❃❃❃
LEORA masih bersolek di depan cermin. Menata penampilannya untuk malam yang dinantikannya. Tidak banyak yang ia kenakan di wajah selain pemerah bibir yang samar dan rona alami yang menghiasi wajahnya. "Aku harap ini tidak berlebihan," gumamnya sebelum memakai himation berwarna biru debu itu.
Leora serentak keluar dari kediamannya, menyusuri blok-blok batu sambil bergumam kecil. Melewati jalan setapak yang terpapar cahaya redup sambil mengantisipasi pertemuan mereka dengan hati yang meletup-letup. "Kau harus tampak tenang, Leora. Bertindaklah sewajarnya," ingatnya sambil meremas telapak tangannya pelan. Jangan sampai dia berekspektasi terlalu tinggi untuk sesuatu yang belum pasti.
"Tapi, dia sempat mengatakan kalau dia juga rindu ...."
Leora sontak menepisnya. "Tidak. Dia memang suka membalas ucapakan dengan manis."
Aetius memang ramah sejak awal pertemuan mereka. Dia tidak mau menyalahpahaminya sebagai bentuk perasaan yang berbalas. Meskipun pertemanan mereka memang dekat, tetapi hubungan mereka masih berada di batas abu-abu, bukannya hijau atau merah.
Langkahnya sedikit melambat ketika ia melewati atap bugenvil itu. Mengenang kembali ingatan kecil yang sempat terpatri di sana. Rasanya baru kemarin mereka tak sengaja bertemu dan saling mengenal. Namun, baru sekarang dia benar-benar menyadari bahwa hatinya sudah terseret jauh hingga ke enigma perasaan.
Dia menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba melemaskan otot-ototnya yang menegang sebelum melanjutkan lagi jalannya. Tepat ketika langkahnya sudah lengkap ke tujuan, senyum lembut kembali terulas di bibir merahnya.
"Apa aku terlambat?"
Aetius yang baru saja membenahi tikarnya langsung menoleh kepadanya. "Oh! Kau sudah datang?"
Mata Leora menyapu ke sekitar. "Kau menyiapkan semua ini sendirian? Kenapa tidak bilang padaku dulu? Aku bisa datang lebih awal untuk membantumu."
"Ini kejutan," jawab Aetius sambil tersenyum lebar.
"Kejutan?"
Titik yang Aetius pilih memang berada di ruang terbuka. Tikar berlapis karpet beludru itu digelar tepat di tengah rerumputan. Sama sekali tidak ada ranting atau pepohonan yang menghalangi, memperlihatkan seberapa jelasnya langit yang tak terbatas di atas sana.
"Duduklah, Leora."
Gadis itu serentak menempati posisinya. Dia mengelus lembut alasnya sambil mencari tekstur yang tersembunyi di baliknya. "Kau mengajakku mengamati bintang?" terkanya.
Aetius menganggukkan kepalanya antusias. "Langit malam sedang cerah hari ini!" Dia kemudian menengadahkan kepalanya. "Aku ingin berbagi pemandangan indah ini bersamamu."
Leora pun mengikuti arah pandangnya, menatap ke langit hitam yang tak berawan. Debu emas tampak bertaburan di angkasa, berkelap-kelip di atas jubah Dewi Nyx yang terhampar luas. Pupil matanya tampak melebar, tertawan oleh gemerlap yang dipandangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART OF PHOEBUS
Historical Fiction[Rated M | Romance Fantasi Mitologi] Thebes adalah tanah kelahirannya. Tidak ada hal lain yang Leora inginkan sebagai Putri Thebes, selain mengabdikan dirinya kepada dewa dan menjaga kesuciannya hingga pernikahan. Sayangnya, manusia tidak bisa meneb...