25. Makanan Khas Satriakarta

426 68 0
                                    

ELIZABETH INDRASWARI

"Idenya teh sangat bagus." kata Andy. "Tapi kalau aku jadi penantang lain, kenapa aku harus membeli makanan itu? Kenapa tidak aku rebut saja?"

"Benar sekali." jawabku. "Kalau aku jadi mereka, pun, aku tidak mau bersusah payah mengeluarkan uang kalau aku bisa merebutnya."

"Terus?" Andy meminta ku untuk menjelaskan lebih lanjut.

"Kita harus buat agar para pelanggan kita bergantung pada kita. Kita buat agar mereka tidak bisa makan tanpa kita." Aku membiarkan mereka untuk bertanya-tanya lebih lama.

"Bagaimana caranya?" Adolf mengambil umpanku.

Aku membuka tas, menunjukkan mereka apa yang ada di dalamnya. "Mereka akan membutuhkan kita untuk memasak bahan-bahan mentah ini."

"Liz memang jenius." Jeff geleng-geleng. Di dalam tas ini memang kami isi hanya dengan bahan-bahan mentah dan alat memasak yang kami sewa dari kantin. Anehnya, ternyata kantinnya memang menyediakan kompor portabel. Apakah ini suatu petunjuk atau hanya kebetulan saja ya?

"Tentunya akan ada beberapa penantang yang rela makan makanan mentah asal bisa makan." aku melanjutkan. "Apalagi kalau mereka tidak punya uang. Jadi ancaman bahan makanan ini bisa direbut masih tetap ada. Kita tetap harus siap untuk bertarung setiap saat."

"Bukan itu masalahnya." Andy menyela. "Percuma kalau diantara kita tidak ada yang bisa memasak."

"Ya, benar." aku menjawab keresahan Andy. "Masalah itu belum berhasil aku atasi. Tapi aku yakin kita pasti bisa mencari orang yang bisa masak untuk bergabung dengan kita. Ini adalah tawaran yang tidak mungkin dia tolak. Tentunya kita harus melakukan seleksi dan pengawasan ketat karena kita tidak boleh terlalu mudah percaya pada orang lain."

"Awak bisa masak." kata Ivan.

Semua orang terkejut mendengarnya. Kami semua menoleh ke arah Ivan.

"Iya, awak bisa masak." Ivan mengulangi perkataannya.

"Yaaaay!!" Kami bersorak girang.

***

Sreng, sreng, sreng!

Bau masakan Ivan tercium lezat sekali. Kami semua memperhatikan dengan menelan ludah.

"Kok kamu bisa masak sih? Belajar dari mana Van?" Jeff bertanya.

"Ayah bundo awak jarang pulang, sekalinya pulang awak selalu dimarahi, jadi awak ini dekat dengan pembantu di rumah. Karena awak suka makan, awak minta diajari memasak ketika dia memasak untuk keluarga awak. Awak jadi gemuk begini karena awak sering di dapur." ucap Ivan sambil membolak-balikkan tumisannya.

"Waah, ini rendang bukan namanya?" aku bertanya.

"Iya, masakan khas utara."

"Wooow, setidaknya orang-orang Utara punya sesuatu yang bisa dibanggakan selain otot." nyinyir Andy.

"Kalau di Timur, makanan khasnya apa Andy?"

"Hmm... Yang aku suka teh Batagor, Tahu Gejrot, Seblak... Apa lagi ya?"

"Kalau makanan manis teh ada Surabi, Kue Apem..." tambah Adolf. Oh betul juga, Adolf dari timur juga ya.

"Kalau di Selatan apa ya? Disini ada yang dari wilayah Selatan?" Aku bertanya lagi.

"Aku, aku! Kalau di Selatan makanan favoritku Nasi Gudeg. Kalau makanan manisnya Bakpia dan Lemper terkenal sekali, kalian tahu kan?"

"Oh! Lemper ya! Yang ketan putih dibungkus daun pisang bukan? Aku pernah menemukan potongannya di antara sampah-sampah! Untung Lemper ada bungkusnya ya, jadi tidak terlalu kotor! Hehehe."

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang