35. Menjual Jiwa Kepada Iblis

480 67 1
                                    

MATTEO SIBONTOR

Keluarga Nicolaus mendatangi rumah kami. Ayah dan Ibu diberi uang damai dan semua hutang keluargaku dianggap lunas. Semua itu dilakukan oleh mereka agar kasus ini gak diperkarakan ke jalur hukum. Kami harus tutup mulut.

Adikku mengurung diri di kamar dan menolak berbicara. Dia gak pernah sentuh itu makanan yang dibawakan oleh ayah dan ibu. Tentunya aku hanya tahu ini dari tangisan ayah dan ibu setiap malam karena aku gak bisa lagi melihat.

Suatu hari, aku dengar ibu teriak histeris. Adikku telah memilih untuk mengakhiri hidupnya. Kesedihan di dalam diriku berubah menjadi dendam, namun percuma, aku gak bisa apa-apa.

Ayah dan ibu mengembalikan uang yang diberikan kepada mereka. Mereka bawa kejadian ini ke jalur hukum, namun setelah berhari-hari sibuk untuk mengurus kesana-kemari, usaha mereka kandas. Para penegak hukum telah disuap oleh keluarga Nicolaus.

Hukum telah mati di Satriakarta. Tumpul ke atas, tajam ke bawah. Hukum hanyalah alat yang digunakan oleh orang-orang yang punya kuasa. Kami gak bisa meminta keadilan disini, kami harus cari sendiri.

Tapi macam mana pula? Terbesit dalam ingatanku tentang kelelawar di buku yang aku baca. Kelelawar gak bisa lihat, tapi mereka bisa gunakan gelombang suara ultrasonik dan menangkap pantulannya untuk mendeteksi benda-benda di sekitarnya. Aku berteriak-teriak di dalam kamar seperti orang bodoh, mencoba untuk lakukan hal yang sama, sambil menangis. Tentu saja tidak bisa. Aku frustasi. Aku melukai diriku sendiri dengan membentur-benturkan kepala ke tembok. Aku menangis setiap malam. Sampai pada suatu saat, sesuatu berbicara padaku.

"Aku bisa memberimu kekuatan yang kamu inginkan."

Suaranya serak mengerikan. Ini bukan suara manusia. Karena ketakutan, aku tidak menjawabnya.

"Aku dapat memberimu tenaga dalam yang luar biasa. Apakah kamu mau?"

"S-siapa kau?" aku menjawab dengan suara bergetar.

"Aku bisa membantumu, sudah tak terhitung banyaknya orang yang meminta bantuan padaku. Apakah kamu menginginkan kekuatanku?"

Ingatan tentang hari itu terputar kembali. Darahku mendidih, terpompa naik ke kepala.

"Ya, aku butuh kekuatan untuk balas dendam." aku menjawab, tanganku mengepal dengan erat.

"Tetapi, kamu akan jadi budakku setelah kamu meninggal."

Apa? Budak? Setelah meninggal? Aku menghubungkan semua kalimat yang telah dia ucapkan sebelumnya. Pertanyaanku terjawab, bulu kudukku berdiri menyadari aku sedang berbicara dengan siapa.

"Kamu sedang merasakan takut, sedih, dan putus asa. Namun yang paling nyata adalah dendam. Dirimu penuh dengan dendam, saking besarnya aku dapat menciumnya dari kejauhan. Aku tahu rasa dendammu tak akan bisa terpenuhi sampai kau bisa membalaskannya."

Menjual jiwa kepada iblis, aku paham sebesar apa konsekuensi tersebut... Tetapi, aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan keadilan yang tidak bisa diberikan oleh negeri ini. Apapun itu. Meski jiwaku tidak akan tenang setelah mati.

Aku mengangguk.

"Baiklah, akan kupenuhi."

Tiba-tiba tubuhku dipenuhi oleh tenaga dalam dengan kapasitas yang luar biasa. Kekuatannya memancar dari setiap pori-pori kulitku, memancar ke seluruh ruangan kamarku, dan aku bisa menangkap pantulan getarannya. Aku bisa mendeteksi dimana letak lemari, kasur, dan meja. Bahkan aku bisa merasakan getaran kecil di sebuah sarang laba-laba di sudut kamarku.

Brak! Aku melompat keluar jendela dan mencoba memancarkan tenaga dalamku lagi. Terdengar banyak suara kepakan sayap yang melesat pergi. Srat! Aku menggerakkan tangan ke udara dan menangkap sesuatu. Kubuka jariku satu persatu, seekor burung mati di genggamanku yang lengket karena darah.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang