Epilog

598 93 15
                                    

***

Seorang pria muda turun dari taksinya di depan sebuah rumah tahanan untuk wanita. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya, menggendong tas ranselnya di sebelah bahunya kemudian melangkah masuk dan mulai mengisi berkas untuk mengunjungi seorang tahanan. Sekitar satu jam setelah ia datang, namanya dipanggil dan dia di antar ke ruang pertemuannya. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang sudah duduk di sana, menyambut kedatangannya.

"Ibu-"

"Aku bukan ibumu," potong gadis itu sembari menumpu dagunya di atas meja kayu yang menempel pada dinding kaca.

"Bibi?"

"Aku juga bukan bibimu."

"Augh! Lalu bagaimana aku harus memanggilmu? Paman Mino bilang kau ibuku, pengacara bilang kau bibiku, siapa kau sebenarnya? Orang asing? Tapi kau membayar semua keperluanku, sebenarnya apa hubungan kita? Kau membuatku dan Hani bingung," keluhnya sembari bergerak duduk.

"Kau jadi semakin cerewet, Haru," balas Lisa. "Hani tidak ikut?" susulnya.

"Itu karena kau menyebalkan," Kwon Haru masih mencibir. "Hani tidak bisa ke sini, dia masih di camp pelatihan, minggu depan ada olimpiade sains," lapornya.

"Ah... aku tahu soal olimpiade itu. Hani mengirim surat tentang olimpiade itu. Lalu kenapa kau ke sini?" balas Lisa.

"Aku malas menulis surat, jadi aku datang," santainya, kali ini sembari menundukan kepalanya, mulai mengigiti ujung-ujung kuku jarinya. Melihatnya membuat Lisa berkomentar kalau pria muda itu sama seperti ayahnya ketika gugup. "Ada hal yang ingin aku ceritakan," katanya, setelah Lisa tertawa karena melihatnya menggerutu sebal. Haru tidak mengenal ayahnya, jadi dia sebal ketika disama-samakan dengan pria yang tidak pernah ia temui.

"Apa itu?"

"Aku... Apa aku boleh menangis?"

"Kenapa? Kau ingin menangis?"

"Hm..."

"Kenapa? Apa yang membuatmu ingin menangis?"

"Aku baru saja putus dengan pacarku," ceritanya, membuat Lisa langsung menegakkan posisi duduknya dan dengan canggung menoleh ke belakang, tempat seorang petugas wanita menjaga pintu ruangan itu. Tidak seorang pun pernah bertanya begitu padanya. Ia tidak pernah menghadapi seorang pria yang ingin menangis karena putus cinta.

"Kau boleh menangis tapi-" Lisa tidak bisa melanjutkan kata-katanya, sebab Haru sudah lebih dulu menangis, merengek sambil bilang kalau gadis yang ia kencani mengkhianatinya. "... Menangis lah, tapi maaf aku tidak bisa memelukmu," canggung Lisa, sesekali masih menoleh ke belakang, berharap penjaga di balik pintu itu mau membantunya menenangkan Haru yang merengek. Meski bingung, Lisa menyukainya, ia suka melihat Haru tidak jadi sekeras ayahnya. "Kasihan sekali Haruku, tapi tidak apa-apa, kau bisa jatuh cinta lagi nanti," katanya, tanpa bisa menepuk-nepuk bahu anak laki-laki itu, yang sebentar lagi akan lulus dan pergi kuliah.

***
Yey tamat sebelum hari ini berakhir.
Dah cape aku bikin cerita dark, mau bikin yang cerah cerah abis ini...
Bye, sampai ketemu di cerita lain...

Dancing In The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang