40. Festival Satu Suro

277 43 4
                                    

WILLIAM PAKUBUMI

Malam Satu Suro

Meski dengan bersusah payah, akhirnya aku bisa tiba di lantai 50 tepat waktu. Malam satu suro, malam yang dinantikan semua penantang akhirnya tiba. Dinding dinding tower dihiasi dengan bunga-bunga dan ornamen putih dan emas. Alunan musik gendang, suling, dan gamelan mengalun lembut mengundang para penantang untuk merayakan festival ini. Laki-laki dan perempuan saling berbincang dan saling goda. Canda tawa terdengar dimana-mana. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong lantai 50 sambil memenuhi perut mereka dengan makanan gratis dari banyak stan makanan di sepanjang lorong.

Berbagai macam makanan dari seluruh kerajaan di Satriakarta ada disini. Tahu isi, lumpia, aci goreng, roti goreng, bakso, kambing guling. Es buah, nagasari, onde-onde, panekuk, bubur ketan, ubi bakar. Semua terlihat menggiurkan, tetapi aku tidak menemukan yang aku cari.

Aku terus berjalan menyusuri stan demi stan, memasang mata untuk mendeteksi makanan yang aku cari, hingga aku sampai di aula dimana musik sedang dimainkan. Tiba-tiba musik berhenti. Semua orang mulai menempatkan dirinya agak berjarak dari satu sama lain di aula, para laki-laki dan perempuan berdiri sejajar.

Pemain musik perlahan memainkan lagu dansa yang dipimpin oleh seruling. Perlahan-lahan orang-orang mulai berdansa dengan lawan jenis yang sejajar dengan mereka.

Seseorang menepuk pundakku dan menawariku berdansa, Susan.

"Susan? Eh... Aku tidak berdansa, maaf."

"Ayolah tuan! Ini festival satu suro, hihihi!"

"Tidak, tidak, aku tidak mau."

Perlahan Susan mulai menunduk cemberut. Tiba-tiba hawa di sekitarku menjadi dingin dan membuatku bergidik, bulu kudukku seketika merinding. Oh, tidak.

"Ah... baiklah, baiklah." Sampai kapanpun aku tidak ingin berurusan dengan yang gaib-gaib lagi.

Aku berdansa dengan Susan diiringi lagu dansa yang aku kenal. Belajar dansa adalah salah satu kewajiban untuk acara-acara perjodohan di budaya para bangsawan, jadi wajar kalau aku bisa berdansa.

***

Setelah berdansa aku menemukan stan makanan yang aku cari di pojok aula. Aku menyembunyikan rasa senangku dan berjalan menuju stan tersebut. Dua makanan favoritku ini selalu berada dalam satu gerobak. Makanan ini biasanya dihidangkan setelah aku selesai latihan pedang seharian, ketika aku makan makanan ini, seluruh rasa lelahku seperti terbayarkan.

"Sudah kuduga kamu akan ada di stan geblek dan dawet ireng, William." Suaranya membuat badanku tegang seketika.

Aku menoleh.

"Aku telah mencarimu berhari-hari, kukira kamu tidak akan ikut tantangan spesial satu suro. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu saja di stan makanan masa kecil kita."

Charles Mangkubawono. Kegirangan sesaatku pudar seketika.

"Permisi, aku mau kembali ke kamar." kataku datar, tanpa menunjukkan emosi apapun.

"Hei! Kamu bahkan belum sempat makan," godanya, "kelihatan sekali kalau kamu sengaja menghindariku."

"Apa maumu?" tanyaku langsung pada intinya. Berlama-lama dengannya disini bisa membuatku mimpi buruk nanti malam. Dia lebih tua dariku dan masuk ke tower terlebih dahulu, tapi sepertinya dia ikut tantangan spesial di lantai ini karena dia belum sampai lantai 75.

Dia mendekat, bersandar di dinding sebelahku sambil meneguk minuman yang dia bawa. "Aku hanya mau menyapa tetangga. Bagaimana kabar ayahmu? Masih sehat?"

"Sehat, sepertinya dia masih akan hidup 100 tahun lagi."

"Yaampun... sensitif banget sih, hahaha."

Aku tidak membalas, malas berbicara.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang