15. Tahu Terlalu Banyak

713 95 2
                                    

IVORY MANGGALA

Setelah kejadian yang hampir berakibat fatal tadi, kedua pihak sama-sama sepakat untuk menghentikan perselisihan dan merahasiakan kejadian ini dari pihak luar. Daniel mengingatkan mereka semua, kalau sampai ada korban jiwa pasti perkelahian ini akan ketahuan, sementara perkelahian di luar ujian merupakan suatu pelanggaran berat.

Setelah perkelahian tadi, semua orang terlihat lebih lega. Seperti amarah mereka telah tersalurkan dan pikiran mereka menjadi lebih jernih. Malahan, sekarang mereka tambah akrab.

"Brooooo, Kamu bocah yang tadi melawanku, kan? Gerakanmu sungguh luar biasa!" pemuda berkacamata emas menyapaku. Nadanya ketika memanggil 'bro' memang agak menyebalkan.

"Jelas dong! hehehe." Aku menjawab dengan bangga.

"Kamu mah beruntung karena anak panah yang dia pegang teh tidak diarahkan ke kepalamu." Pemuda lain menghampiri kami dan merangkul si kacamata emas. Rambutnya lurus berwarna coklat dengan poni belah pinggir. Dia adalah penantang yang tadi menembakkan panah. "Apalagi dengan muka seberingas itu. Ah... Aku teh masih ngeri mengingatnya. Kalau saja anak panah itu menancap di mukaku, tidak akan ada lagi wanita yang mau denganku. Hahahaha."

Kami bertiga tertawa, suasana terasa rileks. Yang berlalu biarlah berlalu. Tadi kami adalah musuh, sekarang tidak lagi.

"Oiya, ngomong-ngomong, namaku Morris." kata si kacamata emas sambil menyodorkan tangannya kepadaku. aku membalas jabatan tangannya dengan mantap.

"Aku Adolf." kata pemuda yang satu lagi.

"Aku Ivory." aku juga memperkenalkan diri.

"Berapa umurmu brooo?" Morris mengambil kursi terdekat dan duduk.

"Sepuluh tahun."

"Wah, gila! Aku teh dikalahkan oleh anak berumur sepuluh tahun?" Adolf melipat kedua tangannya di depan dada. "Berarti kamu teh belum pernah belajar di akademi, dong? Lalu kamu belajar bertarung dari mana?"

"Dari ayahmu? Apakah ayahmu ksatria?" Morris menyusulkan pertanyaan tambahan sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Adolf.

"Tidak." jawabku. "Tidak ada yang mengajariku untuk bertarung. Aku hidup sendiri sejak kecil, Ibuku sudah meninggal dan ayahku meninggalkan kami sebelumnya. Sebenarnya salah satu alasanku kesini untuk mencari ayahku."

"Ooh ayahmu pergi ke tower? Siapa namanya? Mungkin kita bisa bantu cari."

"Hmm, entahlah. Aku bahkan tidak tahu ayahku seperti apa dan siapa namanya. Jadi aku juga tidak tahu bagaimana bisa mencarinya."

"Hmmm.. begitu ya. Semoga bisa ketemu, deh. Oh iya, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kamu belajar bertarung darimana?"

"Aku dan kedua temanku berasal dari wilayah rakyat jelata. Semua orang bisa bertarung disana."

"Oh ya? Benarkah?" tanya Morris.

"Setiap hari kami mencari makanan sisa dari tumpukan sampah. Disana tidak banyak sisa makanan yang masih bisa dimakan. Kalaupun ada, kami harus saling berebut. Disitulah perkelahian terjadi setiap harinya."

"Di wilayah rakyat jelata, kita harus berkelahi setiap hari." Jeff yang baru datang langsung ikut dalam pembicaraan kami. "Kalau kami kalah, kami tidak makan hari itu. Jadi kami harus selalu menang."

"Yap! Betul sekali. Ini temanku, Jeff, dia sering tidak bisa makan gara-gara makanannya direbut orang hahaha." Aku mengenalkan Jeff pada Adolf dan Morris.

"Untungnya, setelah bertemu Ivo, hal itu tidak pernah terjadi lagi sama sekali." Jeff menjelaskan.

"Ivory selalu menang?" tanya Morris pada Jeff.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang