 2
                                    

***

Kini bukan Lisa yang melangkah masuk ke dalam neraka, tapi neraka lah yang mendatanginya. Kutukan dari Hades si dewa dunia bawah, si penjaga neraka, rasanya tidak akan pernah berakhir baginya. Tidak lama setelah ia tiba di rumah sepulang kursus, bel pintunya berbunyi. Seperti biasanya, ia melihat siapa tamunya lewat intercom. Tapi tidak seorang pun berdiri di sana.

Deru jantungnya langsung terpacu. Tidak ingin ia buka kan pintunya, namun seseorang terus menekan belnya. Ketakutan menjalar begitu cepat, terasa mencekiknya. Sembari menahan takut ia duduk di sofanya. Ia tatap terus pintunya, khawatir pintu dengan enam jenis kunci itu akan terbuka karena tamu di balik pintunya.

Meski hampir tidak mungkin, ia kunci juga balkon rumahnya, memastikan semua jendelanya tertutup rapat, khawatir ada seseorang yang tiba-tiba memanjat sampai ke lantai rumahnya. Itu hanya tamu, yang belum tentu seorang jahat, namun rasa takut langsung menguasai kepalanya. Sembari menahan gemetar di tangannya, gadis itu kemudian menelepon Jiyong. Mungkin itu Jiyong, meski sebenarnya mereka sudah berpisah sejak dua jam lalu.

Sayangnya Jiyong tidak menjawab panggilannya. Dua kali ia menelepon namun Jiyong tidak menjawabnya sama sekali. Pasti yang di depan itu bukan Jiyong— yakin Lisa sebab panggilannya diabaikan. Belnya terus di tekan, terus memacu deru jantungnya jadi semakin cepat dan semakin cepat. Meski begitu, kepalanya masih bisa berkerja— ia telepon petugas keamanan di lantai dasar, bertanya siapa yang mengunjunginya dan terus menekan belnya.

Tidak sampai sepuluh menit setelah menelepon, bel itu berhenti berbunyi. Lisa mulai mendekati intercomnya, namun hanya petugas kemanan gedungnya yang terlihat. Melalui intercom itu, Lisa diberitahu kalau tidak ada orang di depan rumahnya. "Tadi ada seorang pria di lorong tapi dia sudah pergi. Mungkin kurir," kata si petugas keamanan sembari menunjukkan sebuah kotak cokelat pada Lisa.

Meski gugup, meski merasa dirinya tidak perlu menerima paket apapun, Lisa membawa paket itu masuk setelah berterima kasih pada petugas keamanan paruh baya tadi. Di dalam, ia perhatikan paketnya. Ada label di sana namun tidak ada nomor resinya. Paket itu tidak pernah dikirim. Seseorang hanya membeli label pengirimannya tanpa pernah menyerahkan kotak itu pada petugas kantor pos. Di atas label paketnya hanya ada nama Lisa, tanpa alamatnya. Jelas, membuat Lisa semakin khawatir.

Ia tidak ingin membukanya. Ia terlalu takut untuk membukanya. Tapi di saat bersamaan, ia pun merasa harus membukanya. Sekali lagi karena khawatir ia menelepon Jiyong. Siapa tahu pengirim paket itu adalah orang suruhannya atau justru seseorang yang ingin mengganggunya. Seseorang yang belakangan ini mengawasi Jiyong dan melihat mereka bersama. Seseorang yang mengira kalau dirinya adalah titik terlemah pria itu. Berbagai kemungkinan menggerayanginya. Berbagai angan memenuhi kepalanya. Ia hampir tidak bisa mengatasinya, membuatnya mulai merasa sesak saking takutnya.

Setelah semalaman gelisah, Jiyong baru meneleponnya setelah pagi datang. "Ada apa? Kau meneleponku berkali-kali semalam," kata Jiyong setelah Lisa menjawab panggilannya di dering ke dua.

"Tidak ada apa-apa," bohongnya. "Semalam ada seseorang yang datang ke rumahku, tapi karena aku tidak mengenalnya, aku meneleponmu. Aku kira dia orang suruhanmu. Tapi sepertinya bukan, dia pergi sebelum aku membukakannya pintu," ceritanya.

"Ah... Aku tidak menyuruh siapapun ke rumahmu. Akan aku kirim pesan kalau aku mengirim seseorang ke sana," balas Jiyong.

"Ya, baiklah," angguk Lisa yang masih meringkuk di kamarnya. Sepanjang malam ia terjaga, sama sekali tidak bisa tidur. Ia hanya berbaring memandangi kotak cokelat yang diletakannya di atas nakas. Berharap matanya bisa melihat isi di dalam kotak itu tanpa perlu membukanya.

