12. Daniel Campo

960 120 2
                                    

ELIZABETH INDRASWARI

Aku mengeluarkan nafas panas, nafas yang telah diolah di dalam tubuh untuk dijadikan tenaga dalam. Belajar ujian tulis bersama Andy membuat otak kami serasa ingin meledak, jadi kami melampiaskannya dengan latihan tenaga dalam.

Sebelum semua nafas habis keluar, aku sudah menarik nafas lagi. Bukan untuk mengambil udara, tapi untuk menyerap sari patinya. Udara tidak dihirup dengan membabi buta agar paru-paru cepat terisi, namun diambil secara perlahan dan tipis-tipis.

Aku mengencangkan perut bagian bawah dan melakukan kuncian-kuncian di persendian agar nafas yang kuambil tidak bocor ke bagian lain. Vincent juga mengingatkan agar selalu mengunci lubang dubur agar tidak ambeien. Mengencangkan perut dibantu dengan mengejan, kalau tekniknya salah, lubang dubur bisa membengkak. Proses mengolah nafas ini membuat seluruh badanku bergetar, bukan karena lemas, tapi karena dahsyatnya tenaga yang dihasilkan.

Aku melepas kuncian-kuncian di beberapa sendi dan mengalirkan tenaga dalam ke tangan. Pembuluh tanganku yang biasanya tidak pernah terlihat, kini menampakkan wujudnya. Getaran yang semula berada di perut bagian bawah, kini berpindah ke tangan.

Latihan seperti ini harus diulang-ulang, kata Vincent, hingga kami dapat mengalirkan tenaga dalam ke bagian manapun yang kami kehendaki dengan instan. Kami harus benar-benar fokus menjalani langkah demi langkah, agar nantinya kami dapat melakukannya bahkan tanpa perlu berpikir atau autopilot.

"Sekarang coba pukul kayu ini dengan tenaga dalam terpusat di tanganmu." Ivan memberikan instruksi.

Tadi kami meminta beberapa potong kayu bakar dari dapur kantin untuk latihan. Kami sepakat untuk mengisi waktu kami dengan berlatih tenaga dalam, sebelum makan siang. Aku tidak tahu apakah lebih tepat disebut sarapan atau makan siang. Setiap pagi kami tidak makan agar bisa berhemat. Di pagi hari, otak kami dibuat babak belur oleh Andy dan siangnya fisik kami dibuat babak belur oleh Ivan.

"AWWW!!" Aku mengerang kesakitan setelah memukul kayu yang dipegang Ivan.

Ivan tertawa melihat aku mengibas-ngibaskan tanganku yang kesakitan. Meski tertawa, dia tidak berkomentar apa-apa. Sedangkan kayu yang kupukul masih utuh. Tidak retak sedikitpun.

"Meski aku sudah bisa mengalirkan tenaga dalam ke tangan agar tidak sakit, ketika tanganku digerakkan, fokusku buyar. Susah sekali menahan tenaga dalam di tangan sambil bergerak."

"Hmm, sepertinya susah ya? Ivo, bagaimana caramu bisa melakukannya?" Jeff yang sudah lemas belajar ilmu kebal, bertanya pada Ivo.

"Hmph, yang seperti ini sih gampang!" Ivo berkata dengan sombong.

BRAK!! Kayu yang dipegang Ivan patah dipukul Ivo.

"Sepertinya Liz tadi menahan pukulannya. Jangan takut sakit Liz, justru tanganmu akan sakit kalau kayunya tidak patah." kata Ivo.

Aku melihat kulit tangan Ivo sedikit terluka karena memukul kayu tadi. Ketika Ivo sadar aku sedang mengamati tangannya, dengan cepat dia menyembunyikannya.

"Elizabeth ndak boleh ragu. Sedikit saja ada keraguan di benak Elizabeth akan membuat tenaga dalam menguap dari tangan Elizabeth." Ivan menggunakan istilah menguap untuk mendeskripsikan kehilangan fokus. "Tapi tenaga dalam bukan peluru ajaib yang bisa digunakan untuk menghancurkan benda sekeras apapun. Apabila Elizabeth ndak dapat menghancurkan benda tersebut tanpa tenaga dalam do, Elizabeth ndak akan bisa menghancurkan benda tersebut do meski dengan tenaga dalam. Tenaga dalam hanya membantu Elizabeth untuk mengurangi rasa sakit karena benturannya. Jadi kalian harus tetap melatih fisik kalian, berhubung badan kalian sangat kecil." Ivan menunjuk dadanya yang besar menggunakan ibu jarinya untuk pamer, meski sebetulnya perutnya jauh lebih besar dibanding dadanya.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang