42. Sebenarnya Kamu Ini Siapa?

325 48 3
                                    

Malam satu suro, beberapa saat sebelum tantangan spesial dimulai.

Festival satu suro.

Aku sudah menunggu-nunggu momen ini tiba.

Nicolaus akan mati di tanganku malam ini.

Para ksatria mencuci senjata mereka dengan kendi-kendi air bercampur bunga yang disediakan, diikuti oleh para penantang lain. Wangi harum semerbak bunga kenanga yang tajam tercium seketika menimbulkan kesan yang berbeda. Sayup-sayup suara gamelan terdengar dari arah aula. Aku melihat para penantang sedang menari disana.

Aku berjalan menyusuri lorong lantai 50. Sejenak dekorasi dan kemewahan lantai ini membuatku melamun. Kegembiraan dan pesta ria betul-betul menjadi tema malam ini. Aroma makanan berhembus dari setiap sudut, mengingatkanku akan seorang gadis yang selalu berjoget-joget kecil setiap makan makanan yang disukainya. Setelah itu biasanya sahabatku akan menyeletuk lelucon bodoh yang membuat semua orang tertawa.

Lamunan itu menyayat-nyayat hatiku, menyisakan perih pada luka yang mungkin tak akan bisa terobati. Aku menggenggam tanganku dengan erat dan menarik nafas panjang, kuku-kukuku menancap pada telapak tangan. Air mataku sudah terkuras habis untuk bersedih, kini yang tersisa hanyalah dendam.

"Satu... Dua... Tiga..." Aku mulai berhitung.

Sekelompok orang berkumpul di depan patung tinggi besar yang memakai mahkota. Patung itu berdiri gagah di atas gunungan setan-setan yang telah ia kalahkan ditemani oleh tunggangannya Lembuswana, hewan berkepala singa, berbelalai gajah, bersayap garuda, dan bersirip ikan. Orang-orang tersebut tertunduk dengan tangan disatukan di depan kening. Nasi tumpeng berisi aneka makanan dan bunga ditaruh di bawah patung. Dari baunya, mereka sepertinya membakar kemenyan. Ketika mereka selesai, rombongan arak-arakan lain melakukan hal yang sama.

"Kita benar-benar harus bisa sampai lantai seratus! Aku sangat ingin bisa bertemu dengan Baginda Maharaja, setidaknya sekali seumur hidup!" seorang wanita berbicara pada temannya setelah selesai menyembah patung itu.

"Kamu mau minta apa?"

"Aku... Mau minta ibuku disembuhkan.... Tetapi benarkah Baginda Maharaja bisa mengabulkan apa saja permintaan kita?"

"Tentu saja! Beliau kan seorang titisan Dewa!"

Beberapa orang kemudian lewat di depanku dengan tatapan heran.

"Hey lihat, sayang sekali ya nasi tumpeng dibiarkan saja seperti itu." kata salah satu dari mereka sambil berbisik pada temannya.

"Biarkan saja, itu kan kepercayaan mereka." balas temannya. "Kita orang Renobuwono tidak usah ikut-ikut."

Tiba-tiba mataku bertemu dengan seseorang yang menarik perhatianku, seorang perempuan yang memeluk boneka baru saja keluar dari aula dan berjalan menghampiriku. Dia berhenti di depanku dan kami bertatapan sambil diam untuk waktu yang cukup lama.

"Halo." dia menyapaku.

"Maaf, aku tidak tertarik pada wanita yang lebih tua."

"Hihihi! Susan tidak bermaksud seperti itu. Lagipula hati Susan sudah jatuh ke orang lain." dia mendekap bonekanya dengan lebih erat. Boneka itu berambut pirang dan memakai baju hijau tua. Entah mengapa rasanya aku tidak asing dengan warna itu.

"Dirimu dipenuhi oleh dendam, bocah." katanya. "Bisa-bisa sang iblis mendatangimu malam ini karena dia sangat suka orang yang penuh dendam, hihihi."

Wanita ini sinting?

"Tetapi para roh halus di lantai ini ketakutan padamu, kamu mempunyai sosok penjaga yang menyeramkan." lanjutnya. "Ini pertama kalinya aku melihat yang wujudnya semengerikan ini. Hmm... Sebenarnya, kamu ini siapa sih?"

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang