39 || Yang Diramalkan

228 39 0
                                    

❃❃❃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❃❃❃

KEKOSONGAN yang gelap kembali menyelimuti, terasa dingin ketika menyentuh indra perabanya. Tubuhnya seperti melayang, terbang tinggi dalam awan yang tebal. Perasaan yang menghantui itu kembali lagi, terasa semakin pekat dan kelam kala ia terpejam dalam.

Dia berdiri di sana, di antara nyala api yang membara. Kaki yang berat menyeret langkahnya, melewati puing-puing yang berserakan di sepanjang mata memandang. Langit berubah jingga kemerahan. Asap tebal yang menyeruak tajam mengepung sekelilingnya, mengaburkan pandangannya dari realita.

Dentuman keras sahut-menyahut bersama deburan ombak. Menghempaskan benteng panjang yang terhubung ke pusat kota. Saat langkahnya yang tak tentu arah terus berlanjut, kubangan itu membuatnya terperosok jatuh ke dalam air. Terlalu dalam sehingga ia tidak bisa menepi.

Sekali lagi, ia melihat bayangan gadis yang tenggelam di dalam sana. Sekuat tenaga berusaha untuk meraihnya agar tidak terjatuh terlalu dalam. Namun, tekanan yang keras seketika menghantam paru-parunya sehingga ia merasa tercekat.

Aetius tersentak hebat, menyadari bahwa alam mimpi sudah mengambil alih kesadarannya sementara. Jantungnya berdebar kencang bersamaan dengan embusan kasarnya. Rasanya ia baru terpejam selama beberapa menit saja, tetapi mimpi buruk itu kembali mendatangi pelinghatannya.

"Aku baik-baik saja," gumamnya meyakinkan dirinya sendiri sembari menarik napasnya perlahan-lahan.

Dia menyugar rambut pirangnya. Kemudian bangkit sambil menepuk-nepuk pakaiannya yang ditempeli oleh dedaunan kering. Ketika ia menatap arah matahari yang cukup meninggi, pandangannya lalu beralih ke perkemahan para pemburu di bawah bukit. Di sana terlihat kosong karena penghuninya sudah mulai melaksanakan perburuan.

Aetius bergegas mengambil perlengkapannya seraya menaiki kudanya. "Kita harus mencari air bersih dulu sebelum aku dehidrasi," ujarnya sembari menepuk leher hewan itu sebelum pergi menyusuri lembah.

Suara gemericik air terdengar menenangkan. Alirannya yang jernih terasa segar dan dingin ketika menyentuh kulitnya. Beberapa kali ia membasuhkannya ke wajah, berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya yang mulai memanas. Tak lupa juga, ia menyimpan beberapa tuang ke dalam tas bota untuk menahan dahaganya selama beberapa waktu ke depan.

"Kau tunggu di sini. Kalau aku lama, kembalilah dulu ke tempat kita menginap," ujarnya yang dibalas dengan kibasan surai oleh kuda yang sedang berendam di dalam sungai itu.

Aetius kemudian menyebrangi anak sungai itu, berpindah ke sisi lain yang terlihat lebih rindang. Dia berhenti sejenak sambil memindai sekitarnya dengan cermat. Menelusuri celah-celah pepohonan dan semak-semak yang semakin rapat.

"Dia tidak mungkin jauh dari sini," gumamnya yang kemudian menyisir tanah berlumpur itu dengan hati-hati.

Dia sudah pernah melihat singa itu selama beberapa kali saat berkunjung ke Helikon sebelumnya. Namun, kenapa hingga hari ini binatang itu belum kunjung menunjukkan batang hidungnya? Padahal tubuhnya yang besar sangat sulit untuk disembunyikan dari tangkapan mata.

THE HEART OF PHOEBUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang