26 || Penantian

299 51 0
                                    

❃❃❃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❃❃❃

SEMILIR angin pagi menggantikan udara yang lembab. Aroma terapi yang menguar di sudut ruangan perlahan-lahan mulai menipis. Disusul oleh seberkas cahaya matahari yang menyusup masuk ke dalam kamarnya, menghangatkan atmosfer dan tubuhnya.

Akalle yang bangun lebih awal, bergegas mengambil bejana air dan kain kering. Dia membuka pintu kamar Leora untuk merawat gadis itu. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika menemukan pemandangan yang mencengangkan itu.

"Demi Dewa Zeus!" sergahnya yang langsung menghampiri Leora tanpa memedulikan bejananya yang jatuh hingga airnya berceceran ke lantai. "K—kau! Kapan kau bangun?" tanyanya dengan mata membelalak ketika mendapati gadis itu sudah duduk di pinggir ranjangnya.

"Sudah sejak tadi," jawab Leora santai yang justru heran dengan kedatangan Akalle. "Kenapa kau ke sini?"

"Kau membuatku khawatir," adunya seraya memeluknya erat. "Syukurlah kau sudah siuman."

Leora melepaskan pelukannya. "Memangnya apa yang terjadi?"

"Kau tidak ingat?"

Leora menggeleng pelan. "Ada apa?"

"Kau pingsan di pemandian."

Leora mengernyitkan dahinya. Dia sama sekali tidak paham dengan perkataan Akalle. Seingatnya, dia merasa sangat mengantuk setelah minum air lalu memutuskan untuk tidur di lantai sebentar. Namun, kenapa pagi ini dia bisa terbangun di kamarnya?

"Aneh. Aku merasa seperti biasa. Kenapa bisa seperti ini?" gumamnya rendah sambil memandang Akalle bingung. "Apa aku benar-benar pingsan? Mungkin saja tidurku yang terlalu nyenyak."

"Apa pun itu, yang penting kau sudah bangun. Jadinya aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepada orang tuamu," ujar Akalle menghela napas lega. "Sekarang lebih baik kita bersiap saja untuk menyambut utusan dari Delphi."

"Mereka sudah kembali secepat itu?" sergahnya tak percaya.

❃❃❃

Leora masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Meruntut kembali adegan demi adegan yang ia lalui kemarin. Ketika dia masih berusaha menyangkal pernyataan Akalle tadi, perhatiannya justru teralihkan dengan rombongan utusan yang baru saja sampai.

Leora berdiri di teras, menunggu mereka di balik pagar marmer sambil berpegangan pada lekukannya. Matanya menyapu pemandangan di bawah sana, mencari sosok yang ia nantikan selama beberapa hari belakangan. Ketika penunggang kuda hitam itu sudah memasuki halaman, Leora pun lantas menuruni anak tangga.

"AdelfosI!" panggilnya kepada Arsen yang baru saja turun dari kudanya.

"Adikku, Leora!" Laki-laki itu langsung menghamburkan pelukannya. "Bagaimana kabarmu?"

"Sangat baik!" serunya dengan melepaskan pelukan mereka. "Bagaimana konsultasinya?"

"Semuanya lancar, tapi kita harus menerjemahkan jawabannya lagi nanti."

THE HEART OF PHOEBUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang