36. Berita yang Mengejutkan

427 62 2
                                    

Mereka bertujuh maju secara perlahan ke arahku dan dua penantang perempuan dari tim lain. Aku harus menemukan cara agar bisa mengacak-acak formasi mereka. Barisan terdepan mereka terdiri dari satu penantang dengan pedang sekaligus tameng dan satu penantang dengan palugada. Kalau aku mendekat, bukan hanya mereka yang harus aku hadapi, tapi dua penantang dengan tombak panjang telah siap siaga melindungi mereka dari baris kedua. Untuk menambah kerumitan ini, dua pemanah terus menembakkan anak panahnya kepada kami bertiga. Aku tidak bisa bergerak ke belakang mereka karena mereka berdiri di ujung arena. Formasi itu mustahil untuk ditembus. Tapi kata mustahil hanyalah alasan bagi orang bodoh yang malas mencari solusi.

"Kalian bisa membantuku?" Aku bertanya pada kedua perempuan yang sedang menghindari hujan anak panah.

"Kamu pikir kami ini siapa? Kacungmu?" salah satu dari mereka yang berambut merah tersinggung.

"Kita punya tujuan yang sama disini. Satu-satunya cara bagi kita untuk memastikan keberhasilan di fase ini adalah menyerang mereka."

"Apa yang bisa kami lakukan?" perempuan satunya yang lebih pendiam bertanya. Dia menangkis panah-panah yang melesat dengan tamengnya.

"Dorong mereka."

"Kau buta? Bagaimana kita bisa mendekat dengan formasi mereka yang seperti itu?" si rambut merah protes.

"Aku tidak buta, yang buta rekan satu timku." Aku menunjuk. "Tenang, kalian akan baik-baik saja. Percayalah padaku."

"Baiklah, aku akan mencobanya." kata perempuan bertameng.

"Hey! Jangan seenaknya memutuskan sendiri! Kalau kamu gagal aku juga gagal!"

"Aku percaya dengan yang dia katakan." perempuan bertameng mengambil ancang-ancang untuk lari. Pedang digenggam erat di tangan satunya. "Aku tahu siapa dia."

Perempuan itu berlari ke depan dengan tameng terangkat di depan dada. Temannya menyusul di belakangnya dengan tombak panjang. Lawan yang bersenjata palugada maju ke arah mereka. Tentu saja, palugada adalah senjata musuh bebuyutan tameng. Saat senjata tajam tidak bisa menembus tameng dan baju besi, pukulan palugada bisa meremukkan rusuk dan menghancurkan organ-organ dalam tubuhmu.

Palugada milik lawan melayang dengan kencang. Dua perempuan itu menghindar dibawah ayunannya. Mereka tidak menghiraukan pemegang palugada itu dan terus berlari tanpa kehilangan momentum dan berhadapan dengan lawan yang memakai pedang dan tameng.

Si pemegang palugada menggeser satu kakinya ke belakang untuk balik badan. Dia bersiap untuk mengayunkan senjatanya untuk yang kedua kalinya. Sebuah kesalahan yang fatal membiarkan punggungmu terbuka lebar dihadapanku. Aku mengayunkan pedang dan menorehkan garis merah panjang di punggungnya yang lebar. Penantang itu tumbang sambil berteriak.

Anak panah ditembakkan oleh dua pemanah lawan. Perempuan bertameng berhasil melindungi dirinya dan rekannya. Dia semakin dekat ke barisan musuh. Dua lawan di dalam formasi menusukkan tombak mereka dari balik tameng penantang yang berpedang.

"Stop!" aku menghentikan langkah dua perempuan itu. Mereka berdua berhenti, tepat sebelum kedua mata tombak sempat menusuk badan mereka. Inilah kesempatan yang sudah kutunggu. Busur lawan belum terisi anak panah dan tombak mereka sedang ditusukkan ke depan, belum siap untuk digunakan. Penantang yang mengendalikan badan mereka melihatku dengan mata terbelalak sambil mendongak ke atas. Aku berada tiga meter diatas tanah, menggunakan badan penantang yang kutebas dan dua penantang perempuan sebagai tumpuan untuk melompat.

Grojogan Sewu! Aku mengayunkan pedang ke bawah, mengirimkan gelombang deras layaknya seribu air terjun ke tengah formasi mereka. Seorang penantang lawan yang memegang tameng melompat menangkis seranganku. Tamengnya hancur berkeping-keping.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang