39. Ruang Interogasi

297 47 5
                                    

WILLIAM PAKUBUMI

Keesokan harinya

Aku berjalan melewati lorong dengan sedikit rasa emosi. Siapa yang menggantungkan bangkai ayam di depan kamarku? Darahnya menetes ke lantai hingga aku tak sengaja menginjaknya, membuat sepatuku jadi kotor. Ditambah lagi terdengar bunyi lonceng sepanjang malam yang membuatku susah tidur. Apakah aku sedang ditarget oleh si pembunuh?

Aku membuka pintu aula yang tinggi besar. Di dalam, sudah banyak penantang berkumpul sesuai yang aku instruksikan kemarin. Namun ada yang aneh, ada tiga orang yang babak belur sedang duduk di depan dan diikat di kursi seperti sedang dihakimi. Di antara tiga orang tersebut ada Oliver, penantang yang mengetahui kematian ksatria penjaga lantai pertama kali.

"Ada apa ini?" Aku bertanya.

"Salah satu dari mereka adalah pelakunya, tuan." Susan yang berada di depan mereka bertiga menjawab.

Aku menatap mata mereka satu persatu.

"Isolasi mereka secara terpisah." perintahku.

"Baik, tuan muda!" Dean, Mark, dan para penantang dari selatan yang keluarganya bekerja pada keluarga mereka berdua menjawab perintahku dengan sigap.

Kenapa ada tiga orang yang babak belur? Ini diluar perkiraanku.

***

Semalam aku bertemu dengan Susan, Dean, dan Mark secara rahasia. Susan menjelaskan bahwa dia tidak berhasil membuat rohnya berbicara. Lalu, dia memukuli roh yang dimasukkan kedalam boneka tersebut. Kata Susan, kalau makhluk halus dipukuli, majikannya juga akan menerima sakit yang sama dan akan menimbulkan memar-memar di badan. Pagi ini, setelah berkumpul, Dean dan Mark memantau siapa saja yang badannya ada tanda memar yang baru di badannya dan mengikat mereka.

"Bagaimana kamu bisa babak belur begini, Oliver?" aku bertanya padanya di sebuah ruangan kecil, tangan dan kakinya terikat. Di belakangnya ada Mark beserta beberapa penantang lain.

"Semalam seseorang masuk ke kamarku dan memukuli aku, tuan!" Hmm... Sepertinya setelah pelakunya disantet balik oleh Susan, ia berniat mengaburkan bukti dengan membuat penantang-penantang lain babak belur juga.

"Apa kamu mengenali orang yang memukulimu?"

"Entahlah, dia mengenakan topeng putih, tuan!"

"Kenapa kamu tidak melawan?"

"Saat itu aku tertidur lelap, aku belum sepenuhnya sadar dan siap bertarung."

"Apakah ada orang lain yang ada bersamamu di ruangan itu saat itu? Untuk memperkuat kesaksianmu?"

"Tidak ada tuan..."

Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang berbohong. Manusia itu seperti buku yang bisa dibaca. Sejak kecil aku terbiasa memperhatikan orang-orang di sekitar ayahku. Aku sering dibawa untuk menghadiri pertemuan dengan orang-orang penting di Renobuwono. Gerak-gerik, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah seseorang bisa dibaca untuk mengetahui perasaan yang tersembunyi di balik kata-katanya. Dari apa yang Oliver tunjukkan, tidak ada ketidaksesuaian antara apa yang dia sampaikan dengan bahasa tubuhnya. Berarti, antara dia mengatakan yang sebenarnya, atau dia sangat pandai berbohong.

"Baiklah Oliver, aku sebenarnya ingin bertanya ini dari kemarin, mengapa saat itu kamu memutuskan untuk ke ruangan ksatria?"

"Emm... A-aku merasa ksatrianya sudah terlalu lama tidak kunjung datang, jadi aku memutuskan untuk memeriksa ruangannya..."

Aku berpikir sejenak.

"Baik, lepaskan dia." aku memutuskan.

"Baik tuan muda!" jawab Mark dengan sedikit kaget.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang