1. Daerah Selatan, Wilayah Rakyat Jelata

5.3K 316 18
                                    

Kerajaan selatan wilayah rakyat jelata, di sinilah aku tinggal. Di tumpukan sampah sisa dari wilayah kelas menengah dan wilayah para bangsawan.

Serombongan delman pengangkut sampah terlihat melewati gerbang dan menuju kemari. Aku sangat penasaran seperti apa kehidupan di balik gerbang tersebut. Di balik gerbang itu, kehidupannya pasti sangat berbeda dari di sini. Di sana pasti tidak ada sampah dan mereka makan makanan segar setiap hari.

Segerombolan orang berduyun-duyun menghampiri rombongan delman pengangkut sampah. Ada ibu-ibu yang menggendong anak, ada kakek-kakek tua renta, ada juga yang berusia remaja. Semua jenis kalangan bercampur menjadi satu di bawah teriknya matahari. Kebanyakan dari mereka berbadan lebih besar dariku. Jelas, aku kan baru berusia sepuluh tahun.

Mereka menunggu.

"Kamu tunggu di sini ya," kata seorang ibu sambil meletakkan anaknya dari gendongannya. "Ibu mau cari makanan dulu." Ibu itu meninggalkan anaknya bahkan tanpa sempat menunggu anaknya mengangguk. Dia berjalan cepat sambil sedikit berlari mendekat ke arah gerobak sampah.

"Awas!" Seorang kusir turun dari kemudinya, rombongan orang yang mengerubungi mundur beberapa langkah. "Kalau kalian sampai merusak gerobak ini, aku tidak akan mengantarkan sampah ke daerah ini lagi!"

Para kusir berjalan ke arah belakang delman. Mereka membuka kunci gerobak sampah dengan suara 'klik'. Itu adalah aba-abanya. Semua orang berlari menghampiri gerobak itu bahkan sebelum sampahnya tertuang dengan sempurna ke tanah.

"Minggir!"

"Ini punyaku!"

"Kamu cari di sana! Jangan di sini! Di sini sudah banyak orang!"

Mereka berteriak untuk berebut makanan. Tidak jarang mereka menggunakan tangannya untuk mendorong yang lain. Perhatianku teralihkan ke sebuah kue tart yang tinggal satu potong, meski toppingnya menghitam karena bercampur dengan kotoran dan debu.

Mataku menangkap seorang remaja berkulit gelap. Dia juga melihat kue itu. Dia menengok ke arahku, matanya menemui mataku untuk sepersekian detik dan aku merasakan adanya persaingan untuk kue itu. Lalu dia lari untuk mengambilnya tanpa membuang waktu.

Aku melesat dan menyusulnya. Dia membalikkan badan dan memukul ke arahku. Meski gerakannya tiba-tiba, namun aku dapat dengan mudah menghindarinya.

"Hmph, kamu pasti bukan orang sini." Aku menggerakkan badan ke samping saat dia melesatkan pukulannya yang kedua. Dengan sedikit gerakan kaki, aku dapat menjegalnya. Tubuhnya terhuyung jatuh ke belakangku. Aku menjatuhkan badanku ke belakang, menggulingkan badanku ke kanan saat masih di udara, dan menancapkan sikuku ke belakang kepalanya. Dia terbanting dan mukanya terbentur ke tanah. Dia pingsan.

Aku menyisir rambut ikal coklatku ke belakang, meski setelahnya kembali ke posisi semula. "Orang sini akan lebih memilih lari daripada melawanku, meski orang dewasa sekalipun."

Aku serius soal ini. Aku sudah berkelahi dengan banyak orang di daerah sini. Untuk berebut makanan tentunya. Mungkin dulu aku sering kalah melawan mereka. Namun setelah setiap hari berkelahi selama enam tahun, tidak ada orang yang tidak bisa aku kalahkan. Terdengar aneh memang apabila ada orang dewasa yang kalah bertarung melawan anak-anak. Namun memang begitulah kenyataannya. Aku pun sempat bertanya-tanya. Bagaimana bisa?

Aku baru sadar setelah bertahun-tahun bertarung. Tadinya kukira semua orang bisa melakukannya sepertiku. Tapi ternyata tidak. Ini hanyalah hal spesial yang hanya aku yang bisa.

Aku bisa membaca gerakan.

Aku bisa tahu kemana harus menghindar. Aku tahu bagaimana cara menangkis serangan lawan dan melakukan serangan balik. Aku tahu persis kemana serangan itu akan mendarat ketika suatu pukulan dilesatkan.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang