❃❃❃
PLEIADES telah terbit di langit timur. Terbang melintasi langit malam bak tujuh merpati yang bercahaya. Terus berlari tanpa letih dari sang pemburu yang mengejar di antara konstelasi angkasa.
Cahaya remang-remang itu mulai merambat dari perapian, menghangatkan sekitar dengan hawanya. Gadis yang sedang duduk itu sedikit membungkukkan badan, mencoba memasukkan ujung benangnya ke dalam jarum sulamnya. Setelah berhasil, dia pun melanjutkan sulamannya dengan cekatan meskipun sikunya terasa sedikit kaku oleh nyeri yang mendera. Ketika pola di atas kain merahnya sudah terjalin dengan lembut, suara gedebuk yang berasal dari luar jendela kamarnya itu pun justru membuatnya terkejut.
Leora langsung meletakkan alat sulamnya seraya meraih sebatang lilin penerangan. Dia melangkah dengan hati-hati untuk memeriksa suara keras tersebut dengan mengintip dari balik tirainya. Namun, apa yang ia temukan ternyata hanyalah seorang pria yang tengah mengaduh kesakitan di lantai balkonnya.
Leora menyibakkan tirai jendelanya. "Aetius? Apa yang kau lakukan di sini?" sergahnya.
Laki-laki yang masih terduduk di lantai itu hanya meringis sembari menepuk-nepuk paha dan lengannya yang sedikit nyeri. "Aku ingin menemuimu."
"Dengan memanjat balkon?" tanya Leora yang tak habis pikir.
Aetius hanya mengangkat bahunya kecil lalu bangkit dari posisi jatuhnya. "Aku tidak punya pilihan lain," jawabnya beralasan. "Aku tidak bisa menahan rinduku hingga besok pagi," lanjutnya yang nyaris membuat Leora merona, tetapi berhasil ditangkal dengan cepat.
Leora mengeratkan epiblema—selendang yang dikenakan di luar chiton—yang dipakainya sambil mencomel, "Sekarang kau baru merindukanku? Kemarin kau seperti mengabaikanku dengan pergi tanpa pesan."
Aetius tergagap. "Aku minta maaf untuk kemarin. Itu benar-benar sangat mendesak."
Ketika dia meraih tangan Leora untuk memberikan penjelasan, gadis itu terlihat sedikit menarik tangannya sambil mendesis kecil. Itu bukanlah penolakan, tetapi ekspresi yang menyiratkan kesakitan. Menemukan hal yang sedikit janggal, Aetius pun membuka perlahan epiblema yang menutupi bahu hingga lengan Leora, mendapati luka yang cukup besar di siku kirinya.
"Kenapa bisa terluka? Kau habis terjatuh di suatu tempat?" tanya Aetius dengan dahi yang berkerut dalam.
"Ini sudah membaik. Aku mendapatkannya saat berburu kemarin," balas Leora yang berusaha menutupinya lagi, tetapi langsung dicegah oleh Aetius.
"Sudah membaik bagaimana? Kau saja masih kesakitan," tegurnya sehingga Leora sedikit mengerlingkan mata.
"Apa kau tidak memakai salep yang aku berikan dulu?" tanyanya sembari mendudukkan Leora ke kursinya. "Apa sudah habis?"
Lagi-lagi pertanyaannya belum kunjung mendapatkan jawaban, sedangkan Leora kemudian mendelik dengan suara yang lebih rendah. "Itu sudah habis setelah aku gunakan untuk orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART OF PHOEBUS
Historical Fiction[Rated M | Romance Fantasi Mitologi] Thebes adalah tanah kelahirannya. Tidak ada hal lain yang Leora inginkan sebagai Putri Thebes, selain mengabdikan dirinya kepada dewa dan menjaga kesuciannya hingga pernikahan. Sayangnya, manusia tidak bisa meneb...