"Kalau begitu aku tutup, aku sibuk," kata Jiyong yang tanpa menunggu jawaban Lisa langsung mematikan panggilannya.

Sementara Lisa masih berbaring lemas karena terjaga sepanjang malam, Jiyong yang juga terjaga sepanjang malam membuka mulutnya— menguap sembari meregangkan tubuhnya. Pria itu ada di rumahnya, baru saja tiba setelah semalam menjamu beberapa petinggi kepolisian. Memberikan surga yang orang-orang berkuasa itu inginkan, kemudian menarik tarif yang amat tinggi dari mereka.

Pria itu berendam dengan air hangat setelah lelah bekerja, sedang gadis yang ia jadikan umpan masih merasakan sakit juga lelah di sekujur tubuhnya. Mungkin kalau ia merasa aman, Lisa pun bisa berendam di dalam bath tub-nya. Sayangnya gadis itu masih belum merasa aman. Ia masih penasaran dan luar biasa terganggu dengan kotak di depannya. Ia pun masih amat takut pada seorang pria yang meninggalkan kotak itu setelah berkali-kali menekan bel rumahnya.

Terus Lisa tenangkan dirinya, berusaha untuk kembali merasa aman. Ia tarik nafasnya dalam-dalam, ia coba gerakan-gerakan yoga yang katanya mampu menenangkannya, ia coba menelan obatnya, ia coba menyeduh beberapa teh yang katanya bisa membantunya. Namun semua rasa khawatir itu, semua rasa takut itu tidaklah pergi. Ia tetap khawatir, ia tetap ketakutan. Sampai di pukul delapan pagi, seseorang kembali menekan belnya. Seseorang kembali menekan belnya tanpa menunjukan dirinya di depan intercom. Seseorang mengunjunginya tanpa membiarkan Lisa melihat wajahnya sebelum gadis itu membuka pintunya.

"Dia bukan orang suruhan Jiyong," gumam gadis itu, berdiri di ujung ruang tengahnya yang jauh dari pintu depan. Terus ia tatap pintunya, khawatir pintu kokoh itu dapat dihancurkan seseorang di luar. "Temanku pasti akan menghubungiku sebelum datang, dia bukan temanku, dia bukan orang baik," yakinnya, tetap gugup sembari terus mencari-cari akal untuk mengakhiri suara bel yang terasa bagai sebuah teror untuknya.

Kali ini ia menghubungi tetangganya, seorang ibu dengan dua anak laki-laki yang sudah dewasa. Seorang wanita paruh baya yang tinggal di unit paling ujung. "Sejak semalam ada seseorang yang menekan bel rumahku, dia membuatku takut," cerita Lisa dalam pesannya. Khawatir orang di depan pintunya itu bisa mendengar suaranya. Dalam pesan selanjutnya, gadis itu meminta tetangganya untuk diam-diam mengambil foto tamunya. Berharap ia bisa mengenali tamunya itu lewat foto yang dikirim tetangganya.

Alih-alih merasa tenang, gadis itu justru merosot jatuh. Ia mengenali orang yang mengganggunya sejak semalam— Jung Hoseok. Memang angan-angannya yang berlebihan, mengira kalau pria di depan rumahnya adalah orang yang pernah memperkosanya di Kokaina Hill, namun tahu kalau Jung Hoseok menemukan alamatnya juga bukan sesuatu yang baik.

Ketenangan sama sekali tidak menghampirinya, namun rasa takut perlahan-lahan berkurang. Hoseok tidak akan sejahat pria-pria keji yang melecehkannya waktu itu. Mantan suaminya tidak akan menyiksanya sampai ia sekarat seperti yang para bajingan itu lakukan. Namun pria itu juga bukan orang yang ingin ia temui. Sekali lagi ia telepon petugas kemanan di lantai dasar, memintanya untuk mengusir Hoseok dari pintunya. Mengatakan kalau ia tidak mengenali pria di pintunya itu.

Sebelum petugas keamanan sampai ke pintu Lisa, Jung Hoseok sudah melangkah pergi. Entah apa alasan pria itu menghindari si petugas keamanan, Lisa sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin Hoseok pergi. Ia hanya ingin Hoseok berhenti menemuinya. Lalu, tahu kalau Hoseok yang sejak semalam mengganggunya, membuat Lisa berani membuka kotak yang ia terima. Kotak itu pasti dari Hoseok dan gadis itu pun membukanya. Sayangnya, ia tidak seharusnya membuka kotak itu.

***

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang