36 || Pertaruhan

213 40 9
                                    

❃❃❃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❃❃❃

MEMBEKU. Itulah yang masih Leora rasakan hingga sekarang. Dia kembali mengurung dirinya di kamar dengan chiton yang terlipat di samping altar yang apinya sudah padam. Kini hawa dingin kembali menusuk kulitnya, merengkuhnya kembali ke dalam realita yang tak bersahabat.

Dahinya berkerut dalam dengan ujung-ujung jari yang terasa dingin. Dia meremas kain merah yang dijalin dengan benang-benang yang indah sembari seratus kali berpikir, bagaimana nasibnya menjadi seperti ini? Kenapa semuanya jadi begitu sulit dan tak terkendali?

Dia hanya menolak untuk dijodohkan dan ingin menikah dengan orang yang ia cintai. Namun, dewa justru ikut campur dengan menggoreskan ramalan itu ke dalam hidupannya. Apakah dosanya begitu banyak sehingga mereka menghukumnya seperti ini?

Melalui ramalan itu, mereka memutuskan agar dia menikah dengan orang yang bisa memburu Singa Cadmea, binatang buas yang mustahil untuk diburu oleh manusia. Lantas, bila tidak ada satu pun orang yang dapat memburu binatang itu, apakah dia akan dipaksa untuk melajang seumur hidupnya? Dan jika dia nekad menikahi orang yang tidak bisa memburu singa itu maka Thebes akan dijatuhi bencana?

Kenapa dewa suka sekali bermain-main dengan takdir kehidupan manusia? Apa mereka belum puas bisa hidup abadi di Olympus? Kenapa mereka begitu egois saat menyampaikan titahnya? Apakah mereka tidak mengasihi manusia yang tak berdaya dan selalu memuja tinggi mereka? Hatinya mencelos karena harus terhimpit di antara nasib Thebes dan ramalan itu.

Leora ingin sekali marah saat dia mendengar ramalan itu. Bukan cara seperti itu yang ia kehendaki agar perjodohannya gagal. Namun, apa yang bisa manusia lakukan selain pasrah? Dia tidak mungkin mengumpat para dewa yang bisa mengabukannya dalam sekejap mata.

"Putri, Anda harus makan sesuap saja," minta Helota sambil mendekatkan mangkuk makanan yang mulai dingin itu.

Leora menggeleng. "Aku tidak nafsu makan. Bawa saja kembali dan biarkan aku sendirian."

Helota menatapnya sedih lalu mengambil mangkuk itu sesuai perintahnya. Dia membungkukkan badan kemudian pergi dari sana dengan hati yang berat. Meninggalkan sang tuan putri dalam kesunyian dan dilema. Namun, belum terlalu lama keheningan itu menemani Leora, sebuah ketukan kecil dari pintu kamarnya kembali mengalihkan perhatiannya.

"Sudah aku katakan, biarkan aku sendiri, Helota," ujar Leora tanpa menoleh ke belakang.

Orang yang mengetuk itu tidak menggubris permintaannya. Dia menerobos masuk dengan langkah yang tenang. Hanya dengan dua langkahnya yang pelan, Leora langsung menolehkan kepala ketika mengenali bau wanginya.

Seketika itu pula mata Leora membulat, tampak berkaca-kaca dengan deraian air mata. Kesedihan itu tak terbendung lagi saat melihatnya secara langsung, pria yang ia cintai itu berdiri tepat di depannya. Kemudian, pelukan hangat yang dihamburkan kepadanya itu mengalirkan kedamaian sesaat sebelum sepatah kata terucap darinya.

THE HEART OF PHOEBUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang