20. William Versus Ivory

508 81 1
                                    

Darah masih menetes dari bahuku. Aku masih tidak percaya aku terkecoh oleh serangan William.

"Meskipun aku dapat membaca gerakan, kemampuan itu tidak ada gunanya di mata ayahku. Serangannya selalu dapat mengenaiku dengan mudah, karena dia tahu cara melawan teknikku. Karena itulah, aku merasa bahwa bakat ini bukanlah sebuah anugerah, tapi sebuah kutukan. Hal yang seharusnya menjadi keunggulan terbesarku malah justru jadi kelemahanku. Karenanya aku harus berlatih setengah mati untuk melawan instingku."

William berjalan berkeliling, mataku mengikuti langkahnya.

"Kau ini bicara apa sih?"

"Kau akan segera paham. Gunakan ilmu kebalmu dengan benar, ini akan terasa sakit."

William mengayunkan pedangnya ke bawah secara diagonal. Aku menghindar ke belakang. William menghentikan ayunannya di tengah-tengah dan mengangkat pedangnya kembali ke atas. Dia merubah pola langkahnya dan menambah setengah langkah kedepan. Harusnya aku menyadari bahwa serangan tadi hanyalah tipuan, tapi badanku seperti bergerak sendiri untuk menghindari serangan pertamanya tadi. Aku jadi mengerti apa yang dia maksud sebagai kutukan.

Pedang William menyabet ke bawah kearah badanku, kakiku yang baru saja digunakan untuk mundur tidak siap digunakan untuk menghindari serangan yang sesungguhnya.

Trip! Bhuk! Pedang itu tidak mengenai badanku karena aku tersandung ke belakang. Aku beruntung, dia terlihat tidak puas.

"Yang benar saja... Kemarin aku dikalahkan oleh bocah seperti ini? Ayo berdiri!" dia mengasihaniku.

Sial! Aku tidak bisa terus-terusan menghindari serangan tipuannya seperti ini karena itu artinya aku berjalan tepat menuju jebakannya. Aku harus melawan. Aku bangkit dan mencoba mencari celah untuk menyerang. Tapi William belum memasang kuda-kudanya. Dia dengan santai mengayun-ayunkan pedang sambil berjalan berkeliling dan memperhatikanku.

Aku berlari, memanfaatkan fakta bahwa dia belum siap. Aku menjejakkan kaki kananku ke tanah untuk melompat. Aku berputar dua kali ke udara. Aku menjulurkan kaki kananku ke luar untuk menyerang kepalanya.

Namun William mengangkat pedangnya untuk melindungi lehernya. Aku menarik kakiku, membatalkan tendangan tornado ku, dan mendarat dengan tidak sempurna. Aku kembali terjatuh.

"Sial!" umpatku.

"Sudah kubilang kalau aku juga bisa membaca gerakan. Berdiri! Gunakan ilmu kebalmu."

"Apakah kamu selalu menyuruh lawanmu untuk berdiri dan menggunakan ilmu kebal? Kamu pikir kita ini sedang apa? Latihan?"

"Jangan bercanda. Latihanku jauh lebih berat dibandingkan ini."

Dia berlari maju, lebih cepat dari biasanya. Inilah kesempatanku, aku menaruh tangan kiriku ke dekat kaki kanan.

Sret! Aku berputar di lantai dan melakukan serkel, namun kaki kananku tidak mengenainya karena dia segera mengangkat kaki kanannya. Kedua tangannya memegang pedang di atas kepala. Gawat! Aku harus segera menghindar. Aku melakukan rol belakang sesaat sebelum Willam mengayunkan pedangnya ke bawah.

Crack! Pedang William membuat retakan di lantai. Ini berbahaya, hampir saja aku terbelah dua. Darah masih terus mengalir dari bahuku yang terkena serangannya. Aku harus melepaskan pedang itu dari tangannya terlebih dahulu kalau mau selamat.

"Kau berpikir aku akan jatuh dua kali di lubang yang sama? Jangan konyol, aku sudah hafal gerakan anehmu." William mengambil pedangnya yang menancap. "Baru kali ini aku harus pakai teknik-teknik serangan tipuan untuk melawan orang lain, biasanya pakai serangan biasa saja sudah pasti kena. Kau pantas mendapat pujianku, tapi aku masih ingin tahu sejauh apa kemampuanmu."

William sudah mengayunkan pedangnya lagi.

Ini pasti serangan tipuan. Dia pasti ingin aku menghindar ke posisi yang dia inginkan dan akan menyerangku saat aku berada di posisi tersebut dengan serangan aslinya. Aku harus menghindari serangannya dengan cara yang tidak akan dia duga. Dengan serangan seperti ini, pasti dia ingin aku menghindar ke samping. Berarti aku tidak boleh menghindar ke samping. Atau aku seharusnya tidak menghindari serangan ini dan fokus menghindari serangan aslinya saja?

Aku terlalu lama berpikir.

CRATT!!!

Pedang William menorehkan sayatan di badan ku. Aku memandangi luka sobekan yang membentang dari pundak kanan ke pinggang kiriku. Serangan yang barusan bukan serangan tipuan.

Aku terjatuh ke belakang. Pandanganku berkunang-kunang. Badanku terasa basah. Lengket. Sepertinya darahku banyak yang keluar. Bibirku rasanya kesemutan. Badanku rasanya kesemutan. Aku merasakan dingin yang meliputi seluruh badanku. Tiba-tiba rasanya ngantuk sekali. Aku ingin tidur.

"Bukankah aku sudah bilang jangan lupa gunakan ilmu kebalmu?" William berjalan ke arahku dan berdiri di dekatku. "Hey! Kenapa kau tidak menggunakan ilmu kebal?"

Aku menengok ke arahnya. Aku tidak kuat bersuara, aku hanya menggeleng.

"Ya tuhan.. Jangan bilang kamu tidak bisa ilmu kebal."

Aku mengangguk lemas. Melakukan gerakan kecil saja rasanya memakan banyak energi. Aku memejamkan mataku.

"Aku selalu berharap bahwa orang yang telah mengalahkanku adalah seseorang yang luar biasa. Yang lebih hebat dariku. Yang lebih berbakat. Yang lebih jenius."

Dia diam untuk beberapa saat.

"Kau membuatku kecewa. Kau telah membuang-buang waktuku."

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang